PROLOG

Perahu kertas dengan segala kerapuhannya yang mungkin akan terkoyak di tengah jalan hanya dengan hitungan meter, namun dengan sebuah keyakinan, semua batu, kerikil, atau apa pun tak akan pernah mengaramkannya. Perahu kertas akan terus melaju sampai ke MUARA.


Agistha sudah akrab dengan dunia malam sejak Sekolah Menengah Akhir. Pergaulan Kota Metropolitan membawanya pada dunia seperti ini, Agistha tidak masalah dengan musik-musik kencang yang bisa saja merusak indera pendengarannya, dan tidak jarang ia dikelilingi laki-laki hidung belang yang mencoba untuk menggoda.

Di tangan kanannya ia menggenggam satu gelas rum yang hanya tersisa sedikit, tenggorokannya sudah terbiasa menegak minuman-minuman dengan kadar alkohol yang tinggi.

Kesadarannya perlahan mulai menghilang, tetapi perempuan itu masih dapat mendengar samar-samar suara di sekelilingnya yang sangat bising, bahkan ia masih bisa mendengar suara temannya yang sedari tadi mencoba untuk menyadarkannya. Terlepas dari bisingnya tempat itu, bagi Agistha isi kepalanya jauh lebih bising.

Ia memiliki alasan untuk datang ke tempat ini dan menegak minuman ber-alkohol. Akhir-akhir ini pikirannya penuh diisi oleh seorang laki-laki misterius yang satu bulan terakhir berhasil membuka hati yang sudah bertahun-tahun tertutup rapat karena trauma yang dimiliki. Sebelumnya, belum ada satu pun yang berhasil menemukan kuncinya, tapi laki-laki itu berhasil.

Namanya Prada. Hanya itu yang ia tahu, bahkan untuk sebatas nama lengkapnya pun Agistha tidak tahu.

Mereka bertemu pada waktu yang salah, pertemuannya hanya sebatas seorang talent dan client yang memiliki kesepakatan bersama atas peraturan-peraturan yang berlaku. Kini kontrak mereka sudah berakhir. Tetapi, Agistha terlanjur jatuh terlalu dalam sehingga berharap lebih pada hubungan antara dirinya dengan laki-laki itu.

Agistha merasakan tubuhnya yang tiba-tiba terangkat, seperti ada seseorang yang menuntunnya untuk pergi menjauh dari tempat bising ini. Wangi parfum yang sangat familiar menusuk indera penciumannya.

“Prada?”

Agistha yakin bahwa orang yang menuntunnya adalah Prada. Laki-laki itu hanya diam, tidak berniat untuk menjawab dan malah kembali menuntun Agistha menuju mobil milik perempuan itu.

“Jangan pergi. Gue suka sama lo, Prada. Izinin gue untuk mengenal semua tentang lo.”

Seketika tubuh laki-laki itu membeku. Dadanya terasa sesak ketika mendengar kalimat tersebut, kalimat yang tidak ingin dan seharusnya tidak pernah ia dengar dari mulut perempuan yang kini tengah mendekapnya.