Bicara Cinta di Tenda Dimsum
Langit di malam minggu saat ini sedang bersahabat dengan para pasangan yang akan menghabiskan sisa malam untuk saling melepas rindu, hanya angin yang bertiup sedikit lebih kencang dari biasanya.
Hanya butuh waktu sekitar 20 menit Bara bisa sampai ke rumah Yara, laki-laki itu mematikan mesin motornya lalu membuka ponsel untuk memberi kabar pada Yara.
Tidak lama, ada seorang laki-laki paruh baya keluar dari rumah itu sambil membawa satu cangkir kopi di tangan kanannya dan ponsel di tangan kirinya. Bara yang melihat refleks turun dari motor dan menghampirinya.
“Assalamualaikum,” ucap Bara.
“Waalaikumsalam,” sahut pria paruh baya itu, “cari siapa?” tanyanya.
“Punten Om, mau cari Yara. Tadi udah buat janji.”
“Oh iya iya, masuk aja. Duduk dulu di sini,” ajaknya sembari menunjuk kursi kosong yang ada disampingnya.
Laki-laki dengan jersey Barcelona yang menempel di tubuhnya itu membuka pagar lalu berjalan dengan sopan menghampiri pria tersebut.
“Duduk aja, Yaranya lagi siap-siap,” perintah pria itu. Bara pun hanya mengikuti perintah, ia kini duduk bersebelahan yang hanya dibatasi sebuah meja dengan Ayah dari gadis yang akhir-akhir ini sedang mengisi hari-harinya.
Tidak ada percakapan kurang lebih 3 menit, pria itu menoleh kearah Bara, “Fans Barca?” tanyanya ketika melihat baju yang Bara kenakan.
Dengan senyum bangga Bara menjawab, “Iya Om, Om juga?” Bohong. Bara berbohong, padahal dia adalah fans Liverpool.
“Bukan, saya nggak suka Barca. Jagoan saya sih Real Madrid,” ucap Papahnya Yara lalu setelahnya ia menyeruput kopi yang sudah tidak ada kepulan asap di atasnya.
Deg
’Pram bangke, dia pasti ngerjain gue lagi,’ batin Bara berteriak.
Otaknya tidak dapat berpikir, jantungnya seperti mencelos begitu saja, tangannya basah dipenuhi oleh keringat. Bara merasakan suasana yang canggung.
“Saya juga bukan fansnya Barca banget sih om.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Bara, bukan sebuah kebohongan, justru ini adalah sebuah kejujuran.
“Tapi itu official ya keliatannya.”
Kali ini ia harus menjawab apa, sel-sel di otak Bara kini sedang susah payah bekerja untuk mencari jawaban yang masuk akal, “Emang koleksi jersey aja Om, dapet dikasih juga ini.” Barulah jawaban ini yang disebut sebuah kebohongan.
Pria paruh baya itu hanya ber-oh, terlihat tidak terlalu tertarik untuk melanjutkan obrolan. Ia meraih ponselnya dan membuka youtube lalu menonton siaran ulang kejuaraan WorldSBK (World Superbike) di Sircuit Mandalika.
“WBSK Mandalika kemaren ya, Om?” Bukan Bara namanya jika menyerah begitu saja. Lupakan soal Barcelona, saatnya ia bersinar kembali di hadapan Papanya Yara.
“Iya, nonton juga kamu?” tanyanya.
“Nonton, Om,” jawab Bara.
“Kemaren saya kelewatan nonton live karna kerja. Race pertama siapa ya pemenangnya?” tanya pria itu yang mulai tertarik dengan topik ini, bahkan ia meninggalkan video yang terus menyala tanpa ditonton.
“Race pertama yang posisi satu Jonathan Rea om,” jelas Bara.
“Loh bukan si Toprak?”
“Toprak posisi dua om di race satu, tapi dia berhasil raih juara dunia.”
“Oh iya, juara dunia maksud saya. Kalo race dua posisi satunya siapa?”
