Bukannya Emang Udah Selesai?

Tidak pernah terbayangkan oleh Bara untuk dirinya kembali menapakkan kaki di rumah ini. Rumah dengan nuansa putih dan minimalis jika dipandang dari depan. Dulu—beberapa bulan yang lalu, sudah menjadi rutinitasnya berkunjung ke rumah ini, apa lagi pada malam minggu.

Bara meraih ponselnya untuk memberi kabar jika dirinya sudah sampai pada Ryuka. Ia membuka helm dan menyibakkan rambutnya yang berantakan sembari berdiri di depan pagar rumah tersebut, tidak berniat untuk langsung masuk seperti yang biasa ia lakukan dulu.

Tak perlu menunggu lama, perempuan dengan model rambut sebahu dan paras yang cantik tanpa riasan keluar dari balik pintu. Perempuan itu berjalan untuk membukakan pagar.

“Kenapa nggak langsung masuk? Biasanya juga gitu,” ucapnya ketika menampakkan diri dihadapan Bara.

“Mana mami?” Bara tidak menanggapi ucapan perempuan itu dan malah bertanya keberadaan Mami.

Tidak ada yang berubah, tetap cantik seperti 10 bulan yang lalu. Bara tidak munafik, bagaimana pun keadaannya sekarang, tetap saja Ryuka pernah menjadi salah satu orang paling spesial di hidupnya sebelum akhirnya menjadi salah satu orang yang paling ingin ia hapus dalam hidupnya.

“Di dalem. Motornya nggak mau dimasukkin dulu?” tanya Ryuka.

“Nggak usah, lagian cuma sebentar.”

Ryuka menghela nafas. Ia paham jika Bara tidak ingin berlama-lama di sini, tujuannya ke sini hanya untuk menjenguk Mami dan memberi tahu tentang hubungan mereka yang sudah putus sejak 10 bulan yang lalu pada Mami, tidak lebih.

Mereka pun berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Dalam genggaman tangan Bara terdapat satu kantong plastik isi dua kotak pisang bolen dari toko kue kesukaan Mami, Bara masih ingat itu.

Ryuka membawa Bara masuk hingga ke kamar Maminya berada. Perempuan itu berhenti sebelum membuka pintu dan menoleh ke arah Bara.

“Bar, aku mohon jangan bahas itu ya. Biar aku aja yang jelasin ke Mami, aku janji,” pinta Ryuka dengan wajah memohon.

Bara hanya menaikkan kedua alisnya, “Kenapa? 10 bulan bukan waktu yang sebentar, lo udah nutupin selama itu apa nggak lebih kasian sama Mami?” kesalnya tetapi masih dengan nada yang tenang.

“Aku udah janji kan? Bisa nggak percaya aja?!” Nada bicara Ryuka sedikit meninggi.

Bara tahu memang perempuan itu memiliki sifat jelek yaitu sulit untuk mengontrol emosinya. Tidak berniat untuk berdebat, alhasil ia hanya berdeham diikuti dengan anggukan kepala.

Akhirnya Ryuka membuka pintu kamar Mami, terlihat wanita paruh baya yang sedang duduk menyandar pada kepala kasur dengan mata yang tertuju pada layar televisi di depan ranjangnya.

“Mi, ini ada Bara,” ucap Ryuka sembari menunjuk kearah Bara yang masih berdiri diambang pintu.

“Masuk aja, Bar.” Ryuka menarik lengan Bara agar segera masuk.

Bara memberikan senyumnya tepat setelah melihat Mami, tidak lupa ia juga menyalaminya dengan sopan dan terlihat Mami juga tersenyum bahagia ketika melihat Bara. Diusapnya rambut Bara dengan lembut.

“Apa kabar, Mi?” tanya Bara.

“Ya begini aja, Bar. Kamu gimana? Udah kuliah makin sibuk ya?” tanya Mami sembari mengelus pundak Bara dan masih menatap laki-laki itu dengan wajah bahagianya, benar jika beliau memang merindukan Bara.

“Iya, Mi, tadi aja baru selesai rapat abis itu langsung ke sini,” jelas Bara.

Ryuka yang berdiri di belakang Bara hanya diam menatap punggung laki-laki itu. Sudah lama ia merindukan segala tentang Bara, ia ingin kembali pada masa-masa mereka masih bersama.

“Ryu,” panggil Mami.

“Ryuuu,” panggilan kedua.

“Ryuka,” panggilan ketiga yang akhirnya menyadarkan perempuan itu.

“Iya kenapa, Mi?” jawab Ryuka dengan linglung.

“Nggak siapin minum ini Baranya? Sama itu, Ryu, tarikin kursi rias ke sini biar Bara bisa duduk.”

