Gilsa (2)
1149 words.
Giska bergegas lari masuk ke dalam rumah sakit meninggalkan Akbar yang masih mencari parkir. Kakinya berlari seakan hafal di mana letak ruang IGD.
Tepat ia memasuki ruangan, matanya langsung menangkap Hanif yang sedang duduk menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong. Giska menarik kasar baju laki-laki itu dan memaksanya untuk bangkit dari duduk.
“Di mana adek gue?” bentak Giska dengan matanya yang menyalang.
Hanya respon terkejut yang diberikan Hanif, bibir laki-laki itu terasa kelu meski ia hanya perlu mengucapkan satu kata.
Keheningan terjadi beberapa detik, wajah Giska semakin memerah. Jika ia tidak ingat bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit, mungkin berbagai macam sumpah serapah sudah keluar dari mulutnya.
Tidak lama seorang petugas menghampiri Giska dan menenangkannya. Akhirnya ia melepaskan genggamannya dari baju Hanif, dihempaskannya tubuh laki-laki itu sampai terduduk kembali.
“Kakaknya wali dari Gilsa?” tanya petugas itu.
“Iya saya kakaknya.”
“Gilsanya di sebelah sana, mari saya antar.”
Urusannya dengan Hanif belum selesai, tapi untuk saat ini ia hanya ingin memastikan keadaan Gilsa. Kakinya kembali melangkah mengikuti langkah petugas.
“Gilsa ada di dalam, baru aja diberi obat jadi mungkin lagi istirahat kak.”
Giska mengangguk, “Makasih ya.”
Giska membuka sampiran dan menemukan Gilsa di sana yang sedang tertidur tenang dengan selang infus yang tersambung.
Tubuhnya seketika melemas menatap tubuh adiknya. Tidak pernah sekalipun melihat Gilsa terbaring lemah di Rumah Sakit. Hatinya hancur dan tanpa henti menyalahkan dirinya sendiri.
Tidak lama seorang perawat datang.
“Permisi, kakak dengan walinya Gilsa ya?”
“Iya, Mba.”
“Saya mau menginformasikan, kebetulan dokter yang menangani saudari Gilsa sedang menangani pasien lain. Saya diminta untuk menyampaikan, berdasarkan dari kadar hemoglobin dari saudari Gilsa itu sudah menyentuh di angka 9.8 gram per desiliter. Untuk normalnya kadar hemoglobin wanita berkisar antara 12 sampai 15 gram per desiliter. Dalam kasus saudari Gilsa, ini termasuk kedalam anemia ringan tetapi dengan gejala yang berat karena saat sampai ke IGD saudari Gilsa dalam keadaan pingsan. Dokter merekomendasikan saudari Gilsa untuk dirawat inap karena gejalanya yang terbilang berat. Seperti itu kak, untuk keputusan kami kembalikan ke keluarga. Jika sudah menentukan keputusan, kakak bisa langsung melakukan pendaftaran rawat inap ya. Terima kasih.” Perawat menjelaskan dengan hati-hati.
Sedangkan Giska, bahkan ia tidak tahu harus mengekspresikan diri seperti apa lagi. Rasanya seperti dihantam satu bongkah batu besar, dunianya yang sudah hancur kini semakin hancur lebur tidak berbentuk ketika mendengar penjelasan itu.
Keluhan pusing yang sering ia dengar dari Gilsa ternyata bukan hanya sekadar alasan untuk adiknya bolos dari kelas fisika. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah benar yang diucapkan Teh Gya pada dirinya. Giska itu seorang Kakak, tapi kenapa tidak bisa tegas.
Saat itulah tangisnya terurai. Kalau saja kemarin ia mengikuti perintah Kak Gya untuk membawa Gilsa ke Dokter. Kalau saja ia bisa lebih tegas dan memaksa Gilsa untuk ke Dokter. Mungkin tidak akan separah ini keadaannya.
Giska duduk pada kursi yang ada di luar IGD. Ponsel ditangannya memperlihatkan room chat Teh Gya, sudah berkali-kali perempuan itu mengetik tetapi setelahnya ia hapus kembali.
Ia tidak takut dimarahi, tapi yang lebih ia takuti adalah membuat mama dan papanya yang jauh menjadi khawatir, terlebih lagi saat ini jam menunjukkan pukul setengah 2 malam.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Semula jauh kini semakin dekat, hingga si pemilik hinggap dan berdiri tepat dihadapan Giska.
Giska mendongakkan kepalanya, ia menemukan Hanif dengan penampilannya yang terlihat lebih kacau dari sebelumnya. Rambutnya yang berantakan dan matanya seakan dipenuhi oleh awan mendung yang siap menumpahkan air kapanpun.
“Teh Giska, maaf.” Terdengar nada penyesalan di sana.
Lantas Giska berdiri dan menatap nyalang kearah Hanif untuk kedua kalinya.
