Mencari Jawaban
Satu persatu dari anggota UKM Gelanggang Seni Sastra, Teater dan Film mulai membubarkan diri. Salah satunya Yara, perempuan yang saat ini sedang berpakaian dengan gaya boyishnya yaitu kemeja flanel warna merah bercorak kotak-kotak dengan ukuran oversize dan menampilkan kaos putih polos sebagai daleman karena kancing kemejanya yang sengaja tidak ia kaitkan.
Yara bangkit dari duduknya setelah pamit pada seluruh anggota di sana, ia berjalan keluar gedung untuk segera menghampiri Bara. Sesekali gemuruh dari langit sudah mulai terdengar, ia berjalan semakin cepat sembari melafalkan doa agar hujan tidak turun terlebih dulu.
Memang benar adanya, ketika Bara bertanya pada Yara tempo lalu tentang apakah perempuan itu menyukai hujan dan jawaban Yara adalah tidak. Apalagi jika kehujanan, ia tidak menyukai basah yang dapat menyebabkan lembab, karena menurutnya sensasi ketika menggunakan pakaian yang basah itu sendiri menimbulkan ketidaknyamanan dan tidak menutup kemungkinan dapat memicu infeksi jamur atau virus pada tubuh.
Netranya mulai menemukan Bara yang tengah duduk tenang menunggu di atas jok motornya sembari mengetuk-ngetuk jari pada indikator bensin yang menimbulkan nada asal. Benar saja, Yara menemukan tempat sampah tepat di samping motor Bara yang terparkir, ia tidak bisa menahan tawa pasalnya ingatannya kembali pada isi chat beberapa menit lalu.
Bara yang menyadari seseorang sedang menghampirinya pun menoleh, “Kenapa dateng-dateng ketawa?” tanya Bara yang ikut terkekeh, entahlah mengapa dirinya ikut tertawa, mungkin memang benar terkadang tawa seseorang dapat menular.
“Gue nggak kuat sama pertanyaan aneh lo tadi,” ucap Yara masih tertawa sebelum melanjutkan kalimatnya, “Masuk ke tempat sampah?” lanjutnya dengan nada yang seolah-olah dibuat persis jika Bara mengatakannya secara langsung, “Ya menurut lo aja Bar, ngapain juga gue nyuruh lo masuk ke tempat sampah. Hahahaha,” celoteh Yara yang tidak bertemu ujungnya membuat Bara hanya senyum memperhatikan perempuan itu yang tengah asik tertawa sendiri.
Yara menyadari ketika hanya dirinya yang sedang tertawa, “Eh cuma gue doang ya yang nganggep lucu? Kok lo diem aja, malah senyam-senyum?” protes Yara.
“Ya, abisnya lebih lucu lo yang lagi bawel daripada kejadian itu,” kata Bara sembari memberikan helm yang ia pinjam dari Sena.
“Dih,” kesal Yara lalu menerima helm dan memakainya. Bohong jika jatungnya tidak berdegub saat ini karena baru saja ia mendapat gombalan tiba-tiba dari seseorang yang sudah ia suka sejak lama.
“Ayo naik, keburu hujan.” Bara sedikit memajukkan tubuhnya untuk memberikan space agar Yara bisa duduk dengan nyaman, perempuan itu mengangguk lalu naik ke atas motor untuk duduk tepat dibelakang Bara.
“Kenalan dulu gih, Ra.”
“Hah? Apa Bar?” Yara memajukan sedikit tubuhnya, ia tidak begitu jelas mendengar ucapan Bara karena telinganya yang tertutup rapat oleh helm.
“Kenalan dulu.”
“Sama?”
“Sharma.”
“Oh, hahahaha hai Sharma salam kenal,” pekik Yara antusias pada motor vespa hitam yang sedang ia tumpangi dan Bara yang mendengar hanya menyinggungkan senyumnya.
“Pegangan nggak?” tanya Bara dari balik kaca helmnya.
“Nggak.”
“Padahal pinggang gue nganggur nih nggak ada job,” goda Bara.
“Ngomong mulu, keburu hujan!”
“Yaudah, kalo jatoh nggak tanggung jawab ya.”
“Iya, buruan deh.” Yara memukul punggung Bara dan laki-laki itu tertawa, lalu mulai melajukkan motornya membelah jalanan kota Bandung pada sore menuju malam yang mendung, ditemani gemuruh langit yang sesekali masih hadir untuk menyapa mereka.
