Honest Hour

Tidak ada perbincangan kurang lebih selama 15 menit lamanya semenjak Yara masuk ke dalam mobil yang Bara kendarai. Diantara mereka, belum ada yang berniat untuk membuka suara. Bara hanya fokus pada jalan raya, memastikan ia berkendara dengan aman. Sedangkan Yara hanya menunduk memainkan tali tasnya dan membiarkan sel otaknya bekerja untuk mengambil sebuah keputusan, haruskah dirinya yang membuka suara terlebih dahulu?

Melalui pesan singkat, mereka berdua sepakat untuk kembali berbaikan. Kalau dihitung, mungkin sudah hampir sehari Bara tidak menanggapi pesan singkat Yara. Ia merasa kecewa dengan keputusan Yara yang merubah penampilannya hanya demi Bara. Yang ada dipikiran Bara saat itu adalah sudah tahu perempuan itu tidak menyukai penampilan dengan model rambut pendek tapi kenapa tetap dilakukan. Bukankah ada baiknya terlebih dulu menyukai diri sendiri, sebelum disukai oleh orang lain?

Yara mengangkat kepalanya ketika mobil berhenti, dilihatnya lampu rambu lalu lintas kini berwarna merah. Ia memutuskan untuk menoleh ke arah Bara, “Maaf ya?” lirihnya pelan sembari memegang lengan kiri Bara yang menggantung karena sedang memegang kemudi.

Bara menoleh ke sumber suara, dilihatnya raut wajah memohon kekasihnya. Bara tidak bisa menyembunyikan senyumnya, ia harus mengakui kekalahannya saat ini, nyatanya ia tidak sanggup berlama-lama mendiami Yara. “Tapi diulangin lagi, nggak?” Tangan kanannya memegang tangan Yara yang masih bertengger di lengan kirinya.

Yara menggeleng dengan cepat, “Nggak, janji.” Ia mengangkat jari kelingkingnya tanda berjanji.

Bara pun ikut mengangkat jari kelingkingnya untuk mengaitkannya pada kelingking Yara. “Udah janji loh ya ini? Kalo diulang enaknya diapain?”

“Pukul,” jawab Yara.

Bara mengacak rambut Yara hingga berantakan dan menutupi sebagian wajah perempuan itu, “Ya kali, ngaco nih mulutnya,” protes Bara ketika mendapat jawaban dari Yara.

“Yaudah diemin lagi aja sampe kangen lagi kayak gini,” goda Yara kemudian melirik ke arah Bara, setelahnya ia membuka kaca pada sun visor untuk membenahi rambutnya yang berantakan.

Bara kembali melajukkan mobilnya. “Siapa juga yang kangen?” Ia mengelak.

“Elu lah, alesannya mau jemput Teh Binar,” ledek Yara.

“Ya emang mau jemput Teh Binar, tapi kan ternyata dia malah dijemput gebetannya.” Bara masih mengelak, gengsi katanya.

“Iye dah boss,” ucap Yara pasrah dan Bara hanya terkekeh.

“Jadi, kemaren tuh kamu kenapa?” Akhirnya laki-laki itu mulai membuka topik utama.

Perjalanan mereka kali ini tidak ada tujuan, Bara hanya berniat berkeliling Kota Bandung sambil berbincang satu sama lain untuk meluruskan dan menyelesaikan masalah yang baru saja mereka alami. Dari jalan Braga hingga jalan Cipaganti mereka lalui, ditemani dengan teriknya lampu kota dan keramaian jalan raya, Yara berharap dapat menjelaskan semuanya dengan jujur.

Yara menghela nafas sebelum menjawab, “Nggak tau aku juga, mungkin aku takut kehilangan kamu.” Yara menyadari kalimatnya barusan terdengar sangat berlebihan, setelahnya ia menimpali ucapannya lagi sebelum Bara yang menimpalinya, “Hahaha, aduh lebay ya.”

Mendengar itu Bara terbahak, “Kalo kehilangan mah lapor polisi aja,” candanya.

