First Impression
1500 words
Untuk sebagian orang dengan kepribadian introvert, berada di tempat yang ramai dan bertemu dengan orang baru menjadi suatu hal yang kadang kala sengaja mereka hindari. Salah satunya Giska, ada waktu di mana ia membutuhkan waktu yang tenang di dalam kamar untuk menyendiri selama satu hari penuh. Bukan berarti dirinya membenci interaksi sosial, tapi ia hanya merasa sedikit lelah jika terlalu sering berinteraksi.
Berbeda dengan malam ini, rasanya ia sangat suntuk. Isi kepalanya terlalu bising karena banyak memikirkan alasan mengapa Gendra tidak membalas pesannya dan omelan Gya yang terus membela Gilsa masih terus menghantui pikirannya.
Setelah turun dari ojek yang ia tumpangi, Giska masih berdiri di tempat dan menatap bangunan yang ada di hadapannya lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, membayangkan berapa persentase energi yang harus ia keluarkan.
Giska tidak asing dengan tempat ini, tetapi tidak juga sering datang ke tempat ini. Ia melangkah memasuki tempat tersebut, berbeda dengan gelapnya cahaya di luar ruangan, justru di dalam penuh dengan lampu sorot yang terkadang mengganggu pandangan Giska. Matanya mejelajahi setiap table di sana, mencari keberadaan Raisha.
“Giska!” Terdengar suara samar-samar dari arah kanan.
Giska menoleh ke sumber suara, ia menemukan Raisha di sana dan beberapa orang di sekitarnya. Yang pasti dari pengelihatannya, ia melihat ada Ades duduk di samping Raisha sambil menghisap pod di tangan kanannya. Ia berjalan menghampiri dan mengambil duduk tepat di samping Raisha.
“In case ada yang belum kenal, ini temen gue namanya Giska.” Tidak lupa Raisha memperkenalkan Giska pada teman-teman kekasihnya.
Beberapa diantaranya menawarkan fist bump dan Giska dengan senang hati membalasnya sembari memperkenalkan diri. Sisanya hanya senyum dari tempat duduknya karna posisi mereka yang terhalang meja membuat mereka sedikit malas untuk bangkit.
“Apa kabar, Gis? Jarang keliatan lo,” tanya Ragil yang baru saja mengambil tempat duduk di samping Giska.
Giska menoleh untuk mendapati Ragil di sampingnya, lalu tertawa. “Mendem gue di rumah, masih kerasa vibes PPKM,” candanya, diikuti kekehan Ragil atas jawaban Giska.
Ini bukan pertama kalinya ia bertemu dengan Ragil, ada di beberapa waktu mereka bertemu. Tentu saja mereka berdua kenal melalui Ades dan Raisha. Tetapi tidak semua teman Ades, Giska mengenalnya.
“Betah juga lo sama kampanye di rumah aja nya pemerintah?” Ragil menanggapi candaan Giska. Sedangkan Giska menjawabnya dengan anggukan kepala disertai tawa.
“Lo mau pesen apa, Gis? Minum nggak?” tawar Ragil.
“Gue nggak minum. Iya gampang nanti aja, gue baru banget isi perut,” kata Giska.
Ragil mengangguk. “Yaudah, kalo mau pesen bilang gue aja ya.” Tentu saja Giska mengiyakan ucapan Ragil.
Giska paham perlakuan welcome Ragil semata-mata agar Giska tidak merasa canggung, sebab perempuan itu belum mengenal yang lainnya kecuali Ragil, Raisha, dan Ades. Sepertinya Giska harus banyak berterima kasih dengan Ragil. Buktinya, setelah waktu berjalan, Giska dan semua orang yang berada di satu table itu saling berbincang dan bercanda, layaknya teman yang sudah mengenal lama.
“Assalamualaikum,” salam seseorang yang baru saja datang.
Dengan reflek semua orang menoleh dan mendapati laki-laki dengan printed shirt motif garis-garis berdiri di sana. Giska merasakan siku Raisha yang dengan sengaja menyenggol lengan kirinya, ia menoleh ketika Raisha membisikan sesuatu.
“Abay tuh,” bisik Raisha membuat Giska mengerutkan keningnya seakan berbicara, ‘ya terus?’.