Langit semakin menggelap, awan hitam pun enggan pergi dan tetap mendominasi langit Bandung.
Tik
Bara merasakan setetes air jatuh pada helm yang ia kenakan, “Ra, hujan ya?” tanya Bara dengan suara yang cukup kencang agar Yara bisa mendengar.
“Hah?” Tapi ternyata helm yang Yara kenakan benar-benar menutup rapat telinga sang puan, ditambah suara bising dari kendaraan lain yang membuatnya sulit untuk mendengar suara Bara. Yara kembali memajukkan tubuhnya agar bisa mendengar lebih jelas.
“Hujan ya?” tanya Bara sekali lagi.
“Hujan? Nggak tuh,” jawab Yara sambil mengadahkan tangannya untuk mengecek.
“Hujan tau, Ra. Gerimis,” yakin laki-laki itu. Tetapi berbeda dengan Bara, justru Yara tetap yakin bahwa hujan belum turun.
Tik...Tik...Tik...
Makin lama Bara merasakan tetesan air yang mengenai helmnya semakin banyak, hingga akhirnya Bara membelokkan motornya ke pinggir untuk berteduh di sebuah warung nasi padang tepi jalan.
“Kok berhenti?” tanya Yara.
“Sini, Hujan Ra,” ajak Bara menarik pelan lengan Yara untuk berteduh di bawah atap warung nasi padang tadi.
“Loh, iya hujan,” ucap Yara yang baru menyadari ketika hujan semakin deras.
“Sorry, Ra, lo jadi kehujanan,”
“Kenapa lo minta maaf?” heran Yara.
“Ya, harusnya kalo lo sama Bang Pram aman naik mobil, tapi sama gue malah jadi kena hujan. Baju lo basah nggak?” Bara mengecek baju yang Yara kenakan, ia ingat jika Yara tidak menyukai saat pakaiannya basah terkena hujan.
“Apaan sih? Nggak papa kali, gue naik gojek kan juga sering kayak gini.” Yara menyanggah kalimat yang Bara ucapkan barusan.
“Lo sebelah sini deh, di situ kena cipratan air.” Bara menggeser tubuh Yara perlahan agar mereka bertukar tempat.
“Nggak usah ih, nggak papa, nggak usah lebay deh, Bar. Hahahaha,” ucap Yara lalu tertawa melihat tingkah Bara yang sibuk memperhatikan setiap cipratan air yang mengenai tubuh perempuan itu. Tapi pada akhirnya mereka tetap bertukar tempat karena tenaga Bara yang mampu menggeser tubuh Yara dengan mudah.
Sekitar 15 menit mereka diam berdiri menatap air hujan, perlahan hujan mulai mereda tapi bukan berarti sudah berhenti. Beberapa orang yang tadi ikut berteduh satu-persatu memilih untuk melanjutkan perjalanan kembali, tapi Bara masih diam menunggu sampai hujan benar-benar berhenti.
“Ayo, Bar?” ajak Yara.
“Masih hujan,” balas Bara.
“Nggak papa, kita hujan-hujanan.” Yara tersenyum dengan mata yang berbinar ketika menatap Bara yang sedang mengerutkan keningnya.
“Kan lo nggak suka hujan-hujanan?”
“Tapi kan lo suka.”
“Ya terus?” Bara terkekeh mendengar jawaban Yara.
“Lagian kan lo bilang gue harus cobain hujan-hujanan di umur segini?”
“Iya tapi nggak sekarang, besok lagi.”
“Kenapa? Apa bedanya? Sekarang aja, mumpung lagi sama lo. Lagian hujannya udah nggak begitu gede nih, jarak pandang lo aman kan?”
“Besok juga bisa sama gue, lo nggak mau ketemu gue lagi?” tanya Bara.
“Ya mau.” Yara mengecilkan volume suaranya dan mengalihkan pandangan ke jalan raya di depannya, sementara di samping ada Bara yang sedang tersenyum gemas.
“Yaudah, besok lagi biar ketemu lagi.”
“Belom tentu hujan, ayo sekarang aja please.”
“Nanti sakit, Ra. Yang ada gue yang kena marah nyokap bokap lo bawa pulang anak gadisnya basah kuyup.”
“Nggak akan. Ayo lah, lagian rumah gue udah deket banget dari sini, nanggung!”
