Bara dan Masa Lalunya

Yara berlari ke pintu depan dengan semangat setelah mendengar suara motor yang berhenti di depan rumahnya, tanpa Bara memberi kabar pun ia sudah hapal suara Sharma.

“HAI!” sapa Yara sedikit berteriak membuat Bara terjangkit, baru saja laki-laki itu ingin mengetik pesan untuk memberi kabar jika dirinya sudah di depan, tetapi Yara sudah lebih dulu keluar.

Bara terkekeh melihat tingkah Yara, “Ssttt jangan teriak-teriak udah malem,” tegurnya mengingat sekarang sudah hampir pukul 9 malam, dengan refleks Yara menutup mulutnya dengan telapak tangan.

“Aku dari tadi nungguin,” keluh Yara sembari berjalan menghampiri Bara dan memberikan gesture ingin memeluk, sedangkan laki-laki itu justru berjalan mundur ketika Yara datang.

“Mau ngapain?” tanya Bara was-was.

“Peluk. Kenapa sih kok malah mundur-mundur? Ini aku bukan hantu.” Yara kesal lantaran Bara terlihat seperti ketakutan ketika ia menghampirinya.

“Nggak gitu sayangku, aku baru dari Babeh. Jangan peluk dulu, bau rokok banget.”

“Terus gimana? Jadi nggak boleh peluk?” tanya Yara, saat ini mereka berbincang dengan jarak kurang lebih 3 meter jauhnya. Rasanya seperti sudah lama tidak bertemu dengan Bara padahal tadi pagi seusai kelas mereka bertemu.

Bara mengambil kaos ganti dari dalam bagasi motornya, “Aku ganti baju dulu sama mau numpang keramas,” ucapnya.

“Prepare banget ya?” ledek Yara, “Yaudah ayo masuk.” Lalu setelahnya ia mengajak Bara untuk masuk ke dalam rumah.

Butuh waktu 10 menit untuk Bara mengganti pakaian dan keramas, laki-laki itu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang bertengger di atas rambutnya yang basah.

Bara berjalan menghampiri Yara yang sedang duduk di sofa ruang keluarga, ia berjalan seraya merentangkan tangannya lalu sesekali menepuk-nepuk bahunya sendiri tanda ingin dipeluk. Yara hanya diam memperhatikan tanpa memberikan respon.

“Kok diem aja sih? Katanya mau peluk?” Bara akhirnya ikut duduk di samping Yara.

“Udah nggak pengen.”

“Dih yang bener aja, udah wangi ini.”

“Aku sih curiga kamu emang belum mandi dari sore,” tuduh Yara.

“Sembarangan, mandi lah,” elak Bara, “Gini-gini aku masih waras, Ra, kalo soal kebersihan.”

Yara mengangguk, “Oke percaya.” Setelahnya Yara memeluk Bara yang berada di sampingnya, perempuan itu menempatkan kepalanya pada dada bidang milik Bara sedangkan tangannya memeluk pinggang Bara, tentu saja pelukan itu dibalas oleh sang tuan.

Yara sedikit mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arah Bara, “Gimana tadi? Udah selesai?”

“Dari dulu juga udah selesai, Ra,” jawabnya lalu Yara hanya berdeham sambil menganggukkan kepalanya tanda mengerti, ia tidak ingin bertanya terlalu jauh.

“Bara, hari ini kamu keren. Besok lebih keren lagi ya.” Hanya itu yang bisa diucapkan Yara.

Bara memejamkan matanya, diam dalam pelukan mereka. Ia diam cukup lama, pikirannya terasa sangat lelah sejak siang tadi. Ingatan-ingatan perihal 10 bulan lalu memaksa untuk hadir kembali.

Flashback ON

11 Maret 2021

Malam ini Bara berjanji akan menjemput Ryuka yang sedang berkumpul dengan teman-temannya, sebelumnya perempuan itu sudah memberi tahu pukul berapa Bara harus menjemput karena dikhawatirkan ponselnya mendadak mati—kehabisan battery.