“Oh iya, sebentar.” Ryuka bergegas mengambil kursi pada meja rias.

“Nggak papa, biar gue aja.” Bara menahannya, ia pun mengangkat kursi itu dan menaruhnya di sebelah sisi kanan kasur Mami untuk dirinya duduki.

Ryuka pun akhirnya melenggang keluar kamar untuk menyuguhkan minuman.

“Kalian dekat lagi ya?” Pertanyaan yang berhasil membuat Bara bingung.

“Deket lagi gimana Mi maksudnya?” tanya Bara.

“Ya Mami heran aja, kalian udah nggak sama-sama hampir setahun kok tiba-tiba Ryuka kasih kabar kalo kamu mau ke rumah ketemu Mami,” jelas perempuan paruh baya itu.

Bara terdiam, memproses setiap kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya, “Mami udah tau?” tanya Bara lagi.

“Tau apa, Bar?”

“Tau kalo Bara sama Ryuka udah putus.”

“Tau atuh, itu kan udah hampir setahun Bar. Ryuka sendiri yang bilang dulu waktu jaman dia setiap malem nangis.”

Bara tergelak setelah mendengarnya, bukankah artinya kemarin perempuan itu berbohong jika Mami belum mengetahui hubungan mereka yang sudah tidak bersama lagi. Ia menghela nafas berat.

Tidak lama Ryuka kembali dengan membawa nampan dengan gelas berisi minuman berwarna oranye, ia menaruh gelas tersebut di atas nakas tepat sebelah tubuh Bara.

Percakapan antara Bara dan Mami tadi terpaksa berhenti sejak Ryuka kembali bergabung dengan keduanya. Saat ini mereka bertiga sedang berbincang, membicarakan penyakit yang Mami derita hingga kesibukan satu sama lain.

Sudah hampir satu jam Bara berada di sana, akhirnya ia memutuskan untuk pamit karena tidak enak jika berlama-lama di sini. Setelah pamit, laki-laki itu bergegas keluar dari rumah ini, tetapi Ryuka lebih dulu menghadangnya dengan berdiri tepat dihadapannya.

“Bar, sebentar. Kamu buru-buru banget? Aku bahkan belum sempet ngobrol sama kamu,” ucap Ryuka.

Bara memutar kedua bola matanya, “Iya buru-buru, mau jemput cewe gue.” Tentu saja ini hanya sebuah alasan.

“Emang dia nggak bisa pulang sendiri? Kamu lagi ketemu aku. Apa cewe kamu tipe yang suka ngelarang ini itu?” Terdengar nada yang menyebalkan.

Bara tertawa mendengarnya, “Bisa, cuma emang gue nggak mau ngobrol sama lo aja. Nggak, dia sangat amat memberi ruang bebas buat gue dan setidaknya dia percaya sama gue. Hal terpenting suatu hubungan itu kepercayaan kan?” sindir Bara.

“Bar, kamu masih marah ya sama aku? Ayo kita selesaiin masalah 10 bulan yang lalu hari ini,” kata Ryuka, kali ini terdengar seperti nada penuh penyesalan.

Bara hanya terdiam, “Aku minta maaf,” sesal Ryuka, ia menunduk tidak mampu menatap wajah Bara yang semakin dingin.

Setelah mendengar kalimat tadi lantas Bara mengepalkan tangan hingga kuku-kukunya berubah warna menjadi putih, ia sedang menahan amarahnya yang mungkin bisa meledak kapan saja.

Sebelum berbicara Bara menetralkan deru nafasnya terlebih dulu, “Lo emang butuh 10 bulan dulu buat ilangin gengsi?” sindirnya lagi, mengingat masalah ini sudah 10 bulan lamanya.

“Aku ngaku salah, Bar.”

“Nggak sekalian ngaku kalo sebenernya lo udah bohongin gue soal Mami yang belum tau hubungan kita udah putus?” cecar Bara.

Ryuka mengangkat kembali kepalanya untuk menatap Bara, mata perempuan itu membulat sempurna ketika mendengar kalimat yang baru saja terucap dari mulut laki-laki di hadapannya. Dari mana dia tahu?

“Lo bingung gue tau dari mana? Mami sendiri yang bilang tadi,” ucap Bara lagi ketika melihat Ryuka yang sedang menampilkan wajah terkejutnya.

Ia kira Mami tidak akan mengungkit hubungan mereka berdua, ia kira Mami tidak akan mengatakan apa-apa, ia kira akan aman jika memakai alasan ini untuk bertemu Bara lagi. Ternyata ia salah.

“Bar, aku minta maaf. Aku lakuin ini karna emang nggak tau harus gimana lagi supaya bisa ketemu kamu dan selesaiin masalah kita.” Ryuka berusaha menjelaskan dan berharap Bara bisa menerima penjelasannya.

