Gilsa (1)
588 words.
Dalam sekali hentakan Giska menutup laptopnya secara paksa, tidak peduli bagaimana draft skripsinya yang belum sempat ia simpan. Pikirannya yang carut marut membuatnya hilang kendali. Dimasukkannya seluruh barang dengan asal ke dalam ransel.
Sedangkan Akbar yang sedang asik bermain game diponsel mendadak berhenti. Dan hal yang mustahil terjadi, saat ini bisa terjadi. Kali ini, ia membiarkan karakternya tertembak oleh lawan tanpa perlawanan apapun setelah melihat Giska yang terlihat panik.
“Gis, kenapa?” tanya Akbar.
“Bay, gue duluan ya. Makasih banyak,” kata Giska tanpa menjawab pertanyaan Akbar.
Yang perempuan hendak bangkit untuk meninggalkan tempat, tetapi dengan cepat Akbar menahannya.
“Eh bentar. Gue tanya kenapa?”
“Gilsa,” lirih Giska.
Perlahan kepanikannya mereda dan digantikan dengan tangisan, kini dirinya kembali terduduk lemah membuat rasa panik berpindah pada Akbar yang melihat perempuan dihadapannya tiba-tiba menangis, lagi.
Akbar mematung ketika dirinya tidak tahu harus berbuat apa karena tiba-tiba terjadi begitu saja tanpa aba-aba, dari tempat duduknya ia menatap tubuh Giska yang terus bergetar.
Akhirnya laki-laki itu membuka suara, “Pelan-pelan, lo mau cerita sama gue?” tanya Akbar dengan tenang, berusaha tidak membuat Giska panik kembali. Sejujurnya ia sangat clueless karena tidak tahu siapa itu Gilsa dan apa yang baru saja terjadi.
“Nanti ya, Bay,” ucap Giska sembari membuka aplikasi gojeknya untuk memesan ojek online.
Akbar menahannya ketika Giska ingin menekan tombol pesan, lalu dimasukkannya ponsel Giska ke dalam tas perempuan itu.
“Nggak usah pesen gojek, ada gue,” kata Akbar dan langsung menggandeng Giska untuk keluar dari Cafe.
“Lo tunggu sini, gue matiin lampu sama kunci pintu dulu. Hitung 30 detik gue janji udah di sini lagi.” Setelah mengatakan itu, Akbar langsung berlari kembali masuk ke dalam Cafe untuk mematikan semua lampu dan mengunci pintu.
Tanpa memberikan jawaban, Akbar lebih dulu menjauh dari pandangan Giska. Ia menunggu sampai Akbar kembali, tanpa ia sadari dalam hatinya menghitung 30 detik seperti yang diperintahkan Akbar.
“Ayo,” ajak Akbar dengan napasnya yang terengah-engah. Hitungan Giska itu belum genap tiga puluh, tapi Akbar sudah kembali dihadapannya.
Sesampainya di rumah, perempuan itu langsung berlari masuk kedalam rumahnya. Diketuknya pintu hingga puluhan kali dan tidak henti-hentinya memanggil nama Gilsa, tapi nihil, tidak ada respon apapun yang Giska dapat dari dalam rumah.
Ia bergegas menengok vas bunga yang biasa dijadikan tempat menaruh kunci, dan ternyata kunci rumah masih tertata rapih seperti semula saat Giska menaruhnya.
Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya, telapak tangannya terasa basah hingga ponsel yang digenggamnya mendadak licin ketika ia mencari nama Gilsa di daftar kontak.
Akbar masih menunggu di samping mobilnya. Melihat Giska yang semakin lama semakin gelisah membuatnya enggan angkat kaki dari sana. Padahal sebelumnya Giska sudah memberi perintah agar Akbar pulang saja mengingat jam sudah menunjukkan pukul 12.
Giska masih berusaha menelfon Gilsa, padahal sudah jelas hanya suara operator yang terdengar. Nomernya sudah tidak aktif sejak Giska mencoba menelfonnya di cafe tadi.
Tak lama, pesan kembali masuk dan menampilkan nama Vieda di sana. Dengan cepat Giska membukanya, sebuah informasi di mana Gilsa berada.
Setelah membaca pesan tersebut, Giska bergegas mengambil kunci motor ke dalam rumahnya. Sebenernya perempuan itu tidak terlalu mahir dalam mengendarai motor dan sudah lama juga motor itu hanya terparkir di dalam garasi rumahnya tanpa ada yang menyentuh, karena biasanya hanya digunakan Mamanya ketika pulang ke Bandung.
Giska kembali keluar dan bersiap mengeluarkan motor. Akbar yang melihat langsung bergegas menghapiri perempuan itu.
“Mau kemana? Gue anterin aja, Gis.”
“Nggak usah, udah malem lo pulang aja. Gue bisa sendiri kok.” Bukan Giska namanya kalau tidak merasa dapat melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain.
“Nggak papa. Gue juga bisa temenin lo kok, biar lo nggak sendirian malem-malem gini.”