“Rea lagi. Itu pas race dua seru banget, Om. Wet race karna habis hujan jadi lebih mantep bikin deg-degannya, sengit banget antara Rea sama Red kejar-kejaran buat ambil posisi satu,” jelas Bara dengan semangat.
“Wah, saya harus nonton ini.”
“Iya, Om.”
Tidak lama Yara keluar dengan setelan sweater rajut berwarna coklat muda yang dipadukan dengan celana jeans, “Sorry, Bar, lama ya? Yuk,” ajak Yara.
Bara bangkit dari kursi, “Nggak kok, ayo. Om pamit dulu, izin mau ajak Yara makan dimsum ke Dipatiukur,” pamit Bara sembari meminta izin, tidak lupa memberi tahu kemana ia akan mengajak Yara pergi.
“Iya, hati-hati ya. Yara pake jaket?”
“Ini anget kok, Pah, tenang. Pamit ya, Bye.” Yara melambaikan tangannya dan dibalas oleh Papahnya.
Keduanya pun sudah duduk di atas Sharma—motor kesayangan Bara— dan tidak lupa memakai helm untuk melindungi kepala masing-masing, lalu tidak lupa Bara memakai hoodie hitamnya terlebih dahulu. Setelah dirasa siap, Bara pun melajukan motornya ke tempat tenda dimsum berada.
Bukan Bandung namanya jika saat malam minggu tidak terjadi kemacetan pada jalan-jalan besar, untungnya Bara tidak menggunakan mobil karena akan menghabiskan waktu hanya di dalam mobil karena antrean panjang ulah lampu lalu lintas di setiap persimpangan.
Bara memarkirkan motornya sesuai perintah tukang parkir, terlihat seluruh meja terisi penuh oleh pengunjung yang juga ingin menikmati dimsum di malam minggu.
“Penuh,” ucap Yara ketika Bara selesai memarkirkan motornya.
Mata Bara menjelajah setiap meja, “Itu sebelah sana kayaknya udah mau selesai,” terka Bara dan benar saja 2 menit setelahnya pasangan yang duduk pada meja itu bangkit dari duduknya.
Keduanya pun dengan cepat menempati meja tersebut sebelum orang lain yang menempatinya duluan.
“Lo pesen apa, Ra? Biar gue yang pesenin,” tanya Bara.
“Gue mau siomay nori sama hakau aja,” pesan Yara.
“Minum?”
“Air mineral,”
“Oke, Teh, mohon ditunggu,” canda Bara seakan-akan berperan sebagai seorang pelayan dan Yara hanya terkekeh dengan tingkahnya.
Bara pun langsung memesannya. Setelah menyelesaikan pesanan, ia kembali duduk dihadapan Yara.
“Tadi ngobrol apa sama Papah?” tanya Yara penasaran.
“Ra, abang lo,” adu Bara.
“Kenapa?”
“Gue dikerjain lagi. Tadi sore kan gue nanya ke abang lo, kira-kira pake baju apa biar first impression bokap lo ke gue bagus. Nah, terus abang lo saranin pake jersey Barca, taunya bokap lo nggak suka Barca ya?” cerita Bara panjang lebar.
Yara tidak bisa menahan tawanya, “Hahahahaha, ini lucu banget. Lagian lo masih aja percaya sama dia, gue 19 tahun hidup sama dia tentunya punya trust issue sama dia.”
“Jangan ketawa dong, Ra. Lo nggak tau betapa awkwardnya gue tadi.”
Yara mengatur napasnya setelah tertawa, “Iya bokap gue tuh nggak tau kenapa sensi aja sama Barca, Bar, kayak siapapun lo kalo fans Barca auto dicut off sama dia. Terus tadi ekspresi Papah gimana?” tanya Yara yang sangat penasaran.
“Kayak langsung males gitu ngomong sama gue, padahal gue juga bukan fans Barca. Gara-gara abang lo aja nih, gue sampe minjem jersey Nabil.” Bara memasang wajah memelasnya dan lagi-lagi Yara tertawa.
