Filosofi Langit

1743 words

Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Giska berjalan keluar dari lobby perpustakaan untuk menghampiri Akbar yang sedang memperhatikan pergerakkan Giska dari tempatnya menunggu.

Perpustakaan tutup pukul 21.00, tetapi biasanya beberapa menit sebelumnya staff perpustakaan sudah mulai membenahi rak dan mematikan lampu lampu di dalam. Terlebih lagi tadi yang tersisa hanya Giska sendiri yang masih asik dengan alam mimpinya.

Akbar memberikan helm yang sengaja dibawanya untuk Giska pakai. Malam ini malam minggu, biasanya polisi mengambil kesempatan untuk melakukan razia kepada pengendara yang tidak menggunakan helm.

Giska pun menerima helm itu. “Kok lo sih yang dateng?” tanya Giska sambil sibuk mengaitkan ikatan helmnya yang tidak berhasil-berhasil.

Akbar yang melihat gemas sendiri dan akhirnya berinisiatif untuk membantu mengaitkannya. “Kalo susah tuh minta tolong. Bay, tolong dong susah nih. Gitu.”

“Orang gue bisa sendiri.” Bukan Giska kalo tidak merasa dirinya bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan orang lain.

“Bisa apanya?”

Tali helm pun terkait dengan sempurna setelah Akbar membantunya. Setelah itu Giska naik ke atas motor milik Akbar dan membenarkan posisi duduknya.

“Udah?” tanya Akbar memastikan sebelum menancapkan gas motornya.

“Udah.”

Yang laki-laki hanya mengangguk sembari melepas jaketnya yang sedari tadi ia gunakan. Giska memperhatikan Akbar melepas jaket.

“Gue nggak dingin, lo mau nawarin jaket lo biar gue pake kan?” tanya Giska dengan tebakannya yang sangat percaya diri.

“Ih, GR. Orang gue gerah,” balas Akbar. Bohong. Sebenarnya memang kenyataannya ia ingin memberikan jaketnya untuk dipakai Giska karena udara malam ini cukup dingin, sedangkan Giska hanya menggunakan kaos lengan pendek. Tapi perempuan itu lebih dulu menangkap basah sikapnya.

Akbar pun mengikat jaketnya di lehernya. “Tapi kalo lo beneran kedinginan nggak papa pake aja nih jaket gue,” tuturnya.

Akhirnya Akbar melajukkan motornya. Tak ada percakapan diantara mereka berdua setelah motor berjalan. Akbar hanya fokus pada jalan raya, sedangkan Giska menatap langit yang menurutnya bagus karena bulan terlihat sangat indah malam ini. Bulan yang hanya menampakan setengah dari dirinya.

Mereka melewati jalan layang pasupati, tidak jarang ada barisan mobil mobil dan motor di sana. Giska menepuk pundak Akbar sebelum berbicara.

“Bay, boleh berhenti sebentar aja nggak di sini?” tanya Giska dengan suara yang cukup keras karena dikhawatirkan Akbar tidak mendengar suaranya.

“Mau ngapain?”

“Bentar aja serius, minggir sini dulu sedetik,” mohon perempuan itu.

Akbar pun menuruti keinginan Giska untuk berhenti, ia menepikan motornya.

“Kenapa?” tanya Akbar lalu menoleh, dan menemukan Giska yang sedang membidik kamera ponselnya ke atas langit.

“Foto langit. Bulannya bagus,” jawab Giska dengan senyum yang lebar. Sepertinya Akbar belum pernah lihat sebelumnya.

Akbar hanya diam memperhatikan dan menunggu sampai Giska selesai memotret langit yang menurutnya bagus.

“Udah! Ayo cus jalan lagi.” Giska memamerkan deretan giginya

Akbar terkekeh. “Gue kirain kenapa, Gis.”

“Sorry ya, gue suka banget soalnya sama langit. Jadi kalo langitnya lagi cantik harus banget gue abadikan, buat koleksi probadi,” jelas Giska setelah motor yang Akbar kendarai kembali mulai melaju.

“Senja. Lo suka senja?”

“Gimana pun bentuk langit kalo menurut gue indah, ya gue suka.”

Akbar hanya mengangguk tanda mengerti. Lalu setelahnya tidak ada lagi percakapan tentang langit.

“Lo laper nggak?” Akbar kembali membuka suara.

“Hah?” Ramainya suara kendaraan dan angin yang lumayan kencang membuat suara Akbar tidak jelas untuk pendengaran Giska.

“Lo laper nggak?” Akbar pun mengulang pertanyaannya dengan suara lebih besar, berharap kali ini Giska dapat mendengarnya.

“Oh. Nggak.”

“Mau makan di mana?”

“Gue nggak laper.”

“Apa? Nasi goreng?” tanya Akbar. Sebenarnya ia mendengar jawaban Giska yang mengatakan perempuan itu tidak lapar, tapi Akbar tahu kalau Giska belum makan.

