imaginatiocn

Waktu berjalan semakin cepat, tidak terasa sudah mendekati tengah malam. Kini mereka semua berkumpul pada ruang karaoke yang terdapat di villa, mereka memilih untuk menghabiskan sisa waktu sebelum pergantian tahun untuk bernyanyi bersama mengingat energy mereka yang baru saja diisi dengan potongan-potongan daging sapi yang Nabil panggang.

Sore tadi sebenarnya mereka sudah tidak sabar untuk menyantap daging yang terlihat nikmat, alhasil mereka memutuskan untuk memanggang beberapa potong daging di sore hari dan menyisakan untuk acara barbecue pada malam hari.

Bara meraih remote karaoke untuk memilih lagu, laki-laki itu mengetik satu judul lagu yang sering ia nyanyikan bersama teman-teman di tempat nongkrongnya yang biasa disebut ‘babeh’.

“Udah gaya-gaya nyanyi pake mesin karaoke tetep aja anjing yang dinyanyiin mah Bunga,” celetuk Axel sambil mengunyah permen jelly berbentuk cacing.

“Ibadah Bunga heula atuh,” balas Bara lalu memberi mic lainnya ke Sena, “Yo! rapper Sena in da house,” lanjutnya dengan semangat.

Intro lagu tersebut mulai terdengar, Sena berdiri dari duduknya dan mulai bernyanyi layaknya seorang rapper diikuti dengan Bara, Nabil, Iyas, dan Abe yang tidak kalah heboh ikut bernyanyi di samping Sena. Sedangkan Axel masih asik dengan permen jellynya, kalau Yara dan Miel jangan ditanya, mereka tidak tahu lagu ini.

Kini mereka memasuki bagian chorus dari lagu tersebut, kali ini Bara yang mengambil alih mic.

“Seakan mataku tertutup, Ku ingin cinta ini dapat kau sambut, Harapkan perasaan ini kau tahu, Sungguh ku ingin kau jadi milikku.” Bara bernyanyi penuh dengan penghayatan sambil melambaikan tangannya ke atas.

Lirik kembali memasuki bagian rap, akhirnya Axel turut bernyanyi dan mengambil alih pada bagian rap ini hingga tiba-tiba Bara merebut mic dari genggaman Axel.

“Rasa ini fakta, selektif bukan posesif, Ku tak ingin berdusta, ku cinta kau Yara.” Laki-laki itu bernyanyi sambil menoleh ke arah Yara, ia mengganti satu kata pada lirik tersebut yang seharusnya ‘Bunga’ menjadi ‘Yara’, dengan spontan teman-temannya langsung menyorakinya.

“KAGAK JELAS EGE.”

“HADEH BUBAR.”

Sedangkan Yara hanya tertawa sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Bara.

Semakin malam, suara mereka semakin melemah karena lelah. Abe yang kini mengambil alih mic, masih dengan energy yang full ia kembali memilih lagu. Ia memilih lagu berjudul 50 tahun lagi dari Yuni Shara dan Raffi Ahmad.

“Ayo siapa yang mau jadi Raffi Ahmad, gue jadi Yuni Shara,” ucap Abe melihat satu persatu dari 5 laki-laki yang kini sudah duduk lemas.

“Anjing, Yuni Shara Raffi Ahmad nggak tuh.” Nabil tertawa melihat tingkah Abe.

“Be, udah anjir, udah pada capek ini,” pinta Sena yang melihat semangat Abe masih sama seperti awal mereka bertemu.

“Ih mana semangat tahun baru lo semua, loyo amat kayak pensil inul.”

Tiba-tiba Bara bangkit dari duduk dan mengambil gitar yang sedari tadi belum mereka sentuh, gitar itu milik Sena. Bara berjalan menghampiri Sena dan memberikan gitar itu.

“Sen, mainin chord itu,” perintah Bara pada Sena, sedangkan yang lainnya hanya diam memperhatikan Bara dengan bingung.

“Apaan?” Sena pun tidak kalah bingung.

“Itu loh anjir yang gue bikin pas di kos lo.” Bara membantu Sena untuk mengingat apa yang dirinya maksud. Sena pun ber-oh tanda mengerti.

“Be, udahan dulu karaokenya. Setengah jam lagi udah mau jam 12 juga,” ucap Bara lalu setelahnya Abe hanya mengikuti perintah Bara.

Sena masih mengatur tuner gitarnya sebelum mulai memainkannya. Bara bedeham untuk menetralkan suaranya sembari menunggu Sena yang masih sibuk, tidak lama Sena memberi kode jika ia dan gitarnya sudah siap.

