Selamat Ulang Tahun Bapak

Suara mesin motor Bara semakin terdengar sampai akhirnya tiba di depan pagar hitam rumahnya, dengan langkah cepat Pak Dayat— tukang kebun yang bekerja di rumahnya— membukakan pagar agar Bara tidak perlu repot-repot turun dari motor.

“Nuhun, Pak, kenapa belum pulang?” tanya Bara setelah memarkirkan motornya di pelataran rumah dan tidak berniat untuk memasukkannya ke dalam garasi.

“Ini a’ si Ibu meuli kembang nu anyar,” jawab Pak Dayat sembari kembali melanjutkan tugasnya untuk memindahkan tanaman dari polybag ke pot baru.

Bara yang mendengar jawaban itu hanya ber-oh, “Oh iya, Pak Dayat, kenalin ini pacar saya.” Tidak lupa ia memperkenalkan perempuan yang sedari tadi mengekorinya.

Pak Dayat yang semula sedang sibuk membersihkan akar dari media tanam pun menoleh lalu tersenyum ke arah Yara, “Oh- iya neng, saya Pak Dayat,” sapa Pak Dayat.

“Saya Yara, Pak,” balasnya memperkenalkan diri, tidak lupa memberikan senyum diakhir.

“Geulis pisan teu sih, Pak?” tanya Bara yang setelah itu mendapat pukulan di pundak dari perempuan disampingnya.

“Iya atuh nggak heran saya mah, da a’ Baranya ge kasep.”

“Si Bapak bisa aja nih, besok saya sampein ke Bunda buat naikin gaji ya, Pak.” canda Bara yang dibalas kekehan dari Pak Dayat.

Setelah menyelesaikan sesi perkenalan antara Yara dan Pak Dayat, Bara pamit izin untuk masuk ke dalam rumah dan mempersilakan Pak Dayat kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Yaudah lanjut, Pak. Ayo, Ra, masuk,” ajak Bara setelah membuka pintu.

Kesan pertama yang Yara dapat ketika memasuki rumah ini adalah interiornya yang tertata rapih dengan nuansa warna earth tone yang dapat memanjakan mata siapapun ketika melihatnya. Matanya menjelajahi tiap sudut ruangan ini, melihat satu persatu foto yang terpajang di dinding.

“Hey, sini masuk Ayyara,” tegur Bara karena sedari tadi Yara hanya sibuk memperhatikan foto-foto, Yara yang tersadar akhirnya kembali mengikuti langkah kaki laki-laki itu dengan sungkan, pasalnya ini kali pertama ia datang ke rumah pacarnya. Dulu sewaktu berpacaran dengan mantan-mantannya, tidak ada yang pernah mengajaknya main ke rumah mereka.

Mata Yara menemukan seorang perempuan dengan surai panjang dan poni yang menutupi bagian keningnya sedang mengeluarkan beberapa pernak-pernik dekorasi yang biasa digunakan untuk acara ulang tahun. Perempuan itu menyadari kehadiran mereka berdua, lantas tersenyum ketika melihat Yara yang berada di balik punggung Bara.

“Teh, ini Yara.” Bara menggeser sedikit tubuhnya lalu menarik maju Yara secara perlahan.

Binar—kakak Bara— pun bangkit dari duduknya, “Halo, Binar,” sapanya lalu mengulurkan tangan untuk mengajak berjabat tangan.

Dengan cepat Yara menerima jabatan tangan itu, “Yara,” balasnya, tidak lupa senyum simpul yang menghiasi wajahnya.

“Teh, titip Yara sekalian kenalin ke Bunda. Aku mau ambil kue dulu, keburu tutup tokonya,” ujar Bara dan di sampingnya Yara menatap ke arah Bara dengan tatapan kaget. Tentu saja ia terkejut ketika Bara mengatakan ingin meninggalkan dirinya di sini, bukan tidak mau tapi bukankah akan sangat canggung nantinya?

“Titip titip, kamu kira barang apa. Sini, Ra, bantu aku dekor mau?”

Yara tersenyum lalu mengangguk tanpa ragu, “Boleh, Teh.”

“Yaudah aku tinggal dulu ya, Ra, kalo Teh Binar rese bilang aku aja,” ledek Bara.

“Yee sembarangan, nggak kebalik?!” balas Binar sewot lalu setelahnya mendapat cibiran dari Bara dan laki-laki itu berlalu meninggalkan rumah untuk mengambil kue yang sebelumnya sudah ia pesan.