Perdebatan panjang mereka pun akhirnya dimenangkan oleh Yara. Tentu saja Bara menyerah ketika melihat Yara yang memohon-mohon di hadapannya, menurutnya Yara sangat lucu dan sulit untuk ditolak.
Keduanya kembali naik ke atas motor, “Lo pake jaket gue ya Ra?” tawar Bara.
“Nggak, ini kan gue pake flanel lumayan tebel,” tolak perempuan yang kini sudah duduk pada jok belakang.
“Kalo dingin bilang,” ucap Bara yang hanya dibalas anggukan kepala dari Yara.
Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan hujan yang masih mengguyur tanah Pasundan malam hari ini, lampu-lampu kendaraan roda empat dan dua semakin terlihat jelas. Bara mengendarai dengan perlahan dan mengambil sisi kiri jalan.
Yara merasakan cipratan air yang terus menghantam tubuhnya dan petrichor atau aroma alami yang dihasilkan hujan bercampur aspal mendominasi indra penciumannya, kedua hal itu seketika memberikan ketenangan untuk Yara. Perempuan itu tanpa sadar memejamkan mata dan menggenggam ujung kanan kiri jaket milik Bara, ia merasakan suatu hal yang baru. Tiba-tiba Yara menyadari apa mungkin yang dimaksud Bara tentang hal yang hanya dapat dirasakan saat hujan turun jawabannya adalah sebuah ketenangan ketika merasakan tetesan air hujan yang mengenai tubuh dan aroma petrichor ini.
Ketika masih kecil yang didapatkan saat bermain hujan-hujanan adalah sebuah kesenangan. Tetapi berbeda ketika sudah menginjak usia dewasa yang didapatkan saat bermain hujan-hujanan adalah sebuah ketenangan untuk jiwa dan pikiran.
Akhirnya motor Bara sampai di depan pagar rumah milik keluarga Yara, hujan sudah berhenti sejak 5 menit yang lalu.
Yara turun dari motor secara perlahan, “Bar, mau ganti baju aja nggak? Basah itu, nanti masuk angin kalo lo lanjut jalan pulang. Ini udaranya sisa angin soalnya,” tawar Yara.
“Ganti pake baju lo, Ra?” tanya Bara lalu terkekeh.
“Bukan dong, punya Abang atau Papa.”
Bara menaikkan kedua alisnya, “Lo punya Abang?” herannya. Walaupun faktanya mereka teman sejak SMP, tetapi Bara memang tidak sedekat itu sebelumnya dengan Yara sampai harus mengetahui silsilah keluarganya.
Seketika Yara mengulum bibirnya karena tidak sengaja memberitahu hal yang seharusnya tidak diberi tahu sekarang. Tapi ia sudah tidak peduli dengan kejahilan Abangnya, kali ini biar Bara mengetahui dengan sendirinya.
“Hm.” Yara berdehem sembari menganggukkan kepalanya.
“Baru tau gue.”
“Udah ayo masuk, sekalian keringin juga rambut sama badan lo,” ajak Yara.
“Nggak usah, Ra. Nggak enak.”
“Cepet parkirin Sharma disini,” perintah Yara pada Bara untuk memarkirkan motornya di samping pagar rumah.
Layaknya sebuah sihir, Bara pun patuh pada perintah perempuan itu untuk memarkirkan motornya.
Yara masuk ke dalam rumahnya diikuti dengan Bara di belakang, dibukanya pintu utama untuk masuk ke dalam rumah.
“Masuk, Bar,” ucap Yara.
“Basah, di luar aja gue.”
“Lo mau ganti baju jadi tontonan bibi seblak?!” Di seberang rumah Yara memang terdapat warung seblak yang saat ini sedang ramai dengan pembeli, maklum hujan baru saja berhenti memang enaknya makan yang panas dan pedas.
“Iya juga...”
Akhirnya Bara masuk dan Yara langsung mengajak laki-laki itu untuk masuk ke bagian lebih dalam rumahnya.
“Ra, nggak ada orang?”
“Ada, nih Mama,” ucap Yara dengan santai saat mereka berdua masuk sampai ruang keluarga, terlihat Mamanya yang sedang duduk pada sofa sembari menonton tayangan televisi.
Mereka berdua—Bara dan Mamanya Yara— tentu saja terkejut satu sama lain, tapi dengan cepat Bara mengayunkan kepalanya dan tersenyum canggung untuk menyapa Mamanya Yara. Ia segera menghampiri wanita yang parasnya sangat mirip dengan Yara, Bara menyalaminya dengan menempelkan punggung tangan wanita itu pada keningnya.