Bara adalah tipe orang yang akan berangkat lebih awal dari waktu yang dijanjikan, maka dari itu ia jarang sekali terlambat setiap memiliki janji dengan siapapun. Dalam perjalanan, Bara merasakan motornya terasa lebih berat ketika di gas, lajunya pun semakin melambat. Ia menepi untuk mengecek roda motornya, sesuai dengan dugaannya, ban motor itu kempes membuat Bara terpaksa harus mencari tambal ban sepanjang jalan.

Ia mengendarai secara perlahan hingga akhirnya bertemu dengan tukang tambal ban, “Pak, punten coba tolong cek itu kempes atau bocor ya?” tanya Bara menunjuk pada ban belakang motornya.

”Bocor a’ ini mah,” ucap tukang tambal ban setelah mengeceknya.

“Waduh.” Bara melihat jam pada pergelangan tangannya, tersisa hanya 10 menit dari waktu yang ditentukan Ryuka.

“Cepet nggak pak?” tanya Bara.

“Cepet sih a’ InsyaAllah.”

“Yaudah pak, tolong ya.”

Bara pun memberi kabar pada Ryuka tapi pesannya hanya mendapatkan centang satu yang artinya pesan itu belum terkirim, hal ini biasanya terjadi lantaran ponsel orang yang menerima pesan sedang mati atau tidak ada sinyal. Alhasil Bara menghubungi teman Ryuka, pesan terkirim tetapi tidak ada balasan sampai ban motornya sudah selesai diperbaiki.

“Makasih, Pak,” ucap Bara setelah menerima uang kembalian.

Ia kembali melanjutkan perjalanannya ke salah satu cafe tempat Ryuka dan teman-temannya berada, sesampainya di sana Bara langsung menghampiri Ryuka.

“Ryu, maaf ban motor aku tadi bocor.” Bara melihat raut wajah Ryuka yang terlihat sedang kesal dan matanya menyalang menatap Bara.

Ryuka berdiri dari duduknya, “Abis dari mana kok telat jemput?” tanya Ryuka dengan nada judes.

“Barusan ban aku bocor.”

Ryuka berdecih, “Ban bocor apa nganterin cewek dulu?”

“Hah? Apaan sih kenapa jadi nganterin cewek?” Bara terlihat bingung, ia tidak mengerti kemana arah bicara Ryuka.

“Nggak mau ngaku? Kalo nggak mau biar aku yang bongkar,” ucap perempuan itu dengan nada mengancam dan lagi-lagi matanya yang menyalang ke arah Bara.

Bara masih tidak mengerti, “Yaudah ayo ngobrol berdua jangan di sini, Ryu,” ajak Bara berniat untuk menjauh dari keramaian.

“Di sini aja. Kenapa? Kamu malu ketauan jalan sama cewek lain?” Ryuka meninggikan nada bicaranya, mungkin kali ini beberapa pengunjung cafe bisa mendengar perdebatan mereka, “Kamu ngelakuin itu aja nggak malu, masa aku giniin aja langsung jiper.”

“Siapa yang jalan sama cewek sih? Kamu tenang dulu bisa nggak? Ngomong baik-baik jangan pake emosi.” Bara masih berusaha berbicara dengan tenang. Sedangkan teman-teman Ryuka justru hanya diam menonton perdebatan mereka di kursi masing-masing, tidak ada yang berniat memisahkan.

“Ya mana ada maling ngaku.”

“Dapet informasi dari mana aku jalan sama cewek? Apa buktinya?” Kali ini Bara yang bertanya.

“Fiya sama Dea liat sendiri kamu pergi ke punclut sama cewek,” teriak Ryuka yang otomatis keberadaan mereka berdua menjadi pusat perhatian.

Bara memegang kepalanya yang terasa pusing karena menahan emosi, lalu matanya menangkap sosok Fiya yang sedang duduk santai sambil menyeruput kopi di depannya, mata Fiya seolah berkata ‘Gue liat, mau alasan apa lagi lo’.

