Gemblong dan Abangnya

1483 words

Giska kira untuk hari ini ia tidak akan pernah menginjak lantai teras rumahnya, bahkan untuk membuang sampah ke depan rumah pun perempuan itu tidak terpikirkan sama sekali. Hari ini rasanya tidak ada sedikitpun energi untuk bangkit dari kasur.

Dengan langkah gontai Giska berjalan menuju pintu utama rumahnya. Ia terdiam beberapa menit berdiri di depan pintu dengan tangan menggenggam handlenya, berusaha menenangkan dirinya sendiri yang masih terasa sangat sesak setelah menangis, dan sesekali perempuan itu menarik lalu mengembuskan napas.

Sedangkan Akbar, masih menunggu pintu itu terbuka dan menampilkan Giska di sana. Laki-laki itu tidak sabar melihat ekspresi seperti apa lagi yang akan Giska perlihatkan, membayangkan senyum lebar perempuan itu saja Akbar sudah tidak sanggup.

Tak lama kemudian, akhirnya pintu terbuka dan Akbar pun menyambutnya dengan senyum lebar. Tetapi tidak seperti dugaannya, justru Giska menampilkan raut wajah datar dengan kantung mata yang membengkak, bahkan hidung dan matanya tampak memerah. Siapapun yang melihat akan berpikir hal yang sama dengannya, pasti perempuan itu habis menangis.

Akbar melangkah mendekati Giska. “Baru bangun ya?” Dibanding menanyakan kenapa mata perempuan itu bengkak, Akbar justru memberikan pertanyaan lain.

Seperti belajar dari pengalaman. Yang ia tahu, ketika ditanya bagaimana keadaannya, Giska selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja walaupun berbanding terbalik dengan matanya yang mengatakan tidak baik-baik saja.

“Iya, lo ngapain jauh banget sampe kesini?” Suaranya terdengar tenang seperti memang tidak terjadi apa-apa.

“Liat dong apa yang gue bawa.” Akbar menunjuk ke arah bapak-bapak yang berdiri tepat di samping motor laki-laki itu.

Giska mengerutkan keningnya. “Siapa?” Ia sama sekali tidak mengenali Bapak itu.

“Katanya lo mau gemblong, tuh gue bawain,” ucap Akbar.

Lalu Akbar mempersilakan Bapak itu untuk masuk ke dalam pekarangan rumah Giska. “Pak, punten, masuk aja sini,” perintahnya. Yang diberi perintah pun mengikuti untuk masuk ke dalam.

Giska terdiam ketika melihat Bapak itu masuk dengan membawa satu drum ukuran sedang berwarna biru yang bertuliskan ‘gemblong’ disana.

“Lo ngapain bawa abangnya juga sampe sini, Bay?” tanya Giska yang masih terlihat kaget.

“Kan lo sendiri bilang mau gemblong yang emberan? Ini barusan gue nemu di jalan, jadi langsung aja gue ajak kesini abangnya.”

“Maksud gue nggak usah sampe dibawa kesini juga. Lo ketemu di mana?”

“Di pasar deket rumah gue. Kan lo katanya mau, Gis.”

Giska memegang pelipisnya. “Iya tapi beliin aja kan bisa, Bay, kasian abangnya jauh banget dari sana kesini,” jelas Giska.

“Teu masalah, Neng. Bapak oge biasana ngajual sampe ka alun-alun,” balas Bapak penjual gemblong itu. (trans: nggak apa-apa, neng. Bapak juga biasanya jualan sampe alun-alun)

“Tuh, nggak papa. Tenang, gue yang tanggung jawab. Lagian kalo lo mau gemblong emberan, ya harus gue ajak juga abangnya, nggak bisa gue bawa embernya doang.” Setelahnya Akbar terkekeh.

Sampai saat ini, Giska masih tidak mengerti kenapa Akbar bisa seajaib ini. Dari ucapan, tingkah laku, sampai bagaimana cara laki-laki ini memperlakukannya itu terasa sangat ajaib.

Sesungguhnya, Akbar bukan pesulap, juga bukan badut. Dunianya tak terhubung sama sekali dengan sirkus. Tetapi bagi Giska, setiap ucapan dan seluruh perlakuannya bagai mantra seorang pesulap. Ajaib.

Giska menghela napas, berjalan menghampiri penjual gemblong itu dan mengabaikan ocehan Akbar barusan.

“Pak, satunya berapa?” tanya Giska.