“Mah, ini temen aku numpang bebersih ya. Basah semua, sama pinjem baju Abang nggak papa kan?” izin Yara yang membuat Bara merasa tidak enak.
Mamanya bangkit dari duduk, “Nggak papa dek, nanti Mama ambilin baju Abang. Masuk aja,” ucapnya dengan senyum ramah, “Namanya siapa, Ra?”
Sebelum Yara yang menjawab, Bara sudah lebih dulu menjawabnya, “Bara, Tante.” Tidak lupa ia tersenyum.
“Oh iya, masuk aja Bara.”
“Sini,” ajak Yara lalu menunjuk kamar mandi.
“Lo cuci tangan sama kaki dulu aja sambil nunggu Mama gue ambilin baju.”
“Ra, ngerepotin nggak sih?”
“Stop bilang lo ngerepotin, karena gue udah lebih banyak ngerepotin,” ucap Yara, dan Bara hanya tertawa sembari melepas jam tangannya sebelum masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci kaki.
Tidak lama, hanya selang beberapa menit Mamanya Yara sudah membawa kaos ganti untuk Bara.
“Ini, pake aja punya Abangnya Yara,” ucap Mamanya lalu memberikan kaos tersebut dan Bara menerimanya, tentu saja tidak lupa mengucapkan terima kasih setelahnya.
Selagi Bara membersihkan diri, Yara pun sama langsung menuju kamar mandi lain untuk mandi karena badannya terasa sangat lembab.
Setelah selesai membesihkan badan, hujan kembali turun cukup deras, mau tidak mau Bara harus menunggu sampai hujan berhenti kembali. Akhirnya Bara diajak untuk ikut makan malam terlebih dahulu dengan Yara dan Mamanya sembari menunggu hujan reda. Papa dan Abangnya memang belum pulang sejak tadi, kalau sang Papa masih ada urusan di kantor yang mengharuskan untuk pulang sedikit terlambat dan Abangnya masih menunggu ban mobil diganti dengan ban baru berhubung sempat terpotong karena hujan yang lumayan besar sore tadi.
Mereka pun selesai dengan makan malam, “Tante makasih, jadi ngerepotin,” ucap Bara ketika Mamanya Yara bangkit untuk membereskan piring-piring yang kotor.
“Sama-sama, sering kesini aja Bar, Yara juga pasti seneng tuh,” goda sang Mama pada Yara yang membuat perempuan itu refleks menyangkal dengan nada yang sedikit meninggi.
“Apaan deh, Ma?!” sewot Yara.
“Loh, kalo emang nggak ya nggak usah teriak gitu ya, Bar?” Lagi-lagi Mamanya menggoda yang kali ini mengajak Bara untuk kerjasama, Yara hanya mendengus kesal, “Lagian kayaknya baru sekarang Adek bawa teman laki-laki ke rumah.” Mamanya menekan kata teman pada kalimat barusan.
“Iya Tante. Biasanya kalo responnya kayak gitu berarti bener emang seneng,” sahut Bara lalu tesenyum menoleh ke arah Yara yang membuat Yara merasa kikuk.
“Ah, lo malah ikut-ikutan. Mending tunggu ruang tamu sana,” perintah Yara membuat Mamanya dan Bara tertawa, “Sering kali Ma, Evan, Gio, Adam, Reza?” Yara malah menyebutkan nama-nama temannya.
“Ya itu kan biasanya dateng ramean. Yaudah, tante beberes dulu ya, Bar.”
“Butuh bantuan nggak, Tante?” tanya laki-laki itu dengan sopan dan mendapat gelengan kepala dari Mamanya Yara, alhasil Bara beranjak dari ruang makan lalu berjalan ke arah ruang tamu untuk duduk di sana.
Bara memicingkan matanya saat melihat figura besar dengan gambaran sebuah keluarga yang harmonis beranggotakan Ayah, Ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Sudah jelas bahwa anak perempuan itu adalah Yara, tapi anak laki-laki itu ia seperti tidak asing.
’Diliat dari jauh aja cantik, kok bisa ya,’ batin Bara melihat Yara yang tersenyum seakan sedang menatapnya, dan ia kini tidak sadar ikut tersenyum.