“Itu Cella pacarnya Rizky, Ryu, kan waktu itu aku juga udah izin mau ke punclut sama anak-anak, pas perjalanan ternyata motor Rizky bermasalah. Dia minta tolong anak-anak buat bawa pacarnya duluan ke punclut, kebetulan aku yang masih di bawah. Ya masa aku tolak sih? Toh di punclutnya juga ramean, anak-anak lainnya udah duluan pada di sana,” jelas Bara dengan tenang.

Mata Bara kembali melihat ke arah Fiya, “Fiya yang lo liat sejauh apa? Jelas-jelas di meja itu nggak cuma gue sama Cel-” Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Ryuka terlebih dahulu memotong pembicaraannya seolah tidak memberi kesempatan untuk Fiya menjawab dan Bara menjelaskan.

Karena nyatanya, Fiya dan Dea hanya melihat Bara dengan perempuan hanya sekilas saat di parkiran. Saat itu Bara baru saja sampai sedangkan Fiya dan Dea berada di dalam mobil hendak pergi dari area parkir punclut.

“Tapi emang kamu bilang mau bonceng cewek?”

“Itu kan juga ngedadak, Ryu, aku bisa telfon Rizky atau anak-anak yang kemaren ikut ke punclut buat buktiin.” Bara merogoh saku hoodienya untuk mengambil ponsel.

Belum sempat mengeluarkan ponselnya, lebih dulu Ryuka membuka suara, “Itu temen-temen kamu, gimana aku bisa percaya? Bisa aja kalian udah saling kerjasama. Cewek itu pacar Rizky bisa aja cuma alibi kamu sama temen-temen, who knows? Selingkuh itu penyakit asal kamu tau aja, penyakit yang nggak ada obatnya.”

“Seenggaknya kamu dengerin cerita dari versi aku dulu bukan cuma dari versi temen-temen kamu, aku yakin mere-“ Lagi-lagi ucapan Bara dipotong oleh Ryuka, perempuan itu benar-benar tidak memberikan kesempatan untuk Bara menjelaskan.

“Jelas aku lebih percaya temen aku! Kamu kalo emang brengsek ya brengsek aja, nggak usah cari pembelaan!” Bara terjangkit, Ryuka kembali berbicara dengan nada tinggi. Bara tahu perempuan ini memang seseorang yang tempramental dan Bara selalu mencoba untuk menenangkannya walaupun ia tahu jika dirinya pasti kalah.

Saat ini, Bara merasa tidak dihargai sama sekali. Laki-laki itu berfikir seharusnya Ryuka tidak semarah ini dan lebih bisa mengontrol emosinya mengingat mereka sedang berada di tempat umum, di mana akan mengganggu pengunjung lainnya.

“Kita putus aja, jangan pernah muncul dihadapan aku lagi,” ucap Ryuka setelah itu mengambil tasnya yang ada di atas meja lalu mengajak teman-temannya untuk pergi dari cafe ini.

Bara mengacak rambutnya frustasi. Laki-laki itu tidak berniat untuk menyusul Ryuka yang sudah jalan menjauh, ia terlanjur sakit hati dengan ucapan-ucapan Ryuka. Bukankah dalam sebuah hubungan saling memberi kepercayaan penuh itu penting? Kalau pun tidak percaya, setidaknya mendengarkan penjelasan satu sama lain terlebih dulu.

Biasanya mau bagaimana pun tempramentalnya Ryuka, Bara masih selalu bisa memaklumi. Tapi kali ini ia berfikir cukup untuk terus memaklumi sifat itu berulang kali. Ketika dirinya memiliki alasan logis untuk masalah ini, justru Ryuka malah seperti ‘kesetanan’. Brengsek katanya? Bahkan tidak sedikit pun perempuan itu memberi kesempatan untuknya berbicara.

Fiya jalan melenggang melewati Bara, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti untuk kembali menoleh ke arah Bara, “Cowok itu kalo nggak brengsek ya homo. Dari pada lo jadi brengsek nyakitin temen gue, mending lo jadi homo aja, Bar,” ucap Fiya dengan nada meremehkan lalu kembali melenggang jalan meninggalkan Bara yang sedang mengepalkan tangannya dengan kuat untuk menahan emosi.