“Tapi tadi gue liat kalian berdua asik ah ngobrolnya?” ucap Yara sambil menatap tissue yang sedang ia gumpal-gumpalkan.
“Iya gara-gara WBSK. Gue juga suka soalnya superbike sama Motogp gitu.”
“Asli nggak? Lo kan jago ngibul, gue aja dikibulin soal rootbeer,” goda Yara.
Bara tertawa, “Hahahaha, nggak. Kali ini bener.”
“Hm, oke. Nah, lo ajak ngobrol aja seputar Motogp gitu, dia seneng banget pasti. Soalnya abang gue nggak terlalu ikutin Motogp, makanya Papah suka bete kalo ngajak ngobrol abang seputar Motogp, soalnya jawaban abang selalu nggak tau nggak tau mulu macem orang miskin ilmu,” jelas Yara.
“Berhasil dong gue ambil hati bokap lo?” Bara tersenyum jahil menatap perempuan dihadapannya
“Iya kali,” jawab Yara salah tingkah dan kembali memainkan gumpalan tissue tadi.
“Kalo ambil hati anaknya udah berhasil belom?” Kali ini pertanyaan Bara benar-benar membuat Yara sulit untuk menahan senyumnya, untuk memberi jawaban Yara hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum.
“Apaan 'gini' doang? Jawab dong,” protes Bara sambil mengikuti gerak tubuh Yara ketika mengedikkan bahu.
Sebelum Yara menjawab, pelayan lebih dulu datang membawa empat klakat bambu berisi pesanan mereka berdua dan juga dua botol air mineral. Setelah semua pesanan sudah tertata rapih di atas meja, Bara dan Yara tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pelayan tersebut.
“Makan dulu,” ucap Yara sembari membuka satu-satu klakat bambu untuk mengecek di mana pesanannya dan Bara dengan inisiatif membukakan botol air mineral milik Yara agar perempuan itu tidak kesulitan untuk membuka nantinya.
Akhirnya mereka selesai menghabiskan seluruh dimsum hingga bersih tak tersisa, 20 menit mereka menikmati dimsum sembari membicarakan hal-hal random, mulai dari cerita semasa SMP mereka, lalu berlanjut membicarakan bagaimana cara Upin Ipin memakai baju, hingga konspirasi Ahmad Dhani.
“Ra, mau liat sulap nggak?” tanya Bara sembari mengeluarkan tali dari dalam saku hoodienya.
Yara menaikkan kedua alisnya, “Sulap?” tanyanya heran.
Bara membenahi tali yang sedikit kusut karena ia simpan di dalam saku, “Iya, mau nggak?”
“Mana coba?”
Laki-laki itu tersenyum ke arah Yara, “Mana siniin jari manisnya,” pinta Bara lalu setelahnya Yara memberikan jari manis tangan kirinya.
Bara meraih tangan Yara, ia mengikat satu sisi tali yang tadi sudah ia benahi pada jari manis perempuan itu.
“Nggak ke kencengan kan?” tanya Bara memastikan dan Yara hanya menggeleng, ia masih tidak paham sulap seperti apa yang akan laki-laki itu tunjukkan.
Setelah mendapat jawaban dari Yara, Bara merentangkan sisi tali sebelahnya hingga sejajar pada telinga kanan milik Bara.
“Rada naik coba, Ra, tangannya.” Yara pun mengikuti perintah Bara.
“Pake mantra bimsalabim Pak Tarno dulu, nggak?” ledek Yara.
“Nggak, gue punya mantra sendiri. Nanti lo tinggal jawab aja mantra gue.” Tangan kanan Bara masih memegang tali di samping telinganya, tanpa Yara ketahui di dalam genggaman Bara sudah ada sebuah cincin yang siap meluncur mengikuti arah tali yang terbentang.
“Hah? Jawab gimana maksudnya?”
“Ya jawab aja pokoknya. Siap ya?” tanya Bara memastikan lalu Yara mengangguk walaupun dirinya tidak paham apa yang di maksud Bara.