“Ini emang salah saya, Teh. Maaf.” Permintaan maaf kedua keluar dari mulut Hanif.
Wajah Giska kembali memerah, tetapi ia terus berusaha mengontrol emosinya.
“Abis lo apain Gilsa?” tanyanya dengan tenang tapi tetap mengintimidasi.
“Sebelum Gilsa pingsan, kita sempet adu mulut. Nggak nyangka juga bisa sampe kayak gini, Gilsa juga nggak ada cerita kalo dia lagi sakit. Dia cuma bilang lagi haid.”
“Nggak nyangka? Terus baru nyeselnya sekarang?”
Hanif hanya menunduk.
“Berantem karna apa?”
“Masalah kecil aja, Teh.”
Giska terkekeh. “Gue kakaknya Gilsa, gue tau gimana sifat adek gue. Dia bukan tipe orang yang ngurusin masalah kecil, kalo kayak gini gue yakin masalahnya besar. Mau gue denger langsung dari mulut lo sendiri dan kita selesaiin ini baik-baik, atau gue cari tau sendiri dan lo terima konsekuensinya karna udah bikin adek gue pingsan sampe harus rawat inap?”
Keheningan pun terjadi. Tidak ada jawaban dari Hanif untuk beberapa detik, laki-laki itu mulai merasa tedesak dan takut.
“Gue hitung sampe tiga.”
“Satu.”
“Dua.”
“Ti...”
“Gilsa liat saya jalan sama cewe lain, Teh.”
Semula Giska tidak ingin membuat kegaduhan, tetapi akhirnya amarahnya pecah saat mendengar kalimat itu.
“Brengsek!”
Giska mendorong tubuh Hanif hingga oleng. Kalau saja laki-laki itu hilang keseimbangan, mungkin sudah jatuh bersimpuh di lantai.
“Anjing lo, laki-laki nggak tau diri! Nggak puas lo kalo cuma morotin adek gue? Sekarang apa udah puas lo udah bikin dia sakit hati dengan cara lo selingkuh? Dia itu udah sakit tapi lo buat makin sakit sampe harus dirawat kayak gini. Puas lo?” teriak Giska.
Kali ini Giska sudah tidak peduli dengan sekitarnya yang sedang menatapnya penasaran, ia hanya ingin membalas rasa sakitnya Gilsa.
Sedangkan Hanif tidak bisa berkutik, ia tetap menunduk mengarahkan matanya pada kedua ujung sepatu yang ia gunakan.
“Jangan kira gue selama ini nggak tau ya apa aja udah yang lo minta ke Gilsa. Gara-gara lo juga dia bisa bohongin gue bahkan bokap nyokapnya. Semua gara-gara lo!”
Mata Giska penuh dengan kemarahan, seakan tidak akan membiarkan laki-laki dihadapannya lolos begitu saja.
“Dia berani bohong, berani ngebantah, bahkan bolos sekolah dan bimbel. Mau sampe mana lo hancurin adek gue?”
Hanif masih tetap bungkam.
“Jawab anjing! Lo punya mulut nggak?!” teriak Giska dengan suara yang mulai bergetar. Teriakannya berhasil mendatangkan dua petugas Rumah Sakit dan..
Akbar.
Sedari tadi Akbar menunggu di kursi tunggu customer service karena ia menunggu balasan chat dari Giska. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan Akbar kenal suara itu, dengan langkah besar ia berlari menghampiri sumber suara.
Dilihatnya Giska yang sudah membabi buta. Akbar dengan cepat menahan tubuh Giska yang semakin bergetar karena tangisan dan amarahnya yang semakin meledak.
“Gis, tenang.” bisik Akbar menenangkan Giska.
Giska menepis tangan Akbar.
“Lo jauhin adek gue, jangan pernah hubungin dia lagi atau gue bawa masalah ini sampe ke orang tua dan sekolah!” ancam Giska.
“Tapi Teh..” Suara Hanif tecekat, ia tidak berani menyelesaikan kalimatnya.
“Tapi apa? Tapi lo masih sayang Gilsa? Kalo sayang nggak mungkin kepikiran buat selingkuh!”
“Saya nggak selingkuh, Teh.”
“Apapun alesannya, dari awal gue nggak suka sama lo karna selalu bawa pengaruh buruk buat adek gue! Pergi lo sekarang.”
“Kalo gitu sampein maaf saya untuk Gilsa,” lirih Hanif. Tanpa pembelaan apapun ia balik badan dan pergi menjauh dari sana.
Laki-laki itu sadar akan semua kesalahannya. Semua yang diucapkan Giska menyadarkan bahwa memang dirinya-lah tokoh jahat disini.
Dari kejadian ini juga membuatnya sadar. Dibalik tindakan cerobohnya pada Gilsa, ada keluarga yang akan terluka dan hancur melihat anak dan adik perempuannya disakiti laki-laki tidak tahu diri.
Kalau diberi kesempatan, Hanif mau berlutut di hadapan Gilsa.