Mogok, Cerita dan Hujan.

Sekitar 20 menit Yara menunggu kedatangan Bara. Beberapa orang berlalu lalang di sekitar mobilnya dan bahkan ada banyak bapak-bapak yang nongkrong di warung membuat Yara sedikit merasa takut, padahal mereka hanya lewat tetapi ia tidak berhenti was-was pada keadaan sekitar.

Bara akhirnya datang dengan membawa satu jerigen berisi bensin, laki-laki dengan style jaket denimnya itu turun dari motor dan menghampiri Yara. Sebelumnya ia sudah menyuruh Axel untuk kembali ke tempat ia dan teman-temannya tadi berkumpul.

“Nuhun, Xel. Maneh langsung balik ke anak-anak aja, aing titip motor ya,” kata Bara, lalu menepuk pundak Axel.

“Nggak papa gue tinggal?” tanya Axel memastikan lalu mendapat anggukan kepala dari Bara, Axel pun pamit untuk meninggalkannya.

Yara akhirnya turun dari mobil. Ada perasaan lega ketika melihat Bara yang juga tengah menghampirinya, tidak sadar air mata Yara turun karena sedari tadi ia menahannya saat sedang panik-paniknya.

“Gimana bisa lupa isi bensin sih, Ra?” Bara terkekeh ke arah Yara sebelum akhirnya ia sadar perempuan itu tengah menangis.

“Lah, lo nangis?” Bara menyejajarkan tinggi badannya dengan Yara guna melihat wajah sang puan yang dengan cepat menggeleng sembari menyeka air mata dengan jari-jari tangannya.

Bara melihat tangan Yara yang masih gemetar saat menyeka air mata, ia pun langsung menenangkan perempuan itu dengan menepuk-nepuk pundaknya dengan perlahan dan sesekali mengelusnya.

“Udah nggak papa, lo aman karna gue udah di sini, Ra,” ucap Bara dengan lembut dan Yara hanya mengangguk sebagai balasannya.

Bara membukakan pintu depan kursi penumpang, ia memerintah Yara untuk masuk dan menunggu di dalam mobil.

“Masuk aja, Ra. Biar gue isi dulu tangki bensinnya.” Perempuan itu pun mengikuti perintah Bara untuk masuk ke dalam mobil.

“Tombol tangki bensinnya di mana, Ra?” tanya Bara sembari memperhatikan seluruh tombol di sekitar kemudi.

“Itu.” Yara menunjuk tombol di sebelah dashboard membuat mata Bara mengikuti arah telunjuk perempuan itu dan menekan tombol tersebut agar tangki terbuka.

“Bentar ya gue isi dulu,” ucap Bara, setelahnya berjalan sambil membawa jerigen bensin ke tangki yang terletak di kiri body mobil.

Ia membuka tutup tangki dan mulai memasukkan perlahan bahan bakar minyak yang biasa digunakan oleh kendaraan roda dua dan empat. Setelah selesai, Bara kembali menutup tangki dengan rapat lalu menaruh jerigen tadi di bagasi.

“Gue anterin ya, Ra?” tanya Bara ketika masuk dan duduk di kursi kemudi.

“Nggak ngerepotin, Bar?” Alih-alih menjawab, Yara justru balik bertanya.

“Nggak sama sekali. Badan lo masih lemes gitu, emang bisa bawa mobil?” kata Bara dan Yara pun dengan cepat menggelengkan kepalanya.

“Gue juga nggak yakin,” jawabnya.

“Yaudah gue anterin aja. Pake seatbeltnya.” Yara pun mengikuti perintah Bara untuk memakai seatbelt sebelum mobil yang dikendarai Bara melaju. Perlahan Bara menghidupkan mesin mobil dan melajukannya untuk meninggalkan jalan Taman Sari.


Rintik air turun dari langit yang perlahan mulai menutupi kaca depan mobil, Bara menyalakan wiper untuk membersihkan air yang mulai menghalangi pandangannya.

Musim sudah mulai berganti dari kemarau ke penghujan sejak bulan September lalu. Akhir tahun semakin dekat menandakan hujan akan turun lebih sering.

Yara menatap air hujan yang menari-nari pada kaca mobil, ia sangat lega karena hujan turun setelah dirinya sudah bertemu Bara.

“Untung hujan turun pas gue udah ketemu lo, kalo belum nggak tau deh mungkin tingkat kestressan gue bakal dititik paling tinggi,” ucap Yara yang masih menatap air hujan.

Bara terkekeh mendengar ucapan Yara, ia menoleh beberapa detik untuk melihat wajah perempuan itu.

“Lo suka hujan nggak?” tanya Bara tiba-tiba.

“Nggak, soalnya hujan suka ganggu aktifitas. Terus gue nggak suka kalo baju gue basah dan lembab, walaupun sedikit. Makanya gue nggak pernah hujan-hujanan yang disengaja gitu dari kecil,” jelas Yara panjang lebar.

“Serius?”

“Hm.” Yara berdehem sebagai jawaban.