Atmosfer canggung sekitar Yara pun tercipta di detik ketika Bara pergi meninggalkannya dengan Binar. Tapi untungnya sifat Binar memang tidak jauh berbeda dengan Bara, ia mudah mencairkan suasana canggung seperti sekarang ini.

“Ini kamu mau ikut pompa balon?” tawar Binar memberikan alat pompa dan balonnya, Yara pun mengangguk lalu menerimanya.

Yara mulai memompa satu-satu balon dan mengikatnya dengan kuat, sedangkan Binar sibuk menempelkan dekorasi dengan tulisan ‘Happy Birthday’ pada dinding.

“Kalian kenal di mana? Temen kampusnya Bara ya?” tanya Binar membuka percakapan.

“Temen dari SMP sih Teh tepatnya, tapi sekarang satu kampus sama satu fakultas juga, cuma beda jurusan aja,” jawab Yara.

“Oh, temen SMP, sekelas berarti kalian pas SMP?”

“Iya sekelas pas kelas 8 sama 9.”

“Rese ya si Bara waktu SMP? Sekarang juga masih sih, cuma SMP tengilnya nggak ada dua.” Yara yang mendengarnya lantas tertawa seakan setuju dengan apa yang baru saja dikatakan Binar.

“Ini aja dia ngerjain kamu, Ra. Dia sengaja baru ngambil kue biar nggak ikutan bantu dekor sama siapin meja makan, makanya dia drop kamu kesini duluan,” jelas Binar, ketika Yara pikir-pikir masuk akal juga pernyataan itu.

“Kayaknya emang gitu deh, Teh. Padahal kan tadi bisa sekalian pas jemput aku, kalo gini apa nggak kerja dua kali, bolak-balik,” jawabnya.

“Namanya juga Bara.”

Ditengah-tengah percakapan mereka, tiba-tiba seorang wanita paruh baya menghampiri keduanya. Bisa Yara pastikan jika wanita itu adalah Bunda dari Bara, ia dengan cepat bangkit dari duduk dan menyalaminya.

“Ini Yara ya?” tanya wanita itu sembari tersenyum ke arah Yara.

“Iya tante. Oh iya, ini ada sedikit kue yang Yara buat,” ucapnya lalu memberikan paper bag yang isinya cookies buatannya.

“Aduh repot-repot neng Yara, makasih ya. Bener ya Teh ternyata, si aa’ mah nggak bohong. Yara meni geulis,” puji Bunda sambil mengelus pundak Yara sambil tersenyum, alhasil perempuan itu ikut tersenyum malu terlebih lagi mengetahui fakta bahwa Bara sudah lebih dulu membicarakan dirinya bahkan memujinya pada Bunda dan Binar, hal itu membuat telinga Yara memerah karena merasa malu dan senang di waktu yang bersamaan.

“Iya, Nda, aku malah heran kok Yara mau sama Bara?”

“Ya kan baik adekmu, Teh,” bela sang Bunda, “Anak Bunda baik kan, Yara?” lanjutnya bertanya pada Yara.

Yara mengangguk pasti, “Baik banget kok, Tante.”

“Bunda mah bela si bocah tengil terus,” cibir Binar lalu kembali sibuk memompa sisa balon, Bunda dan Yara yang mendengar hanya tertawa.

“Bunda tinggal ke dapur lagi, ya? Takut gosong masakannya,” pamit Bunda dan Yara membalasnya dengan anggukan serta senyuman.


Hari ini hari yang kau tunggu Bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu Yang kuberi bukan jam dan cincin Bukan seikat bunga, atau puisi, juga kalung hati

Lagu Jamrud dengan judul Selamat Ulang Tahun mulai diputar bersamaan dengan Bapak yang masuk ke dalam rumah. Sebenarnya Bapak sudah tidak terkejut dengan kejutan yang Istri dan anak-anaknya siapkan, mengingat kemarin Bara secara terang-terangan bicara ingin memberi kejutan.

Tetapi tetap saja ada perasaan terharu Bapak saat melihat ruang makan yang dihias sedemikian rupa dan makanan yang berjajar di atas meja makan, berbagai lauk pauk disajikan Bunda untuk malam hari ini.

“Selamat ulang tahun, Bapak,” ucap Bunda menghampiri Bapak untuk mengecup kedua pipinya.

