Terima Kasih Sudah Mengusahakan yang Terbaik
442 words.
Setelah Hanif pergi menjauh dan seluruh orang membubarkan diri untuk melanjutkan aktifitas yang sempat tertunda karena sebuah drama.
Giska kembali terduduk dikursi.
Saat ini kata 'kalau' sedang memenuhi isi kepalanya.
Kalau saja dirinya bisa lebih perhatian pada Gilsa... Kalau saja dirinya bisa menurunkan egonya sebagai seorang Kakak... Kalau saja dirinya mendengar kata-kata Teh Gya... Kalau saja dirinya bisa lebih tegas pada Gilsa... Dan kalau saja bukan dirinya yang menjadi seorang Kakak untuk Gilsa...
Mungkin tidak akan separah ini.
“Gue nggak becus Bay jadi kakak.” Ditariknya napas dalam-dalam. Giska kini mengutuk dirinya sendiri.
Akbar termenung.
“Gis, salah satu kegagalan terbesar seorang kakak itu pasti ketika dia gagal menjaga adeknya dan melihat mereka sedih atau kecewa.” Akbar menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya dan mendongakkan kepala menatap langit-langit, memproyeksikan seakan ada Mas Malik di sana.
“Gue emang nggak punya adek. Tapi Gis, gue sadar akan hal ini setelah liat gimana usaha Kakak gue untuk ngembaliin jiwa gue yang mati setelah ditinggal bokap. Semua dia lakuin mulai dari nemenin gue duduk di balkon rumah sambil minum entah itu teh, kopi atau cuma air mineral kayak yang biasa gue lakuin sama bokap. Dan gimana usaha kakak gue untuk melakukan kegiatan yang berseberangan sama kepribadiannya.”
“Kakak gue itu bukan tipe orang yang suka merayakan. Dari dulu setiap bokap gue buat perayaan apapun, Kakak gue selalu ikut untuk sekedar formalitas. Setelah acara tiup lilin dan potong kue, dia selalu masuk lagi kedalam kamar.”
“Tapi di ulang tahun pertama gue tanpa bokap, kakak gue siapin segalanya untuk merayakan ulang tahun gue. Mulai dari kue, balon bentuk angka satu sama delapan, sampe usaha dia ngumpulin temen-temen gue di rumah.”
“Dari situ gue sadar kalo kakak gue lagi berusaha jadi kakak terbaik versinya dan memastikan agar gue nggak pernah merasa kehilangan semua kebiasaan gue sama bokap walaupun bokap udah nggak ada.” Akbar menarik napas dalam-dalam.
“Jadi, makasih ya Gis udah jadi kakak terbaik versi lo untuk Gilsa. Makasih udah selalu pasang badan dan mengusahakan segala hal untuk dia. Kalo tadi adek lo liat, dia pasti bakal kagum karna punya kakak yang keren.”
Tangis Giska seketika pecah, ia benamkan wajahnya pada kedua telapak tangan. Giska hanya tidak ingin kembali menjadi pusat perhatian, sampai-sampai ia menahan suara tangisnya agar orang lain tidak bisa mendengar.
“Nangis aja, Gis. Jangan ditahan,” ucap Akbar.
Laki-laki itu melepas jaket yang ia gunakan lalu melampirkan jaketnya di kepala Giska untuk menutupi wajah gadis itu.
“Udah nggak ada yang liat. Nangis aja,” bisiknya lagi.
Dan cara itu kembali berhasil membuat Giska membebaskan air matanya turun tanpa ampun.
Akbar hanya duduk di sebelah Giska, membiarkan Giska larut dalam kesedihannya. Kini, ia hanya perlu memastikan bahwa perempuan itu tidak sendirian.