Bara kembali berdeham, “Ra,” panggil Bara membuat Yara menoleh karena perempuan itu sedang asik melihat-lihat instastory, “Ini lagu buat kamu, aku tulis beberapa hari yang lalu dibantu Sena,” jelasnya dan membuat Yara menaikkan kedua alisnya serta membulatkan matanya kaget.

Sena mulai memetik senar gitarnya dan Bara mulai bernyanyi sesuai dengan nada.

“Akan aku jelaskan tentang perasaan ini Yang ku mau hanyalah dirimu Yang ku damba hanyalah dirimu Anganku ingin terus bersamamu Ragaku ingin tetap bersamamu Apa kau berfikir hal yang sama?” Ada jeda sebelum kembali melanjutkan nyanyiannya. Indahnya suara Bara membuat siapa saja akan merasa takjub pada laki-laki itu, ditambah lagi dengan alunan gitar Sena.

“Berharap pertemuan ini memang takdir kita Entah ujungnya akan terus berlayar atau tenggelam, namun Lagu ini ku persembahkan hanya untukmu.” Seperti itulah lagu ciptaannya berakhir, hanya dua bait tapi bagi Bara memiliki makna sangat besar.

Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar dari semua orang yang menyaksikan penampilan Bara. Iyas yang awalnya sedang duduk hingga bangkit berdiri sembari memberikan tepuk tangan.

“Nikah, nikah, nikah,” ucap Nabil menjadi provokator.

“Nggak gitu dong tolol,” balas Bara sembari menempeleng kepala Nabil yang berada disampingnya.

Di sisi lain sang puan—Yara tersenyum bahagia, tapi tanpa orang-orang tahu dibalik senyum bahagia Yara ia sedang susah payah menahan tangis. Perempuan itu merasa Bara telah memberikan banyak cinta dan rasa sayang terhadapnya, hal itu yang membuatnya merasa terharu. Yara terkadang terus bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia juga sudah memberikan cinta dan rasa sayang yang sepadan untuk Bara?


Suara kembang api sesekali mulai terdengar, padahal masih ada lima menit lagi untuk pergantian tahun dimulai. Bara, Yara dan teman-temannya kini sudah berada di luar villa untuk melihat kembang api yang akan menghiasi langit malam ini.

Masing-masing dari mereka memegang sebuah terompet yang dibeli ketika perjalanan menuju villa. Tak lama menit berubah dari 23:59 menjadi 00:00, suara terompet dan kembang api pun beradu. Langit yang semula gelap kini menjadi terang karena cahaya berwarna-warni yang dihasilkan dari bahan peledak itu.

Mereka terhanyut menikmati pertunjukkan kembang api gratis pada malam tahun baru ini, beberapa dari mereka mendokumentasikan momen yang hanya terjadi setahun sekali. Bahkan belum tentu mereka bisa mengulangnya di tahun depan, karena hidup dan keadaan seseorang dapat berubah setiap harinya seperti sebuah misteri.

Setelah kembang api mulai mereda, satu-persatu dari mereka kembali masuk ke dalam villa untuk istirahat.

“Gue duluan ya, ngantuk,” ucap Nabil yang akhirnya diikuti yang lainnya, kini hanya tersisa Bara dan Yara yang sedang duduk berdampingan pada sebuah kursi dipan kayu yang ada di teras villa.

Yara menoleh ke arah Bara, “Bar, makasih ya lagunya dan semuanya. Makasih udah mewarnai akhir tahun aku,” katanya bersamaan dengan senyum indah milik perempuan itu.

Bara mengangguk, “Nggak cuma kamu, aku juga mau bilang makasih. Itu lagu aku buat kebut, jelek nggak sih?”

“Jangan merendah untuk meroket! Bagus kok,” protes Yara dan laki-laki itu hanya terkekeh.

“Kamu belum mau tidur?” tanya Bara dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Yara.

“Masih mau ngobrol sama kamu,” ucap perempuan yang kini mulai menyenderkan kepalanya di bahu Bara.

Bara mengangguk mengerti, “Gimana kalo kita masuk ke sesi saling kasih pujian satu sama lain, mau nggak?”

Yara kembali menegakkan tubuhnya, “Gimana maksudnya?” tanyanya.

“Ya kita ganti-gantian aja ngasih pujian untuk mengakhiri tahun ini,” jelas Bara dan setelah mengerti Yara meng-ayo-kan ajakan Bara.

