Mereka Berdua Aneh

1428 words

Kalau barusan Akbar bilang skill menyetir motornya setara dengan Marc Marquez, sepertinya laki-laki itu tidak berbohong. Kini motor yang dikendarai Akbar terlihat hilai membelah jalan raya yang padat dengan pengendara. Jam segini jalanan mulai memasuki jam sibuk, manusia manusia budak korporat baru saja membubarkan diri untuk kembali ke tempat singgah guna beristirahat sebelum menyambut aktifitas yang lebih sibuk di esok hari.

Akbar memarkirkan motornya di depan bangunan minimalis menghadap jalan raya Cimanuk, Giska mengerutkan keningnya sebelum membuka suara.

“Ini bukannya jalan Cimanuk?” tanya perempuan itu sembari melihat kanan kiri mencari papan nama jalan.

Akbar membuka helmnya lalu menggantungnya pada kaca spion sebelah kiri, “Iya,” jawab Akbar tanpa dosa sambil mengadahkan tangannya guna memberi isyarat pada Giska untuk memberikan helm yang perempuan itu gunakan. Sedangkan Giska sudah memberikan tatapan yang tidak bisa di deskripsikan.

Laki-laki itu pun menyadari bahwa Giska hanya menatapnya, kesal, Akbar tau Giska pasti kesal, “Hahaha, biasa aja dong, Gis, liatinnya. Jadi takut gue.”

“Mau gue pukul?” Tetap dengan ekspresi yang sama, Giska membuka suara.

Karna Giska tidak kunjung membuka dan memberikan helmnya. Jadi, tanpa menggubris omelan Giska barusan, Akbar melepaskan helm yang masih bertengger di kepala perempuan itu.

“Udah ayo, nanti aja ngomelnya. Mau ketemu orang ganteng nggak boleh kesel kesel,” goda Akbar lalu berjalan mendahulukan Giska masuk ke dalam cafe dan yang perempuan akhirnya mengekori Akbar masih dengan perasaan kesal.


Semerbak kopi menusuk indera penciuman Giska, semburat kuning agak jingga menerobos jendela jendela kaca yang memutari ruangan, suhu dari pendingin ruangan berhasil membuat Giska sesekali bergidik kedinginan.

Giska duduk dengan tenang pada meja bertuliskan angka sembilan, meja paling ujung di samping jendela. Bukan tanpa alasan ia memilih meja ini, pemandangan langit dan lalu lalang kendaraan pada jalan raya menurut Giska dapat mengurangi rasa gugupnya.

Entahlah apa yang Akbar lakukan. Ketika masuk ke dalam cafe, Akbar meminta Giska memilih tempat duduk duluan dan setelahnya laki-laki itu langsung menghilang masuk ke dalam pintu yang bertuliskan staff only. Giska tidak terlalu penasaran, jadi tanpa bertanya banyak ia hanya mengikuti ucapan Akbar yang menyuruhnya langsung memilih tempat duduk.

Tak menunggu lama, laki-laki dengan jaket bomber hitam dan warna rambut yang menyerupai warna minuman coklat susu itu berjalan menghampirinya.

“Sorry, temennya Abay yang mau wawancara bukan?” tanya Galen dengan hati-hati.

Yang diajak bicara pun bangkit untuk menyambut, “Oh, iya. Galen ya?” tanya Giska sembari menawarkan diri untuk bersalaman, Galen pun menerima sembari mengangguk memberi jawaban atas pertanyaan Giska barusan.

“Kenalin gue Giska, sorry ya ganggu waktunya. Duduk, Len.” Giska mempersilakan Galen untuk duduk di kursi yang ada di depannya.

“Iya, thanks. Sorry tadi siapa? Giska?” tanya Galen memastikan.

“Iya Giska.”

Galen pun kembali mengangguk, setelahnya ia duduk pada kursi yang ditunjuk Giska. Mereka berdua sempat hening untuk beberapa waktu, tidak ada percakapan yang mereka ciptakan, hanya terdengar lagu dari pengeras suara yang terpasang pada setiap sudut cafe.