“Nggak laper.” Giska menambah volume suaranya sembari memajukan tubuhnya mendekat ke Akbar agar laki-laki itu bisa mendengar.

“Hah? Ayam geprek?”

“Budeg banget! Gue bilang gak laper.”

“Ketoprak? Kayaknya udah habis deh yang langganan gue.”

“Gue nggak laper anjir!”

“Oh pecel lele? Oke, di deket sini ada pecel lele langganan gue.”

“SUMPAH LO NYEBELIN BANGET,” kesal Giska, sedangkan Akbar hanya tertawa dibalik helmnya.


Ternyata Akbar tidak bercanda. Dia benar-benar berhenti pada warung tenda pecel lele, jam segini sudah tidak terlalu penuh tetapi Giska bisa menebak kalau sekitar pukul 20.00 pasti warung ini sangat ramai karena ayam yang ada pada etalase sudah tersisa sedikit.

“Mau lele apa ayam, Gis?” tanya Akbar.

Giska menghela nafasnya kasar saat menatap Akbar. “Gue nggak laper.”

“Udah sampe sini masa nggak makan, Gis? Terakhir makan jam berapa gue tanya? Lo kan abis ngebo di perpus.”

“Siang,” jawab Giska singkat.

“Tuh kan, makan dulu biar sampe rumah langsung istirahat. Jadi, mau lele apa ayam?” Akbar mengulang pertanyaannya.

“Piranha.”

“Bu, ayam satu sama piranha satu ya.”

Giska terbelalak dengan apa yang barusan Akbar ucapkan pada ibu penjual. Dengan cepat Giska mengoreksinya, “Nggak bu, lele maksudnya.” Perempuan itu menatap Akbar dengan sinis. Kalau Akbar, tentu saja sedang senyum senyum tidak jelas.

Ibu penjual hanya terkekeh melihat dua remaja yang sedang memiliki hubungan tidak baik, terlihat dari sang puan yang menatap lawan jenisnya seperti ingin menghabisinya tanpa ampun.

“Ayam satu sama lele satu ya. Minumnya mau apa?”

“Minumnya mau apa?” Akbar kembali menoleh untuk bertanya pada Giska.

“Au ah.”

“Au ah satu sama es teh manis satu, bu.”

“Aqua mas?”

“Au ah katanya bu.”

Giska kembali menghela napas kasar, “Es teh manis bu,” ucap Giska.

“Oh, berarti es teh manis dua ya?”

Akbar mengangguk, “Jadi sekarang tau ya bu, kalo ada yang pesen piranha artinya lele. Kalo au ah artinya es teh manis,” canda Akbar yang membuat si Ibu pun tertawa dengan tingkahnya.

“Lo bisa duduk aja nggak?”

“Oke.”

Akbar akhirnya menuruti perintah Giska untuk duduk, ia mengambil kursi sebrang Giska, kini mereka duduk berhadapan. Giska hanya menopang dagunya pada telapak tangan perempuan itu, jari-jari pada tangan satunya mengetuk-ngetuk meja hingga menghasilkan nada-nada asal.

Akbar hanya memperhatikannya, perempuan itu terlihat lelah. Entah karena apa, matanya terlihat sayu, seperti ada benang kusut yang mengumpul di dalam kepalanya. Perempuan itu masih diam dengan tatapan kosong.

“Capek, Gis?” Akhirnya Akbar membuka percakapan.

Giska hanya mengangguk.

“Tapi makan dulu ya? Siang makannya jam berapa?”

“Nggak tau lupa, jam 11 mungkin.”

“Tuh kan udah lama banget, sekarang udah hampir mau jam 10 malem. Kasian perutnya,” bujuk Akbar.

“Kalo capek, nanti langsung istirahat ya sampe rumah,” lanjutnya.

Giska menggeleng. “Bukan capek fisik,” ucapnya dengan suara yang parau, ada kesedihan di sana.

Akbar diam. Bagaimana bisa Giska yang baru saja ia lihat bahagia ketika menatap langit, sekarang menjadi Giska dengan tatapan kosong sembari mengetuk-ngetuk meja.

“Gis,” panggil Akbar.

Giska tidak berniat untuk menjawab panggilan Akbar, masih dengan posisi yang sama ia diam.

“Lo tau nggak ada 5 pelajaran hidup yang bisa lo ambil dari langit?” lanjut laki-laki itu.

Tidak berniat merubah posisi, Giska menatap Akbar seakan meminta penjelasan maksud dari lima pelajaran hidup yang bisa diambil dari langit.

“Yang pertama, langit ngajarin kita tentang keadilan. Langit itu adil dalam membagi porsi antara siang dan malam. Mereka juga punya porsi keindahan yang sama antara siang dan malam, langit siang punya warna-warni sedangkan malam punya bintang-bintang. Begitupun kita yang harus adil untuk nggak mendiskriminasi orang lain kalo emang orang itu punya perbedaan sama kita.”