Kini mereka berdua duduk saling berhadap-hadapan, “Aku dulu ya?” tanya Bara, Yara hanya mengangguk,

“Ra, kamu tuh sadar nggak kalo cantik banget? With or without make up, long or short hair.”

Yara mengangguk setuju dengan pujian Bara, kini gilirannya, “Kamu juga, ganteng banget.”

“Aku suka lesung pipi kecil kamu di sebelah bibir dan mata indah kamu waktu natap aku,” puji Bara sembari meneliti setiap titik pada wajah kekasihnya.

Yara mengangguk lagi sambil menahan senyum, “Walaupun muka kamu tengil, tapi kamu manis kok kalo senyum.”

Bara mengerutkan keningnya setelah mendengar kalimat tadi, menurutnya itu sebuah pujian yang diawali dengan ledekan, “Suara kamu bagus, aku suka. Kalo bisa milih, aku nggak mau berhenti denger,” ungkap Bara.

“Suara kamu juga bagus.”

“Kamu baik dan selalu jadi yang terbaik.”

“Kamu selalu buat aku ngerasa aman dan nyaman.”

Bara tersenyum lembar mendengar pujian yang baru saja diucapkan Yara, setelah itu ia melanjutkan lagi, “Walaupun kamu kadang sulit buat nunjukkin rasa sayang kamu ke aku, tapi aku tau rasa sayang kamu itu besar, Ra.”

Yara terlihat sedang berfikir, apa lagi yang bisa ia ungkapkan saat ini, tak lama ia kembali membuka suara, “Bar, karna kamu, aku bisa ngerasain namanya jatuh cinta setiap harinya.”

Lagi-lagi Bara mengangguk, “Makasih ya, meski aku suka nyebelin, tapi kamu selalu ada di samping aku. Ini bukan pujian, tapi ungkapan makasih aja,” ungkap Bara karena sudah bingung apa lagi yang harus ia ucapkan.

Yara mengangguk, kini manik matanya mulai berkaca-kaca, sekuat tenaga dirinya menahan tangis. Perempuan itu menghela nafas sebelum kembali berbicara, “Yang harus kamu tau, satu dari sejuta yang aku mau cuma kamu, Bar.” Tidak bisa menahan terlalu lama, akhirnya pertahanan Yara runtuh. Air matanya perlahan turun.

“Udah ah, kan jadi nangis,” ucap Yara sembari menghapus air matanya yang sudah membasahi pipi. Bara yang melihat justru merasa gemas, ia tertawa dan langsung merengkuh tubuh yang ukurannya lebih kecil dari tubuhnya.

Yara melepas pelukannya, “Abis yang bagus-bagus, sekarang aku mau protes kebiasaan kamu yang jelek-jelek.”

“Emang ada?” tanya Bara dengan wajah polosnya.

“Emang lo Nabi sampe nggak ada jeleknya?” sinis Yara dan Bara tertawa terbahak-bahak.

“Nih buka telinga lebar-lebar ya.” Membantu membuka telinga Bara yang tertutup rambut milik laki-laki itu. “Kurangin duduk depan PC, kasian matanya. Jangan kebanyakan nunda tugas atau apapun itu. Kurangin rokoknya, tapi itu terserah sih balik lagi ke kamu.” Yara berbicara panjang lebar dan Bara hanya mengangguk-angguk mendengarnya.

“Oh iya! Jangan terlalu gemini deh,” canda perempuan itu diiringi dengan tawa setelahnya.

“Jangan terlalu gemini tuh gimana maksudnya?”

“Terlalu Impulsif.”

“Yaudah kalo gitu kamu juga jangan leo banget deh,” ucap Bara tidak mau kalah.

“Kenapa emang?”

“Terlalu menarik, nanti cowok lain ikutan tertarik. Bahaya,” jawab Bara.

Perempuan itu kini diam dan hanya tersenyum menatap Bara, sedangkan Bara terlihat bingung.

“Apa sih kok tiba-tiba diem?” tanya Bara. Perlahan Yara mendekatkan wajahnya dengan wajah Bara.

Cup

Lalu pada detik setelahnya terdengar suara kecupan, Yara mengecup sekilas bibir Bara. Sedangkan laki-laki itu masih diam mematung dan memproses tindakan Yara yang tiba-tiba.

“Apa nih tiba-tiba?” tanya Bara dengan ber-acting seolah-olah sedang malu.

“Kalo bukti harimau menandai wilayah milik mereka kan dengan menyemprotkan urine ya, kalo bukti menandai kamu milik aku ya pake cium. Jadi sekarang kamu terverifikasi punya Ayyara, perlu aku buatin sertifikat nggak?” jelas perempuan itu.