Setelahnya diikuti Binar dan Bara yang juga memberi ucapan untuk Bapak. Hati Yara menghangat ketika melihat pemandangan di hadapannya, manik matanya memperhatikan setiap gerak gerik Bara. Laki-laki itu sangat berbeda ketika berhadapan dengan keluarganya, Bara yang ternyata sangat manja dengan Bapak membuat Yara tidak dapat berhenti tersenyum.

“Ah iya, Bap, kenalin ini Yara.” Bara menoleh lalu memperkenalkan Yara yang sedari tadi hanya memperhatikan dari balik punggung Bara.

Dengan gerak cepat Yara menghampiri Bapak untuk menyalami dan ikut mengucapkan selamat ulang tahun, “Om, saya Yara. Selamat ulang tahun ya om, sehat selalu,” tutur Yara dengan sopan.

Setelah itu mereka duduk melingkar disekitar meja makan, seperti acara ulang tahun pada umumnya, mereka berdoa bersama lalu diikuti dengan prosesi tiup lilin.

Bunda pun mulai membantu menyedokkan nasi pada piring masing-masing. Dimulai dari Bapak, lalu Binar, Yara dan Bara yang mendapat giliran terakhir. Yara menatap begitu banyak menu yang Bunda siapkan di atas meja, ada ayam goreng, capcay, mie goreng, daging gepuk, pepes tahu, tidak lupa sambal dan lalapan juga tersedia.

“Ayo neng Yara silakan pilih aja, capcay suka neng?” tanya Bunda.

“Suka, Tante,” jawab Yara lalu Bunda menyendokkan capcay untuknya, tidak lupa ia mengucapkan terima kasih setelahnya.

Piring masing-masing dari mereka sudah siap dengan nasi dan lauk, Bapak dan Bunda pun sudah mempersilakan Yara untuk mulai makan sedari tadi tetapi Yara justru memilih menunggu agar Bapak dan Bunda terlebih dulu yang menyantap makanannya. Setelah melihat seluruh anggota keluarga Bara menyantap makanan itu, barulah Yara mengikuti.

Bara menoleh ke arah Yara, “Ra-“ tegurnya yang lagi-lagi tangannya refleks menahan rambut perempuan itu yang hampir masuk ke dalam piring dan mengenai nasi, “Nggak bawa kunciran lagi?”

“Oh iya lupa nguncir. Bawa, bentar aku cuci tangan dulu,” ucap Yara mengingat tangannya yang sudah kotor.

“Nggak usah, di mana kuncirannya? Aku aja yang kuncirin, tangan aku masih bersih.”

Bara mengambil kunciran milik Yara di dalam tas dan membantu menguncir rambut perempuan itu. Namun jangan mengharapkan hasil yang rapih, tentu saja tidak.

“Ih Bap, Nda, liat anaknya romantis pisan. Pernah nggak ke Tetehnya begitu?” cibir Binar, Bapak dan Bunda hanya menggeleng sembari terkekeh melihat tingkah anak bujangnya.

“Sini atuh Teteh bibirnya yang aku kuncirin biar diem,” balas Bara. Tanpa Bara ketahui perempuan di sebelahnya sedang menahan malu.

’Bisa-bisanya Bara begini di depan Bapak sama Bundanya. Plastik mana plastik, gue mau menenggelamkan muka sekarang juga,’ batin Yara berteriak.


Acara makan malam pun telah selesai. Meja makan sudah rapih kembali, tidak ada lagi piring-piring kotor berserakkan dan sisa lauk tadi pun sudah dimasukan ke dalam kulkas oleh Bunda sebab masih bisa dimakan untuk esok hari, namanya juga Ibu-ibu.

Kini mereka sedang berbincang sambil menurunkan makanan yang baru saja masuk ke dalam perut, gelak tawa selalu tercipta ketika Bapak melontarkan lelucon. Ternyata yang diucapkan Bara benar, jika Bapak sangat random persis dengan Bara.

“Kemaren sore kan Bapak duduk di teras baca koran sambil minum kopi, terus tetangga sebelah itu Pak Firman baru pulang kerja dia lewat depan rumah naik motor. Kaget banget Bapak pas dia lewat,” cerita Bapak dengan suara yang terdengar sangat kental akan logat Jawanya dan semua orang sedang serius mendengarkannya.

“Kenapa emang?” tanya Bara.