Bukan, bukan karena Giska pemalu. Mungkin orang selalu salah menilai seorang introvert, banyak yang menyangka mereka dengan kepribadian introvert itu tipikal orang yang pemalu atau antisosial, padahal itu bukan bagian dari sifat introvert. Giska hanya merasa canggung saat ini, ia tidak sesulit itu untuk bergaul, malah sebaliknya, ia akan cepat beradaptasi jika lawan bicaranya tidak sama canggungnya. Tetapi yang terjadi kini, mereka berdua sama-sama sedang merasa canggung.

Tak lama Akbar datang menghampiri keduanya yang sudah terlihat seperti ikan yang dibekukan di dalam lemari pendingin. Kaku.

“Udah wawancaranya?” Satu pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Akbar.

“Biji mata lo udah,” balas Galen.

“Oh yaudah lanjut deh, gue ke dalem lagi,” ucap Akbar sebelum melenggang pergi dari sana.

Giska dengan cepat menahan lengan Akbar sebelum laki-laki itu pergi. “Bay, mau kemana? Sini aja.”

Akbar menatap Giska beberapa detik, lalu setelahnya ia tertawa seakan menangkap sebuah kode dari tatapan mata perempuan itu. “Salting?” goda Akbar tanpa suara, tetapi Giska bisa membaca gerak bibir laki-laki itu.

“Nggak usah rese,” kesal Giska sambil menghempaskan lengan Akbar.

“Iya udah iya gue bantuin nih wawancaranya. Mana list pertanyaannya?” Masih dengan wajahnya yang menyebalkan, menurut Giska.

Galen hanya memperhatikan dua orang dihadapannya dengan heran. “Situasi macam apa ini?” ledek Galen.

“Sorry Gal, nggak bisa dia jauh dari gue.”

“DIH.” pekik Giska dan Galen bersamaan setelah mendengar ucapan super percaya diri dari Akbar.

Sesi wawancara pun dimulai, Giska memberikan beberapa pertanyaan yang sudah ia catat sebelumnya. Setelah berbincang banyak dengan Galen, Giska mengerti mengapa Akbar dan Galen bisa menjadi teman dekat. Menurutnya, mereka berdua tidak jauh berbeda, aneh.

“Ini udah, Gis?” tanya Galen setelah selesai menjawab pertanyaan terakhir dari Giska.

“Udah. Makasih banyak ya, Len!” ucap Giska tak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya karena Galen sudah mau membantunya dalam proses penggarapan tugas akhir.

“Iya kalem, Gis. Lo kesini tadi naik apa?”

“Sama gua,” jawab Akbar dengan cepat.

“Kirain gojek, biar sekalian sama gua aja tadinya. Apa sama gua aja, Bay? Lu lagi handle cafe kan?” Sebuah pertanyaan yang dapat dengan mudah memancing emosi Akbar. Bukan tanpa alasan, Galen sengaja.

Galen yang menerima tatapan tidak terima Akbar pun kembali membuka suara. “Kalem weh atuh, Bay, bengeutna siga maung nu rek ngerekeb kitu.” Setelahnya Galen tertawa puas. (trans: santai aja mukanya udah kayak macam mau nerkam gitu)

“Lo kalo udah habis minumnya mending pulang, mau futsal kan lu,” perintah Akbar yang was-was pada setiap gerak-gerik Galen.

“Udah pada bubar setan! Lagian gua masih mau ngobrol sama Giska,” balas Galen dengan santai sambil menyeruput kopinya yang akan habis hanya dengan sekali sedot.

“Lo temennya Raisha ya, Gis?” lanjut Galen bertanya, mungkin sekarang posisinya sudah berbalik. Setelah Giska melayangkan belasan pertanyaan tadi, kali ini sebaliknya, Galen yang memberikan pertanyaan pada Giska.

Belum sempat menjawab, Giska kembali dibuat bungkam karena Akbar lebih dulu menjawab pertanyaan Galen barusan.

“Iya, temennya Raisha dia. Sama siapa tuh Gal, kabogohan sia pas SMA nu ayeuna barudak Fikom?” jawab Akbar. (trans: pacar lo pas SMA yang sekarang anak Fikom?)