Bara menghitung di dalam hati sambil tersenyum menatap Yara, perempuan itu hanya membalasnya sembari menunggu. Tidak bisa dipungkiri jantung Bara sedang berdegup kencang.
Laki-laki itu menghela napas sebelum mengucapkan kalimat yang katanya sebuah mantra, “Ra, pacaran yuk?” Ia melepaskan genggamannya pada cincin dan membiarkan cincin itu meluncur mengikuti tali yang akhirnya mendarat sempurna pada jari manis Yara.
Yara yang melihat itu seketika terkejut lalu terdiam memproses apa yang sedang terjadi untuk beberapa detik sembari menatap cincin yang sudah menempel pada jari manisnya, sampai akhirnya ia sadar dan tidak bisa menahan tawanya hingga wajah perempuan itu memerah. Tentu saja ia tidak menyaka hal ini yang akan terjadi, ia pikir Bara mengatakan ingin menunjukkan sebuah sulap hanya untuk bermain-main.
Kini keduanya tertawa lepas diantara orang-orang yang sedang menikmati dimsum pada meja lain. Bara mengisyaratkan untuk berhenti tertawa dengan telunjuk yang ia tempelkan pada bibirnya, “Ra, jawab dulu mantra gue,” protes Bara.
Yara mengatur napasnya, “Bentar, ini lucu banget, Bar. Kenapa lo kepikiran aja sih?”
“Isi kepala gue tuh banyak, Ra, apa aja bisa terjadi.”
Dengan wajah yang memerah dan merasakan sensasi kupu-kupu pada perutnya, Yara pun menjawab mantra yang diucapkan Bara, “Iya.”
“Iya apa?”
“Ya, iya.”
“Iya?”
“Nanya mulu ah!”
“Iya apa? Yang jelas.”
“Iya mau.”
Mendengar jawaban Yara membuat laki-laki itu menjadi salah tingkah, rasanya ia ingin berteriak jika tidak ingat dirinya sedang berada di tempat makan yang ramai oleh pengunjung. Tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata yang duduk di sekitar mereka melihat kejadian tadi bahkan tidak jarang mereka ikut tersenyum gemas.
“Gitu dong, susah amat bilang mau doang,” goda Bara.
“Bar, mau tau sesuatu yang lucu nggak?”
“Lo.”
“Bukan ih, serius,” sewot Yara.
Bara terkekeh, “Iya iya, apa?”
“Gue udah suka sama lo dari SMP,”
“Hah? Yang bener?”
“Beneran hahaha, tanya aja Beyi. Inget Belinda kan?”
“Kenapa nggak ngomong?”
“Ya menurut lo aja.”
“Padahal pasti gue juga mau.”
“Kenapa gitu?”
“Soalnya lo cantik.”
“Oh kalo dua hari lagi gue jelek mau lo putusin?”
“Nggak gitu....Eh Bandung dingin ya.” Bara mengalihkan pembicaraan sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
“Hahahaha, kalo di novel novel nih ya, Bar, biasanya ada momen di mana si cowonya juga bilang gini ‘gue juga udah suka sama lo dari SMP’ lo gitu juga nggak? Sekali-kali gitu gue hidup kayak di novel,” celoteh Yara membuat Bara gemas.
“Sayangnya nggak sih, Ra,” ucap Bara jujur, setelahnya ia tertawa melihat wajah Yara yang sudah cemberut.
Malam ini, di bawah tenda warung dimsum Dipatiukur cerita cinta mereka di mulai hanya dengan seutas tali dan cincin yang diberikan Bara. Angin malam memeluk keduanya yang sedang berbagi senyuman dan tawa satu sama lain.
Yara mengamati cincin itu, bukan cincin emas dengan harga fantastic yang Bara berikan. Hanya sebuah manik-manik yang disusun sampai membentuk cincin dengan bunga daisy yang membuat cincin itu terlihat indah ketika bertengger pada jari manisnya.