“Di umur segini lo harus cobain hujan-hujanan, Ra.”

“Kenapa gitu?”

“Karna ada hal yang cuma bisa lo rasain pas hujan-hujanan,” jelas Bara.

“Apa itu?”

“Makanya cobain, nanti lo tau jawabannya.”

“Lo suka hujan?” Yara pun balik bertanya dan Bara mengangguk sebagai jawabannya, mata mereka sempat bertemu ketika laki-laki itu menoleh tapi setelahnya Bara kembali fokus pada jalanan.

Bara suka saat hujan turun, anugerah Tuhan katanya. Dan juga udara setelah hujan membuatnya merasa lebih tenang, seperti semua permasalahan hidupnya hilang mengikuti aliran air yang berjalan dari dataran tinggi ke permukaan tanah yang lebih landai. Laki-laki itu senang ketika mendengar suara hujan yang beradu dengan tanah atau atap rumah. Menurutnya, setelah hujan udara menjadi lebih bersih untuk dihirup sehingga sangat baik mengisi paru-paru dengan udara yang lebih segar.

“Lo suka hujan-hujanan, Bar?”

“Suka banget, malah waktu kecil pantat gue sering disabet pake sapu kasur sama bokap gue gara-gara hujan-hujanan mulu. Lo tau kan sapu kasur? Perih tuh kalo kena kulit langsung.” Yara tertawa geli mendengar cerita Bara.

“Tuh kan bener, emang sifat lo sebelas dua belas sama Shinchan. Terus lo kapok?”

“Ya nggak lah. Hari ini dimarahin, besoknya diulangin,” ucap Bara disertai dengan tawa diakhir. Sementara, Yara yang duduk di sebelahnya ikut tertawa sambil menggelengkan kepala mendengar cerita atas tingkah Bara ketika masih kecil.

“Hujan-hujanan tuh bikin sakit, makanya lo dimarahin. Bokap lo pasti galak ya, Bar?”

“Kalo sering hujan-hujanan, tubuh lo malah terbiasa. Jadi bakal jarang sakit, percaya nggak?” jelas Bara dengan ke-sok tauannya, teori ini yang ia ciptakan sendiri untuk tameng ketika dimarahi Bapak dan Bundanya.

Bara melanjutkan kalimatnya, “Dibilang galak banget sih nggak juga, dia marah kalo emang gue udah kelewatan aja. Malah bokap gue lebih banyak randomnya.”

“Serius? Random gimana maksudnya?” tanya Yara bersemangat karena dirinya penasaran.

“Ya random aja, sering buat jokes yang dia doang yang nganggep lucu. Kan gue kadang bingung ya mau ketawa tapi dosa karena kesannya ngeboongin orang tua, tapi mau diem aja juga kok kasian liat bokap gue udah mikir keras buat ngelucu.” Bara bercerita panjang lebar membuat Yara tidak bisa menahan tawanya.

“Bokap lo kayaknya seru ya Bar.” Rasa penasaran Yara yang semakin besar.

“Ya lumayan lah bisa kalo butuh badut ulang tahun.”

“Hahahaha, woy anak durhaka.”

“YaAllah bercanda, Pak. Lo mau ketemu?”

“Mau lah, gue penasaran sama kerandoman yang lo bilang barusan.”

“Yaudah nanti gue temuin.”

“Gue rasa sifat lo ini turunan dari bokap ya.”

“Katanya sih gitu.”

Lampu lalu lintas dari warna hijau berubah menjadi warna merah, yang artinya Bara harus memberhentikan mobil yang sedang ia kendarai.

Dingin AC mobil bercampur dengan dingin udara Bandung ketika hujan membuat Bara sesekali bergidik. Ia menoleh kearah Yara, dilihatnya tangan perempuan itu yang masih gemetar walaupun tidak separah sebelumnya, entah apa masih karena kejadian tadi atau karena dingin. Bara mengulurkan tangannya ke arah Yara yang membuat perempuan itu menoleh dan bingung.

“Gue boleh pegang tangan lo nggak?” izin Bara.

Deg

Seketika Yara mematung untuk beberapa detik, ia mengerutkan kedua alisnya dan memasang wajah bingung untuk menutupi memerah di wajahnya atas pertanyaan Bara.

“Nggak ada maksud apa-apa, cuma gue liat tangan lo gemeter dari tadi. Lo pegang aja tangan gue barangkali bisa ngeredain,” jelas Bara sebelum perempuan disampingnya berfikir macam-macam tentangnya.

“Ya boleh boleh aja, cuma nggak-“ Belum selesai Yara berbicara lebih dulu tangan Bara menggenggam tangannya dan sesekali mengelus-elusnya untuk menghantar kehangatan, sontak kegiatan itu membuat Yara kaget dan tubuhnya menegang untuk beberapa saat.

“Tangan lo dingin,” kata Bara.

“Tangan lo anget,” balas Yara.

Sekitar 5 menit tangan mereka saling menggenggam, lampu pun berubah menjadi warna hijau yang membuat genggaman itu terpaksa lepas karena Bara harus kembali melajukkan mobil.