“Bukannya emang udah selesai?”

Tanpa ada kata selesai pun Bara sudah menganggap hubungan dan masalah ini telah selesai. Sudah tidak ada yang bisa diperbaiki, hatinya terlanjur terluka atas sikap Ryuka pada saat itu dan sebuah kalimat yang behasil meruntuhkan segala perasaannya terhadap perempuan yang dulu masih menjadi kekasihnya.

“Aku tau, kamu masih sayang kan sama aku?” tanya Ryuka dengan wajah datarnya.

“Wah.” Lagi-lagi Bara dibuat tertawa oleh Ryuka, bagaimana bisa perempuan itu berpikir begitu, “Setelah kalimat waktu itu keluar dari mulut lo, rasa sayang gue langsung berubah jadi kecewa.”

Ada jeda sebelum akhirnya Bara melanjutkan kalimatnya, “Jadi, buang pikiran kalo gue masih sayang sama lo, Ryuka.”

Dari awal Ryuka hanya berusaha terlihat tegar, ia menahan tangisnya sedari awal mereka bertemu bahkan saat Bara bertemu Mami. Tapi kali ini, setelah mendengar kalimat tadi membuat pertahanannya runtuh. Kini air matanya turun membasahi pipi, ia kembali menunduk.

“Berhenti ya. Lo yang memutuskan sendiri kita pisah 10 bulan lalu dan lo juga yang tiba-tiba dateng lagi buat perbaiki semuanya, sekarang tuh udah terlambat. Coba lo dulu dengerin penjelasan gue, coba lo dulu lebih percaya gue dibanding temen-temen lo, coba lo nggak gegabah buat ambil keputusan. Mungkin endingnya nggak akan kayak gini.” Bara berusaha berbicara dengan tenang.

“Tapi, nggak ada penyesalan sama sekali untuk gue setelah pisah sama lo. Gue pikir this is the best choices, hubungan lo sama gue dulu bisa dibilang toxic. Gimana gue yang terlalu sayang sama lo sampe gue rela nerima sifat lo yang tempramental, gue yang gampang cemburu kalo liat lo sama temen-temen cowo lo dan sebaliknya, lo yang membatasi pergerakan gue, mulai berantem setiap hari bahkan gara-gara hal kecil dan banyak lagi. Jadi cukup Ryu, kita udah selesai.”

“Gue udah ketemu sama kebahagiaan gue yang baru. Lo juga harus, karna masih banyak kebahagiaan yang nunggu lo di depan sana. Dari dulu pun gue udah maafin lo, Ryu, tapi sulit buat nerima lo lagi di sekitar gue, kenangan dulu masih membekas banget di otak gue. Bukan cuma itu, rasa bersalah gue juga selalu hadir tiap liat lo lagi.”

“Bar...” lirih Ryuka, “Aku nyesel, sampe sekarang pun aku susah buat buka hati untuk orang lain, aku ternyata masih sayang sama kamu,” lanjutnya dengan nada yang terbata-bata karena sulit berbicara ketika sedang menangis.

“Sorry.” Hanya satu kata itu yang bisa Bara ucapkan, setelahnya yang terdengar hanya suara tangis dari bibir Ryuka.

Bara menghela napas berat sebelum kembali membuka suara, “Gue harap penyesalan lo cepet berakhir, karna selanjutnya lo harus bangun, cari seseorang yang nggak akan pernah buat lo merasa menyesal sampe akhir nanti.”

“Udah ya gue pamit.” Bara berjalan empat langkah melewati Ryuka yang masih berdiri dengan tangisnya.

Tiba-tiba Bara berhenti ingat akan sesuatu, “Oh iya, bilangin ke temen-temen lo buat stop terror cewe gue lewat DM Twitter dan ganggu hubungan gue sama dia.” Setelah itu Bara kembali berjalan keluar rumah dan pergi meninggalkan tempat ini.

Ryuka kini terjatuh ke lantai, ia menangis sejadi-jadinya hingga dadanya terasa sesak. Rasa sesal di dalam hatinya menyeruak ketika mendengar seluruh ucapan Bara, ia merutuki kebodohannya selama ini. Tetapi semesta tidak peduli seberapa besar penyesalannya, karena pada kenyataanya tak akan ada yang bisa mengembalikan waktu termasuk semesta.

Perempuan itu menyesal tidak menggunakan waktu sebaik mungkin saat dirinya masih bersama Bara. Kini, setelah Bara telah pergi, laki-laki itu membawa mati setengah hati miliknya.

Lalu, bagaimana caranya untuk bangkit dari kenyataan pahit ini?