Akbar menarik dan menghembuskan nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. “Kedua, langit itu ngajarin untuk rendah hati. Langit itu tinggi, tapi langit nggak pernah nunjukkin kalo dirinya ada di sana. Langit nggak perlu repot jelasin karena semua orang udah tau. Sama halnya kayak kita, nggak perlu nunjukkin semua yang kita punya karena orang akan tau tanpa kita kasih tau.”

Giska mulai menegakkan tubuhnya, membuka telinganya lebar-lebar untuk kembali mendengar ucapan Akbar.

“Ketiga, langit ngajarin kita lapang dada. Langit itu luas, bahkan kita nggak tau sampe mana batas langit terbentang. Kalo kata buzz lightyear ‘to infinity and beyond’ maksudnya ketidakterbatasan, jadi langit itu nggak ada batasnya. Bisa bayangin nggak kalo kita punya hati seluas langit? Kita bisa lebih ikhlas nerima semua kenyataan hidup dari yang pahit sampe yang manis.”

Perjelasan Akbar harus terputus ketika Ibu penjual tadi mengantarkan pesanan mereka berdua. Sudah tersusun rapih piring-piring berisi nasi dan lauk dihadapan mereka, Akbar pun mengajak Giska untuk makan lebih dulu.

“Dua lagi, nanti gue lanjut habis makan.”

“Ih nanggung!” omel Giska.

“Makan dulu, kalo makan lo habis baru gue jelasin sisanya.”

Mereka mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Butuh 15 menit mereka menghabiskan makanan yang semula memenuhi piring. Padahal Giska mengatakan dirinya tidak lapar, tapi di piringnya kini yang tersisa hanya tulang dan kepala dari lele.

“Duanya?”

Akbar yang sedang minum hampir saja tersedak karena tertawa. “Sabar dong, masih minum ini.”

“Gue boleh nebak nggak salah satunya?”

Akbar hanya mengangguk karena masih sibuk menyeruput minumannya.

“Ngajarin untuk bisa bermanfaat buat orang lain?”

Akbar terbelalak lalu mengajak Giska untuk high five, dengan heran Giska tetap menerima ajakan high five dari Akbar.

“Keren. Bener keempat langit ngajarin kita bisa bermanfaat buat orang lain. Sinar matahari bermanfaat buat semua makhluk di bumi, jadi kalo bisa kita juga jadi pribadi yang bermanfaat buat orang lain. Misalnya bantu orang tanpa pandang bulu, apalagi sampe liat kasta mereka.”

Tanpa banyak berkomentar, Giska hanya menjadi pendengar saat ini sampai Akbar benar-benar menyelesaikan semua penjelasannya.

“Yang terakhir, langit ngajarin kesederhanaan. Cuma dengan warna biru yang cerah, langit udah keliatan indah ditambah awan-awan yang buat lebih indah lagi. Atau hitam pekat, langit bisa bikin kita kagum dengan bintang-bintangnya. Begitu seharusnya kita jalanin hidup, sederhana nggak usah berlebihan. Toh semua cuma kesenengan sementara.”

Giska tersenyum, senyum yang makin lama menjadi tawa. Tawa yang terdengar hingga keluar dari tenda pecel lele, bahkan suara motor racing tidak bisa mengalahkan suara tawa Giska.

Akbar yang melihat tawa itu hanya bisa tersenyum. Entah apa yang sedang ada di dalam pikiran Giska, ia tidak punya hak untuk bertanya tetapi laki-laki itu hanya berusaha membantu meredakan kekhawatiran yang sedang mengganggu pikiran Giska. Ia juga tidak tahu apa yang barusan diucapkan, laki-laki itu hanya mengulang sebuah kalimat yang dulu pernah ia dengar dari seseorang yang sangat dirinya hormati.

“Jadi, gue ngerti kenapa lo suka sama langit. Karna gue yakin di dalam diri lo, lo udah ngelakuin semua dari kelima makna langit yang gue sebutin barusan.” lanjut Akbar lagi.

Giska menggeleng. “Gue nggak sesempurna langit yang punya matahari dan bintang.”

Akbar lagi-lagi diam sebelum akhirnya membuka suara. “Gue siap jadi matahari buat lo.”

“Tapi gue juga butuh bintang.”

“Lo sendiri yang jadi bintangnya, lo layak buat bersinar di gelapnya dunia.”

Giska menelan salivanya sekuat tenaga, matanya mulai terasa kabur tetapi sekuat tenaga ia menahannya.

“Lo bisa jadi bintang, Gis, bintang yang paling bersinar terang di kegelapan karena gue yakin lo mampu memancarkan cahaya lo sendiri.”

Malam itu, kembali lagi Akbar yang berhasil membuatnya sejenak melupakan bising kepalanya. Semua penuturan laki-laki itu membuat Giska menyadari bahwa dirinya bisa melewati segalanya. Satu masalah bukan berarti bisa membuat Giska menyerah untuk menjadi bintang yang bersinar, justru dengan satu masalah itu bisa mengajarkannya untuk melewati masalah selanjutnya.