Laki-laki itu mengajak high five satu persatu orang yang ada di table tersebut, termasuk Giska.
“Giska?” tanya Akbar lalu tersenyum setelah sadar tidak asing dengan wajah perempuan yang baru saja high five dengannya, Giska membalasnya hanya dengan anggukan. Entahlah ia harus bereaksi seperti apa, menyapa seperti ‘hai Abay’? Sepertinya ia belum sedekat itu untuk menyebut nama Akbar dengan sebutan Abay, bahkan ini pertama kalinya mereka bertemu.
“Sikat, Bay,” celetuk Ades yang mendapatkan tatapan tajam dari Giska.
“WC lo, segala di sikat,” balas Akbar. Setelah menyapa seluruh temannya, lantas ia mengambil tempat duduk kosong persis sebrang Giska duduk.
Semakin malam tempat ini semakin ramai, suara musik dari DJ dan riuh suara pengunjung juga semakin memenuhi sudut ruangan. Area dance floor sudah semakin sesak, terlihat jelas dari tempat Giska duduk. Semua orang menikmati musik sembari meliuk-liukan tubuh layaknya seorang penari profesional, ada juga yang hanya sekadar menggoyangkan kepala sembari mengangkat tangan ke kanan dan ke kiri.
“Bangun dah yuk, joget!” ajak salah satu teman Ades. Mereka pun yang di sana turut setuju dan mulai bangkit satu persatu, termasuk Raisha.
Tentu tidak untuk Giska, ia memilih untuk memantau dari tempat duduknya.
“Ayo, Gis,” ajak Raisha sembari menarik lengan Giska.
“Nggak ah, lo aja sana,” tolak Giska.
“Ih, lo nggak papa sendiri di sini?” tanya Raisha memastikan, karena sesungguhnya ia ragu kalau harus meninggalkan Giska sendiri. Tidak menutup kemungkinan ada laki-laki iseng yang akan menghampiri Giska, walaupun Raisha paham Giska sangat tegas dalam hal penolakan, tapi tetap saja ia khawatir mengingat tempat seperti ini tidak sering perempuan itu kunjungi.
“Ada gue, Sha,” saut Akbar yang baru saja kembali dari kamar mandi.
Mereka berdua—Giska dan Raisha pun menoleh dan hanya diam tanpa reaksi, menatap beberapa detik kearah Akbar.
Akbar mengangkat kedua tangan layaknya seorang pelaku kejahatan yang diringkus polisi. “Sumpah gue bukan penjahat,” ungkap Akbar.
Raisha tertawa. “Yaudah gue titip ya, Bay, awas aja temen gue lecet, lecet sedikit lo harus ganti rugi pake nutella b-ready. Soalnya itu cewek kalo sakit, sembuhnya pake b-ready,” ancam Raisha, sedangkan Giska hanya menghela napas mendengar percakapan temannya dan Akbar.
“Aman.”
“Yaudah gue tinggal ya, Gis,” pamit Raisha. Tetapi baru dua langkah, Raisha kembali berhenti dan membisikan sesuatu pada Akbar, “Bisa, Bay, bisa. Gue percaya sama lo,” bisiknya sembari menepuk pundak Akbar.
Yang laki-laki hanya tertawa membuat Giska yang melihat adegan itu merasa curiga, ia yakin Raisha mengatakan sesuatu tentangnya. Pede memang sudah menjadi nama tengah seorang Giska.
“Lo minum kan? Duduk dua meter dari gue,” perintah Giska saat melihat Akbar yang baru saja ingin manjatuhkan bokongnya ke sofa.
Tanpa menggubris perintah Giska, bokong Akbar tetap mendarat dengan sempurna di sana—tepat samping Giska.
“Gue nggak minum. Lagian gimana ngobrolnya kalo jauh-jauhan, deket aja gue masih harus hah hoh hah hoh,” jelas Akbar.
“Jangan bohongin gue,” ucap Giska yang masih tidak percaya, walaupun memang ia juga sebenarnya tidak melihat Akbar minum.