“Serius lo gemeter karna masih takut apa dingin, Ra?”

‘KARNA LO, SINTING,” batin Yara.


Bara memberhentikan mobil tepat di depan gerbang rumah, akhirnya mereka sampai di rumah dengan gaya vintage modern milik keluarga Yara. Keduanya pun turun dari mobil, tidak lupa Bara mengambil jerigen bensin milik Iyas tadi di dalam bagasi.

“Sekalian masukin ke dalem aja nggak mobilnya, Ra?” tanya Bara.

“Nggak usah biar gue aja. Lo pulang gimana, Bar?”

“Gojek, bentar gue pesen gojek dulu.” Bara merogoh saku untuk mengeluarkan ponselnya, ia membuka aplikasi ojek online untuk memesan.

“Tadi motor lo gimana?” Yara penasaran.

“Dititipin ke Axel, makanya ini gue mau nyusul lagi kesana,” jelas Bara untuk menjawab rasa penasaran Yara dan perempuan itu hanya mengangguk tanda mengerti.

“Yaudah gih lo masuk, Ra.”

“Nggak, sekalian nunggu lo aja.”

“Gojek gue bentar lagi kok, masuk aja. Oh iya, nih kuncinya,” perintah Bara sembari memberikan kunci mobil dan Yara menerimanya.

“Nggak papa santai. By the way Bar, makasih banyak ya buat tadi. Maaf ngerepotin, padahal lo lagi kumpul sama temen-temen lo,” ucap Yara dan Bara menoleh ke arahnya alhasil mata mereka bertemu.

Bara tersenyum membuat Yara mengalihkan pandangannya ke arah lain, “Sama-sama, gue malah seneng lo minta bantuan ke gue di saat-saat kayak tadi,” tutur Bara dan Yara diam beberapa detik karena tidak tahu harus menjawab apa.

“Yaudah pokoknya makasih banyak! Oh iya, tadi bensin berapa Bar?” tanya Yara sambil merogoh tasnya, mengambil dompet berwarna hitam, ia mengingat untuk mengganti uang bensin yang tadi dibelikan Bara.

“Nggak usah, Ra. Simpen aja duit lo.”

“Lah, jangan gitu, gue udah ngerepotin malah makin ngerepotin.”

“Nggak papa, gue ikhlas. Pertaminanya gue beli buat lo juga bisa,” canda Bara dan Yara sontak tertawa mendengarnya.

“Asli nggak nih?”

“Bercanda dong, Ra. Kalo serius mah udah gue bawa lo ke pelaminan.” Bara tersenyum jahil setelah berkata seperti tadi membuat Yara bergidik lalu mendorong pelan pundak laki-laki itu.

“Mulut lo terlatih jadi buaya banget ya.“ Yara merasakan gerah di sekujur tubuhnya setelah mendengar perkataan Bara barusan, telinganya mulai memerah tanda jika ia sedang merasa malu.

“Kok buaya sih, gue kalo ibarat hewan cocoknya angsa.”

“Kok angsa?”

“Angsa kan simbol kesetiaan, lo nggak tau?” jawab Bara dengan percaya diri, mendengar jawaban laki-laki itu membuat Yara lagi-lagi tertawa dan kali ini sampai tersendak salivanya sendiri.

“Buset sekaget itu, Ra, abis denger fakta? Hahaha.” Bara ikut tertawa melihat Yara sedang terbatuk-batuk sembari menepuk-nepuk pundak perempuan itu.

Yara hanya mengangguk sembari menetralkan nafasnya. “Jadi, nggak jadi nih beliin gue pertamina?” ucapnya setelah merasa nafasnya kembali normal.

“Kebetulan gue bukan anaknya Chairul Tanjung, Ra, tapi anaknya bapak Wirandoko.”

“Hahahaha, yaudah sebagai gantinya kapan-kapan lo gue teraktir deh.”

Deal ya?” Bara mengulurkan tangannya untuk mengajak berjabat tanda sah.

Deal.” Yara menerima jabatan tangan Bara dan mereka pun tertawa bersama setelahnya.

Tidak lama gojek yang dipesan Bara pun datang, “Atas nama Bara Satya?” tanya sang driver.

“Iya saya, Pak.”

“Ra, gue balik ya,” pamit Bara sambil menerima helm dari driver dan setelah itu duduk pada jok belakang.

“Iya, hati-hati Bar,” sahut Yara melambaikan tangan.

“Pak, hati-hati ya nyetirnya,” lanjutnya.

“Tuh pak hati-hati kata calon pacar saya,” bisik Bara sambil menepuk pundak sang driver dengan pelan lalu dibalas dengan jempol dan kekehan dari driver itu.

Motor yang ditumpangin Bara pun mulai jalan menjauh hingga akhirnya hilang dari pandangan Yara. Perempuan itu membuka gerbang rumahnya untuk memasukkan mobil, sebelum akhirnya ia yang masuk ke dalam rumah.