“Dua ribu, Neng,” jawab penjual gemblong sembari mengambil plastik.

“Mau 25 biji deh, Pak.”

“Muhun, Neng.”

Tanpa disadari kedua ujung bibir Giska terangkat setelah melihat satu persatu gemblong yang ia idam-idamkan dimasukkan ke dalam plastik.

“Bapak biasa jualan kemana aja?” tanya Giska membuka percakapan.

“Nggak nentu. Biasanya mah muter aja, Neng. Cari weh yang loba jelema.” (trans: cari aja yang banyak orang)

Giska mengangguk mengerti. Sedangkan Akbar di sebelahnya hanya ikut memperhatikan penjual gemblong menyiapkan pesanan Giska, sesekali menoleh kearah perempuan itu dengan isi kepala yang masih bertanya-tanya apa benar dia baik-baik saja?

“Ini, Neng.” Penjual tersebut menyerahkan pesanan Giska dan ia menerimanya.

“25 berarti 50 ribu ya? Sebentar ya, Pak.”

“Udah di bayar, Neng, sama si ‘Aa.”

Giska menoleh kearah Akbar yang sedang mengangguk, seakan mengerti kalau Giska sedang mempertanyakan kebenarannya.

“Kapan?” tanya Giska dengan heran, yang ia lihat sedari tadi Akbar belum mengeluarkan dompetnya, apalagi uang.

“Pokoknya udah gue bayar,” jawab Akbar. Sedangkan bagi Giska, jawaban Akbar itu sama sekali belum menjawab pertanyaannya.

Penjual gemblong pun bangkit setelah menutup kembali drum yang berisi gemblong.

“Yaudah, Neng, ‘A. Hatur nuhun nya, bapak lanjut jualan,” pamitnya.

“Pak, mau dianter ke pasar lagi atau gimana?” tanya Akbar.

“Nggak usah ‘A, saya lanjut jualan daerah sini aja.”

“Beneran, Pak? Kalo mau balik kesana biar saya pesenin gojek.”

Giska memukul pundak Akbar, yang dipukul reflek memegang pundaknya dan berlagak kesakitan.

“Kok pesenin gojek, anterin lah. Lo yang bawa kesini juga,” sinis Giska.

Si Bapak terkekeh, “Nggak usah, nggak papa. Mari, Neng, ‘A.” Tak lama setelah pamit, penjual gemblong itu pun tidak lagi terlihat.

Kini hanya ada Akbar dan Giska yang masih berdiri mengamati si penjual gemblong menjauh. Giska tiba-tiba menoleh menghadap ke arah Akbar, wajah perempuan itu terlihat bersiap untuk mengomel.

“Kasian tau, Bay, bapaknya. Kalo ternyata rumah beliau di daerah deket rumah lo gimana? Kan jadi jauh banget pulangnya.”

Akbar terkekeh melihat wajah serius Giska. “Tadi kan udah gue tawarin, Gis. Bapaknya sendiri yang bilang nggak usah.”

“Ya karna dia juga nggak enak pasti. Terserah deh,” gerutu Giska. “Nih ya, gara-gara lo gue beli 25 biji. Gue nggak enak sama bapaknya, udah jauh-jauh nyampe sini masa belinya cuma 5 biji. Padahal di rumah cuma gue sendiri doang, siapa yang mau ngabisin coba? Gue nggak serakus itu,” lanjutnya mengoceh sambil melihat kantong berisi gemblong.

Jujur saja, saat ini Akbar merasa gemas mendengar Giska mengoceh tanpa henti.

“Yaudah ayo makan bareng, gue kan juga mau gemblong,” ucap Akbar lalu melirik ke arah kursi di samping kanannya. “Boleh duduk nggak nih?” tanyanya.

Giska mengangguk dan ikut duduk di kursi satunya. Mereka pun mulai menyantap makanan manis yang terbuat dari ketan yang dibalut dengan gula merah itu.

“Eumm.” Sampai-sampai Giska mengeluarkan suara saking senangnya ketika menggigit makanan yang dari kemarin ia cari.

“Enak?”

Giska mengangguk senang, membuat Akbar tidak bisa menahan senyumnya.

Sebenarnya, ada banyak pertanyaan di dalam kepala Akbar, tetapi ia terus berusaha menahannya karena takut pertanyaannya malah akan membuat Giska menjadi tidak nyaman. Tapi perasaan ingin terus membuat Giska merasa aman itu selalu datang ketika perempuan itu menampilkan raut wajah yang kusut dihadapannya.