Bapak pun melanjutkan ceritanya, “Mosok dia naik motor sambil ketawa-ketiwi, Bar, padahal nggak lagi bonceng siapa-siapa. Serem kan?”

Dengan wajah serius Bunda mulai terpancing mengikuti alur cerita Bapak, “Loh terus kenapa dia, Pak?” tanya Bunda penasaran. Berbeda dengan Bunda, Bara justru mulai mengetahui kemana arah cerita Bapak.

“Ya makanya itu, Nda. Karna penasaran, akhirnya Bapak mutusin buat ngecek. Bapak ngintip dulu tuh karna takut juga kan, pas diliat dia masih duduk di motor dan masih ketawa-ketawa sendiri,”

Bara mengusap wajahnya menahan tawa sambil menggelengkan kepala, ia benar-benar lelah ketika Bunda dan Binar yang selalu masuk perangkap cerita random Bapak, kali ini ditambah dengan Yara yang tidak kalah serius ketika mendengarnya.

“Akhirnya Bapak samperin buat nanya, eh tapi ternyata makin Bapak deketin Bapak jadi makin paham kenapa Pak Firman ketawa ketawa pas naik motor-“ Bapak menggantung ceritanya, Bara yang sudah tidak sanggup hanya bisa memejamkan matanya dan mengulum bibirnya rapat-rapat.

“Kenapa sih, Bap?” Binar penasaran.

Bapak akhirnya melanjutkan ceritanya lagi, “Karna Pak Firman duduk diatas joke.” Seketika suasana menjadi hening, Binar yang sudah lelah pun hanya menghela napas panjang, Bunda yang sedari tadi excited dengan cerita ini pun memasang wajah datar sembari menggelengkan kepala.

Sedangkan Yara, hanya dirinya yang kini tertawa terbahak-bahak mendengarnya walaupun sempat otaknya lama untuk memproses lelucon ini.

Di samping Yara, Bara menepuk paha perempuan itu, “Ra, nggak papa, nggak usah repot-repot ketawa kalo nggak lucu,” ucapnya.

“Lucu kok!” Yara mengatur napasnya sebelum menanggapi ucapan Bara.

“Maklumin ya, Ra. Namanya juga bapak-bapak.” Kali ini Binar yang menyahut.

Tapi disisi lain Bapak merasa senang ketika melihat reaksi Yara yang tertawa dengan cerita leluconnya, pasalnya sudah beberapa bulan terakhir ia tidak mendapatkan reaksi semacam itu. Bara dan Binar sudah terlalu lelah dengan lelucon Bapaknya sendiri.

Cara untuk memberhentikan kerandoman Bapak adalah makanan, Bara melirik sebuah paper bag yang masih tertutup rapih di atas meja makan, “Nda, Bap, cobain itu cookies yang Yara bikin.” Menunjuk ke arah paper bag itu, mereka yang berada di meja makan secara kompak menoleh mengikuti arah telunjuk Bara.

“Oh iya.” Bunda bangkit untuk membukanya, harum butter sangat tercium nikmat membuat siapa saja yang mengendusnya akan mengiri karena ingin menyicipinya.

Bunda membagikan masing-masing satu buah cookies, termasuk Yara. Mereka mulai menggigit cookies buatan Yara, sedangkan perempuan itu sedang harap-harap cemas memikirkan rasanya.

“Eum, enak neng,” puji Bunda.

“Enakkk!” Diikuti Binar.

“Enak, ini Yara bikin sendiri?” tanya Bapak.

Yara menghela napas lega, “Iya, Om,” jawabnya.

Bara menoleh dan tersenyum ke arah Yara seakan mengatakan ‘apa aku bilang, pasti enak’, Yara pun membalas senyum itu.

Malam ini ia merasa sangat bahagia dapat bertemu dengan keluarga Bara, merasakan hangat suasana rumah ini, mendengarkan Bara dan Binar yang sering kali beradu argumen, dan tentunya lelucon Bapak yang sangat-sangat ia nantikan. Semua itu sebenarnya juga bisa ia dapatkan di rumah tapi rasanya berbeda, seperti merasakan sesuatu yang baru dan Yara suka akan hal itu. Ia juga bisa melihat tingkah Bara saat berada dilingkup keluarga kecilnya, tidak henti-hentinya ia tersenyum.

Mungkin malam ini akan menjadi malam yang tidak akan pernah terlupakan untuk Yara.