“Kelamaan, harus nunggu 1x24 jam dulu,” balas Yara, “Serius ih! Tapi beneran, setelah semaleman aku merenung di teras sambil menyeruput kopi pahit-“

Bara memotong ucapan Yara, “Sejak kapan suka kopi?”

Yara menarik nafas dalam-dalam dan menghebuskannya dengan kasar, “Biar lebih dramatis aja kenapa sih? Mau dilanjut nggak?” tanya Yara kesal lalu Bara mengangguk kembali mempersilakan perempuan itu melanjutkan penjelasannya.

“Kayaknya- eh bukan kayaknya lagi sih, emang alasan aku ngelakuin itu semua cuma takut kamu pergi ninggalin aku karna ngelirik cewe lain yang lebih sesuai sama tipe ideal kamu.”

Laki-laki yang masih terfokus pada jalan raya itu tiba-tiba memukul kemudi membuat Yara tergelak, Bara tersenyum dengan lebar dan memperlihatkan deretan gigi rapinya, “ANJINGGGG! GEMES BANGET SIH,” teriaknya lalu menoleh ke arah Yara untuk meraih kedua pipi Yara dengan tangan kirinya dan memainkan pipi perempuan itu dengan gemas, sedangkan satu tangannya masih sibuk dengan kemudi.

“Sakit!” protes Yara, ia menarik wajahnya menjauh dari tangan Bara.

“Ya lagian, jangan lucu lucu lah!” Bara tidak mau kalah untuk memprotes.

“Gemes sih gemes, tapi nggak usah nyiksa. KDRT ini namanya,” gerutu Yara.

“Ra,” panggil Bara dan Yara menoleh.

“Hm?”

“Dengerin aku ya,” perintah Bara yang hanya dibalas anggukan kepala dari Yara.

“Aku nggak perlu punya atau cari-cari pasangan yang ideal sesuai sama kriteria. Aku malah sangat amat mensyukuri hubungan yang lagi aku jalanin sekarang sama kamu,” jelas Bara membuat perempuan disampingnya tiba-tiba menangis.

“Heh kok malah nangis?” Bara panik, dengan cepat ia mengambil dua lembar tissue dan memberikannya pada Yara yang sudah menangis tersedu-sedu.

Yara menerima tissue tersebut dan mengelap air yang keluar dari matanya tanpa henti, “Terharu tau. Aku kayak udah ngeraguin kamu kemaren-kemaren,” jawabnya dengan nada yang terbata-bata.

Bara terkekeh, “Nih ya, Ra. Mau berjajar 100 cewe rambut pendek di depan, aku nggak peduli. Orang maunya cuma sama kamu, gimana?”

“Yakin? Kalo salah satunya ada Pevita Pearce gimana?”

“Ya...itu bisa dibicarakan baik-baik.”

“Emang dasar,” cibir Yara membuat air matanya berhenti turun.

Keduanya tertawa bersama, sudah hampir satu setengah jam mereka hanya berbincang sembari menikmati padatnya Kota Bandung. Entah sudah berapa lagu dari radio yang mereka dengarkan, berapa jalan yang mereka lewati, dan berapa topik yang mereka bicarakan.

Mobil Bara berhenti di depan pagar rumah Yara, perempuan itu masih duduk dikursi penumpang untuk membenahi kabel charger yang baru saja ia pakai sebelum turun dari mobil.

Bara membuka suara, “Ra, in case kamu mau tau. Walaupun mereka secantik bidadari, tapi aku udah lebih dulu terikat sama pesona seorang dewi.”

Yara menoleh, dilihatnya laki-laki itu sedang menatapnya. Ia tersenyum mendengar kalimat gombal yang baru saja diucapkan Bara, “Manis banget ya emang itu mulut, semut juga minder ini mah,” ledek Yara, tetapi kalau boleh jujur ia merasa ribuan kupu-kupu sedang menyerangnya saat ini. Sedangkan yang diledek hanya cengengas-cengenges, merasa bangga atas gombalannya.