Kalimat itu yang sampai sekarang jika diingat kembali membuat hati Bara sakit, rasanya ia tidak memiliki harga diri lagi.

Flashback OFF

Yara kembali mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arah Bara, pasalnya sudah hampir 10 menit mereka berpelukan tetapi Bara malah diam tidak bersuara. Menurut Yara sangat aneh jika Bara hanya diam.

“Bar, kamu tidur?” tanya Yara dengan suara pelan.

“Nggak,” jawab Bara lalu membuka matanya.

“Kirain tidur, abisnya diem aja. Nyanyi aja yuk?” ajak Yara lalu bangkit dari duduknya untuk mengambil gitar.

“Nyanyi di sana.” Yara menunjuk ke arah halaman belakang rumahnya, di sana terdapat kursi taman dan Bara hanya mengikuti Yara berjalan mengekorinya.

Keduanya sudah duduk di kursi, langit malam ini cerah. Terlihat dari bintang yang menghiasinya, biasanya jika langit mendung bintang tidak akan menampakkan diri.

Yara memeluk gitar, sebelum memainkannya perempuan itu mengatur tuner agar mendapatkan nada yang sesuai.

“Emang bisa?” ledek Bara.

“Bisa lah!”

Yara mulai dengan kunci C lalu Am setelahnya Dm dan terakhir G, kunci tersebut dilakukan berulang kali.

“This song for you, Bara Satya Wirandoko.” Setelah intro selesai, Yara mulai bernyanyi.

”On the night like this There's so many things I want to tell you On the night like this There's so many things I want to show you 'Cause when you're around I feel safe and warm 'Cause when you're around I can fall in love every day In the case like this There are a thousand good reasons I want you to stay...” Lagu pun selesai dan Yara tersenyum malu karena Bara yang melihatnya tanpa berkedip sedikit pun.

“Kedip kek,” ucap Yara sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Bara.

“Sayang kalo aku lewatin satu detik,” goda Bara, “Ra, makasih ya,” lanjutnya.

Setelahnya mereka saling membalas senyum, Yara pun mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di pundak Bara. Mereka menikmati malam ini sebagaimana mestinya, kehangatan mengelilingi mereka bahkan udara dingin kota Bandung tidak terlalu terasa saat ini.

“Ra, kamu liat bintang yang itu nggak?” Bara menunjuk ke arah bintang yang terlihat paling terang diantara bintang lainnya.

Manik mata Yara mengikuti arah telunjuk Bara, “Yang mana?” tanyanya karena belum menemukan bintang yang Bara maksud.

“Itu loh, yang paling terang.”

“Itu?” Yara kembali bertanya sembari ikut menunjuk.

“Iya.”

“Liat, kenapa?”

“Nggak papa sih, pengelihatan kamu masih bagus berarti.”

Yara menarik napas lalu menghembuskannya, “Sumpah ya, gue kira lo bakal gombal atau semacamnya.” Bara menggelengkan kepala, mereka pun tertawa setelahnya.

Tidak mau kalah, Yara juga bertanya, “Bar, kamu liat bulan itu nggak?” ia menunjuk ke arah langit sebelah kiri.

“Apaan orang bulan ada di sebelah sana.” Sedangkan Bara menunjuk ke arah kanan dimana letak bulan sebenarnya.

“Emang, berarti konsentrasi kamu bagus.” Bara mengacak-acak rambut Yara, lalu mereka tertawa kembali. Percakapan tidak jelas seperti ini selalu terjadi ketika mereka berdua kehabisan topik untuk berbincang. Tetapi menurut Yara, percakapan seperti inilah yang dirinya sukai membuat mereka berdua bisa lebih dekat satu sama lain.

“Stress.” Tiba-tiba terdengar suara dari atas balkon yang ada di belakang mereka berdua. Sontak keduanya menoleh ke sumber suara, terlihat Pram berdiri di sana dengan kaos berwarna hitam dan celana tidur panjang motif kotak-kotak.

“Bubar, bubar, udah malem sebelum lo berdua gue siram air dari atas sini,” perintah Pram karena jam sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam.

“Yaelah jomblo ganggu aja,” protes Bara.