Bara kembali beranjak untuk melihat lebih dekat dan seketika ia membulatkan matanya karena terkejut dengan apa yang dirinya lihat saat ini.
‘Naha aya budak ieu, anying?’ batinnya ketika melihat Pram yang juga seakan tersenyum kearahnya. Tapi berbeda dengan senyum Yara, bagi Bara senyum Pram terlihat seperti sedang meledek.
Yara pun akhirnya datang membawa dua kaleng minuman soda rasa sarsaparilla kesukaannya dan juga hairdryer untuk digunakan Bara.
“Nih, keringin rambut lo.” Yara memberikan hairdryer itu dan Bara menerimanya lalu mencari stop kontak untuk menyalakannya.
“Minum, mau nggak?” tawar Yara.
“Nggak suka gue,” ucap Bara yang membuat Yara merasa heran.
“Bukannya lo suka juga ya?”
“Nggak.” Sampai saat ini Bara belum sadar dengan apa yang ia katakan.
“Lah? Yang di instagram story?”
Bara diam beberapa detik karena ia baru saja sadar lalu setelahnya tersenyum seakan-akan habis tertangkap basah, “Itu boong,” jawab Bara.
“Aneh banget, lo ngapain boong anjir.”
“Ya biar lo reply story gue lah, apa lagi?” jawab Bara to the point.
Benar-benar apa yang dikatakan dan dilakukan Bara selalu tiba-tiba menurut Yara, membuat dirinya bingung harus bereaksi seperti apa.
“Nggak jelas.” Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Yara, lalu setelahnya ia menegak minuman yang ada ditangannya untuk menetralkan degub jantung.
“Lagian habis hujan-hujanan tuh minum teh anget, ini malah minum soda, udah gitu dingin lagi,” celoteh Bara.
“Gue udah dua hari nggak minum ini,”
“Kalo nggak minum tiga hari bisa kejang-kejang apa gimana?”
Yara mengangguk, “Kurang lebih.” Mendengar jawaban Yara membuat Bara tergelak bukan main.
Bara akhirnya selesai mengeringkan rambut, lalu ia segera pamit pada Yara melihat jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 19.31
Keduanya berjalan beriringan ke depan untuk menghampiri motor Bara, laki-laki itu sudah naik ke atas motor lalu memakai helm dan siap untuk pergi dari sana.
Ingat akan satu hal Bara akhirnya membuka percakapan kembali, “Ra, Bang Pram itu sebenernya siapa? Abang lo?”
“Iya,” jawab Yara.
“Kok lo nggak bilang?!” omel Bara setelah mendapatkan jawaban yang seharusnya dari dulu ia ketahui, “Dia ngeprank gue ya? Selama ini gue kayak orang bego dong?”
“Lah emang gue nggak pernah bilang ya Bang Pram tuh Abang gue?” ucap Yara pura-pura tidak tahu, sejujurnya ia saat ini sedang menahan tawa.
“Nggak, Ra!”
“Oh.”
“Oh? Oh doang? Ya Allah Ra, gue dikerjain sama Abang lo, lo malah oh doang,” ucap Bara dengan wajah memelas.
Yara tertawa, “Ya jangan salahin gue dong, udah sana keburu makin malem.”
“Yaudah, gue balik ya,” pamit Bara.
“Iya, makasih ya, Bar. Hati-hati.”
“Eh, tapi emang bener, Ra, lo nggak pernah bawa cowo ke rumah selain gue?” tanya Bara dengan senyum jahilnya sebelum benar-benar pamit, sudah jelas tujuannya hanya untuk menggoda Yara.
“Pernah lah, lo kira gue jomblo dari lahir?! Maksud nyokap gue tuh yang sampe numpang bebersih sama ikut makan malem kayak lo tadi,” jelas Yara.
“Berarti gue pertama banget nih? Yes!” Senyum Bara merekah membuat Yara juga tidak tahan ingin ikut tersenyum.
“Udah ah sana!” usir Yara dengan tangan yang mengisyaratkan untuk segera pergi dari sini. Akhirnya Bara pun melajukkan motornya setelah mereka saling melambaikan tangan.
Semakin lama motor yang dikendarai Bara semakin jauh hingga tidak lagi terlihat dari pandangan Yara.
Saat ingin masuk ke dalam rumah tiba-tiba mobil Pram datang alhasil Yara harus membukakan pagar untuk manusia paling menyusahkan di rumah ini, kalo kata Yara.