“Bohong mah elo,” ejek Akbar yang dibalas dengan tatapan malas Giska. “Lo kenapa nggak ikut kesana?” lanjut Akbar sembari menunjuk ke arah dance floor.
“Nggak mau ah, rame,” jawab Giska.
Akbar terkekeh setelah mendengar jawaban perempuan di sampingnya. “Atuh kalo mau sepi mah di rumah neng,” canda Akbar.
“Gue aja bingung kenapa gue ada di sini, bentar lagi juga mau pulang,” balas Giska.
“Kenapa?” tanya Akbar dengan posisi kedua siku tangannya bertumpu di paha, dan kepala menoleh ke kiri untuk menatap Giska dengan view yang lebih rendah dari perempuan itu.
Giska yang ditatap seperti itu lantas kaget dan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah depan. “Ya pengen aja,” balas Giska seadanya.
Akbar mengangguk masih dengan posisi yang sama, “Mata gue ternyata emang bener ya,” ucap Akbar lalu menegakan kembali tubuhnya.
Dengan wajah bingung, Giska seperti meminta penjelasan maksud dari kalimat Akbar tadi. Akbar yang menangkap sinyal itu pun tertawa lalu menjelaskannya. “Lo cantik,” jelas Akbar.
Hanya dua kata tetapi bisa membuat Giska menelan ludahnya dengan susah payah. “Lo beneran harus menjauh dari gue minimal dua meter,” kesal Giska sembari mendorong tubuh Akbar. Tentu saja Akbar tertawa setelah berhasil menggoda lawan bicaranya, kalau tempat ini tidak sebising sekarang, mungkin tawa Akbar akan terdengar sangat kencang.
“Kan lo sendiri yang bilang minta dipuji terus, gimana sih?”
“Gue ngomong gitu bukan berarti beneran dong!” Giska menghela napas kembali, sepertinya energinya sudah benar-benar habis.
“Hahahaha, gue kira lo tipe cewek yang galak judes gitu. Tapi ternyata emang,” canda Akbar, “Nggak deng, lo galaknya lucu bukan judes. Ini gue serius ya bukan gombal. My first impression of you,” lanjut Akbar menoleh lagi untuk melihat Giska yang menatap lurus ke depan, lalu melirik ke arah Akbar sekilas ketika sadar Akbar melihat ke arahnya.
“Kalo first impression gue, lo beneran kayak buaya yang lepas dari penangkaran. Di mana penangkaran lo biar gue anter pulang.” Lagi-lagi penuturan Giska membuat Akbar tertawa.
“Astaga, gue beneran bukan gombal, Giska. Lagian reaksi lo kenapa sih, lo salting?” tanya Akbar secara terang-terangan membuat Giska berdecih.
“DIH.”
“Ya kalo nggak mah biasa aja, padahal kalo gue puji simplenya lo tinggal bilang makasih?” Sepertinya Akbar belum puas menggoda Giska.
“Makasih,” jawab Giska dengan singkat membuat Akbar tersenyum lebar, kalau diukur mungkin tiga jari bisa masuk ke dalam mulutnya.
“Bay.” Untuk pertama kalinya Giska menyebut nama Akbar dengan nama panggilan laki-laki itu.
Akbar menoleh dan berdeham sebagai jawaban.
“Mau ingetin aja gue nggak suka cowok,” ucap Giska, kalimat yang selalu menjadi tamengnya agar tidak ada laki-laki yang mendekati. Bukan tanpa alasan, alasannya jelas ia masih menunggu kepastian dari kata break kekasihnya, Gendra.
Akbar diam beberapa detik. “Iya, Giska. Gue juga nggak suka cewek,” balas Akbar lalu tertawa, membuat Giska semakin sebal karena ia sedang berbicara serius dan memberi peringatan untuk Akbar, tetapi laki-laki itu tetap menanggapi dengan candaan. Memang penuturannya terlihat bercanda?
Malam semakin larut, semula rencana Giska akan pulang lebih awal dari yang lainnya setelah energinya habis seketika hilang, lihat saat ini, ia masih duduk manis di sofa dan asik mengobrol berdua dengan Akbar walaupun topik yang dibahas semakin random. Mereka berdua seperti tidak kenal yang namanya waktu dan keramaian sekitar.