“Hah saha? Eweuh anying,” (trans: hah siapa? nggak ada anying)

“Si Tyara.”

“Nggak pernah pacaran goblog,” ungkap Galen, setelahnya Akbar hanya ber-oh ria.

“Oh, berarti lo pernah deket ya Len sama Tyara?” Kali ini Giska yang bertanya karena penasaran setelah mendengar nama Tyara.

Yang ditanya siapa, yang jawab siapa. Lagi-lagi Akbar menjawab pertanyaan yang bukan diperuntukan untuk dirinya. “Iya, Gis. Deket sampe satu sekolah ngira mereka pacaran.” Lalu Giska hanya mengangguk mendengar penjelasan Akbar.

“Nggak usah gosip, nggak ada ye satu sekolah ngira gue pacaran sama Tyara,” protes Galen karena sebenarnya tidak seperti yang diungkapkan Akbar, menurutnya.

“Ayo gocapan? Gua tanya sekarang juga di grup angkatan,” tantang Akbar.

Berawal dari percakapan santai lama-lama menjadi percakapan yang mengundang keributan diantara dua laki-laki dihadapan Giska. Perempuan itu hanya diam memperhatikan mereka berdua berdebat. Yang membuat Giska bingung, segala hal selalu mereka debatkan dari yang penting sampai tidak penting.

“Ini mau gue sediain podium buat kalian berdua debat nggak?” Akhirnya Giska berhasil menghentikan perdebatan mereka berdua.

“Si Gale tuh, Gis.”

“Apaan jadi gue,” ucap Galen tetap membela diri. “Lo alumni mana, Gis?” lanjutnya.

“24.” Lagi-lagi belum sempat Giska jawab, sudah lebih dulu Akbar yang menjawab.

“Sia saha sih anying? Aing keur nanya ka si Giska, lain ka sia kehed. Sia teh juru bicaranya si Giska?” (trans: lo siapa sih anying? Gue nanya ke Giska, bukan ke lo. Lo juru bicaranya Giska?)

“Iya daritadi gue mau jawab keduluan dia mulu.” Giska ikut protes.

“Dia mah gitu Gis kalo naksir cewek. Ribet.” Galen terkekeh, setelah itu ia bersandar pada kursi sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Naksir siapa?” tanya Giska.

“Masa naksir gue sih, Gis.” Setelahnya Galen bergidik ngeri karena membayangkan jika Akbar menyukainya.

“Ya terus?”

Akbar menghela napas, “Terus, terus, terus nabrak!”

“Kenapa sih lo? Nggak jelas.” Giska menoleh ke Akbar, menegaskan bahwa kalimatnya barusan ditujukan untuk laki-laki itu.

Bukannya menjawab, Akbar malah mengulang kalimat Giska sembari menoleh ke sampingnya yang kebetulan ada seorang waiters sedang menghampirinya. “Kenapa sih lo? Nggak jelas.” Waiters itu pun diam kebingungan sampai-sampai ia lupa hal apa yang barusan ingin ditanyakan pada Akbar.

Galen tertawa terbahak-bahak, sedangkan Giska tak kalah bingung dengan sang waiters.

“Nggak usah kaget, Gis. Kalo salting emang suka di luar nalar tingkahnya. Kadang saltingnya Abay bisa sampe bantu-bantu Abang cilok jualan,” jelas Galen.

Semburat cahaya semakin jelas berwarna oranye. Berada di sini bersama dengan Akbar dan Galen, Giska merasa sedang men-charge energinya, bahkan ia lupa kalau kemarin baru saja menangis hingga matanya terasa perih. Walaupun banyak lelahnya karena mendengar perdebatan tidak penting mereka, tetapi kalo boleh jujur Giska merasa terhibur. Apalagi celotehan-celotehan keduanya yang tak jarang membuat Giska tertawa lepas.

Kalo bisa memilih, Giska ingin berada di situasi seperti ini dulu untuk beberapa waktu. Beraktifitas tanpa teringat bagaimana sikap Gendra padanya akhir-akhir ini. Tetapi waktu terus berjalan hingga terpaksa membawanya kembali ke rumah dan kembali sendiri.