“Peluk boleh nggak?” tanya Bara, Yara hanya melirik dengan mengangkat kedua alisnya. Perempuan itu memberika tatapan heran.

“Yaudah kalo nggak boleh,” lanjutnya karena tidak mendapat jawaban dari Yara.

Yara terkekeh lalu mengubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Bara. Ia merentangkan tangannya, tanda bahwa Bara untuk memeluknya.

Bara lantas tersenyum dan mendekap Yara, perempuan itu membalasnya dengan melingkarkan tangannya pada pinggang Bara. Mereka diam beberapa detik menikmati dekapan satu sama lain sembari memejamkan mata.

“Jangan gitu lagi ya, Ra,” ucap Bara memecahkan keheningan, Yara hanya mengangguk dalam dekapan dan belum ada niatan untuk melepaskan pelukannya. Dada dan pinggang Bara terasa nyaman untuk ia tinggali dalam waktu yang lama, ia merasakan aman dan nyaman di sana.

“Bar.” Akhirnya Yara membuka suara, laki-laki itu hanya berdeham.

“Jangan kemana-mana.”

“Kamu mau aku nginep di sini?”

Mendengar pertanyaan itu sontak membuat Yara melepas pelukannya dan memukul pelan pundak Bara, “Nggak gitu maksudnya,” kesalnya.

“Maksudnya tuh jangan kemana-mana, sama aku aja jangan sama yang lain,” lanjut Yara.

Bara tertawa, lantas kembali merengkuh tubuh Yara lebih erat lagi dari sebelumnya, “Emang aku mau kemana sih, Ra? Kan udah dibilang aku cuma maunya kamu. Kalo ibarat ini scene film, mungkin yang cocok untuk backsound sekarang lagunya Mulan Jameela yang Cinta Mati.”

Yara kembali membalas pelukan itu lalu tertawa, “Ya nggak, aku takut aja.”

Bara diam. Bibirnya tidak membalas ucapan Yara barusan, tapi hatinya dengan jelas mengatakan bahwa ia tidak akan pergi kemana-mana dan keinginannya juga yang akan selalu bersama Yara. Bara sudah jatuh terlalu dalam pada pesona Yara, ia suka dengan Yara yang selalu tampil apa adanya, ceria yang selalu ditunjukkan dan sikap sopannya pada siapapun.

“Aku sayang kamu,” bisik Yara.

Bara tersenyum lebar dibalik pelukan, sangat disayangkan Yara tidak dapat melihat senyum itu saat ini. Laki-laki itu sangat senang mendengar ungkapan Yara, sebab baru kali ini Yara mengatakan kalimat itu tanpa ditanya olehnya. Ia tahu bahwa Yara adalah tipe perempuan yang gengsi untuk mengatakan sebuah kalimat seperti ’aku sayang kamu’ atau ’i love you’ duluan, biasanya memang Bara yang mengatakannya lebih dulu dan Yara hanya tinggal membalasnya. Ia perempuan yang menunjukkan segala rasa sayangnya dengan tindakan.

Yara mendongak dan memperlihatkan wajah bingungnya karna tidak mendapat balasan dari Bara, terlihat dari alisnya yang mengerut.

“KOK NGGAK DIBALES?! NGGAK SAYANG YA?!”

Bara tergelak.

Untuk ke sekian kalinya ia merasa gemas dengan Yara, “Please, marry me?” Bara memeragakan sticker whatsapp yang biasa ia gunakan ketika Yara sudah berada pada puncak kelucuannya.

“Bara Satyaaaa! Bisa diem nggak?”

“Mmm!” Bara beneran diam, ia tersenyum tipis sambil mengangguk. Kini bibirnya terkulum rapat sesuai perintah Yara.

Kalau begini, bagaimana bisa Bara Satya rela meninggalkan perempuan selucu Ayyara Belvina? Begitupun sebaliknya.