“Lo abis ngapain pagi-pagi ke pasar?” Akhirnya Giska yang membuka pertanyaan.

“Tadi beli lontong sayur buat kakak gue sama buat gue.”

“Terus udah lo beliin?”

“Udah, abis gue anterin ke rumah langsung balik lagi ke pasar buat jemput abangnya, terus baru kesini.”

“Berarti lo udah sarapan, kan?”

Akbar menggeleng sembari mengunyah gemblong keduanya.

“Kenapa nggak sarapan dulu?”

“Ini lagi sarapan.” Akbar mengangkat gemblong yang ada di tangannya.

Giska melengos tidak menanggapinya.

“Lo juga kan baru bangun, berarti belum sarapan?”

“Ini lagi sarapan,” balas yang perempuan, yang laki-laki hanya tertawa karena kesalnya Giska menurutnya sangat lucu.

Keduanya mendadak diam sembari mengunyah gemblong masing-masing. Giska menatap lurus pada tanaman hias milik Mamanya yang mulai layu persis dengan dirinya sekarang.

“Gis.”

Panggilan pertama

“Gis?”

Panggilan kedua

“Giska?”

Giska tersadar dan menoleh ke Akbar yang sedari tadi memperhatikannya yang sedang melamun tanpa terlewatkan sedetik pun.

“Sorry, kenapa, Bay?”

“Lo yang kenapa?”

“Hah?”

“Are you okay?” Akhirnya Akbar mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

Mendengar pertanyaan itu, Giska diam untuk beberapa detik sampai akhirnya perempuan itu tersenyum ke arah Akbar sebelum menjawabnya.

Giska menggeleng. “No, i’m not. Hahaha,” jawabnya lalu disertai tawa di akhir kalimat.

“Tadinya gue mau jawab i am doing fine. Tapi kayaknya mata gue nggak bisa bohong ya, Bay?” lanjutnya.

Akbar mengangguk. “It’s okay not to be okay, Gis. So...stop trying to be like ‘i’m fine’ and stop trying to mask your feelings.”

“Tapi gue udah terbiasa hidup tanpa ditanya gimana keadaan gue. Jadi ketika ada orang yang nanya, gue akan memperlihatkan sisi gue yang baik-baik aja seperti biasanya.“

Akbar terdiam, dilihatnya kepala Giska yang semakin lama semakin menunduk. Bahkan suaranya pun terdengar menyakitkan bagi Akbar.

Giska menarik napasnya yang terasa berat. “Tiap masalah dateng, gue selalu sibuk yakinin diri ‘i can handle everything’. But honestly, gue butuh someone to talk. Tapi lagi-lagi ketika ada yang nanya keadaan gue, gue nggak tau gimana caranya mengungkapkan perasaan itu. Sampe akhirnya cuma jawaban ‘i’m okay’ yang keluar dari mulut gue.”

“Lo bisa, Gis. Buktinya sekarang lo lagi mengungkapkan gimana perasaan lo.” Akbar meyanggah penuturan Giska.

Giska menunduk, berusaha menahan air matanya yang memaksa untuk keluar. Sedangkan baginya sudah cukup menangis untuk hari ini, terlebih lagi ia tidak ingin Akbar melihat sisi dirinya yang lemah.

“Lo boleh nangis, gue nggak akan denger,” ucap Akbar sambil memasang airpods pada kedua telinganya.

Mendengar itu, akhirnya Giska menyerah dan membiarkan air matanya turun kembali. Dari ekor matanya, Akbar melihat tubuh perempuan di sampingnya bergetar hebat. Tangannya coba menggapai pundak Giska dan menepuknya perlahan, berharap tepukannya dapat menenangkan.

Akbar mematikan musik yang tersambung pada airpods tanpa melepaskan benda itu dari telinganya, ia membiarkan suara tangisan Giska menggantikan suara musik dari band favoritnya.

Tujuh menit waktu berjalan dan tangis Giska mulai mereda, Akbar akhirnya membuka suara.

“Lo bilang, lo bisa yakin sama gue kalo gue bisa kasih tau dimana abang gemblong yang jualannya masih pake ember. Udah gue lakuin.”

Giska mengangkat kepalanya untuk menatap Akbar.

“Apa sekarang lo udah yakin sama gue, Gis? Kalo udah-” kalimat Akbar terputus.

“Mulai sekarang, lo bisa jadiin gue someone to talk yang lo maksud itu. I will listen,” lanjutnya.