Lagi-lagi Bara merasa gemas, “Oh gitu, untung nggak ikutan menyemprotkan urine,” candanya, “Aku yang udah berusaha nahan, malah kamu yang mulai duluan. Ayo lagi?”

“NGGAK. JAUH-JAUH YA LO BARA SATYA. NGGAK ADA LAGI-LAGI.”

Bara tertawa puas melihat reaksi Yara yang berlebihan, ia dengan cepat memeluk perempuan itu. Mengunci tubuh Yara hingga tidak bisa berkutik, alhasil Yara hanya bisa membalas pelukan itu.

“Happy new year, Ra,” ucap Bara.

“Happy new year, Bar,” balas Yara.

Waktu terus berjalan, lembaran demi lembaran sudah terisi, coretan demi coretan sudah menghiasi tahun 2021. Coretan itu terkadang tak bermakna dan terkadang juga memiliki makna. Ada banyak hal yang sudah Bara lewati di tahun 2021, pahit dan manis kisahnya berhasil ia lalui.

Di tahun baru ini, Bara berharap dapat melukis kisah yang indah pada setiap lembarannya dengan Yara dan melupakan segala luka yang tercipta di tahun sebelumnya.

Panjang umur kebahagiaan.

Yara berlari ke pintu depan dengan semangat setelah mendengar suara motor yang berhenti di depan rumahnya, tanpa Bara memberi kabar pun ia sudah hapal suara Sharma.

“HAI!” sapa Yara sedikit berteriak membuat Bara terjangkit, baru saja laki-laki itu ingin mengetik pesan untuk memberi kabar jika dirinya sudah di depan, tetapi Yara sudah lebih dulu keluar.

Bara terkekeh melihat tingkah Yara, “Ssttt jangan teriak-teriak udah malem,” tegurnya mengingat sekarang sudah hampir pukul 9 malam, dengan refleks Yara menutup mulutnya dengan telapak tangan.

“Aku dari tadi nungguin,” keluh Yara sembari berjalan menghampiri Bara dan memberikan gesture ingin memeluk, sedangkan laki-laki itu justru berjalan mundur ketika Yara datang.

“Mau ngapain?” tanya Bara was-was.

“Peluk. Kenapa sih kok malah mundur-mundur? Ini aku bukan hantu.” Yara kesal lantaran Bara terlihat seperti ketakutan ketika ia menghampirinya.

“Nggak gitu sayangku, aku baru dari Babeh. Jangan peluk dulu, bau rokok banget.”

“Terus gimana? Jadi nggak boleh peluk?” tanya Yara, saat ini mereka berbincang dengan jarak kurang lebih 3 meter jauhnya. Rasanya seperti sudah lama tidak bertemu dengan Bara padahal tadi pagi seusai kelas mereka bertemu.

Bara mengambil kaos ganti dari dalam bagasi motornya, “Aku ganti baju dulu sama mau numpang keramas,” ucapnya.

“Prepare banget ya?” ledek Yara, “Yaudah ayo masuk.” Lalu setelahnya ia mengajak Bara untuk masuk ke dalam rumah.

Butuh waktu 10 menit untuk Bara mengganti pakaian dan keramas, laki-laki itu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang bertengger di atas rambutnya yang basah.

Bara berjalan menghampiri Yara yang sedang duduk di sofa ruang keluarga, ia berjalan seraya merentangkan tangannya lalu sesekali menepuk-nepuk bahunya sendiri tanda ingin dipeluk. Yara hanya diam memperhatikan tanpa memberikan respon.

“Kok diem aja sih? Katanya mau peluk?” Bara akhirnya ikut duduk di samping Yara.

“Udah nggak pengen.”

“Dih yang bener aja, udah wangi ini.”

“Aku sih curiga kamu emang belum mandi dari sore,” tuduh Yara.

“Sembarangan, mandi lah,” elak Bara, “Gini-gini aku masih waras, Ra, kalo soal kebersihan.”

Yara mengangguk, “Oke percaya.” Setelahnya Yara memeluk Bara yang berada di sampingnya, perempuan itu menempatkan kepalanya pada dada bidang milik Bara sedangkan tangannya memeluk pinggang Bara, tentu saja pelukan itu dibalas oleh sang tuan.

Yara sedikit mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arah Bara, “Gimana tadi? Udah selesai?”

“Dari dulu juga udah selesai, Ra,” jawabnya lalu Yara hanya berdeham sambil menganggukkan kepalanya tanda mengerti, ia tidak ingin bertanya terlalu jauh.

“Bara, hari ini kamu keren. Besok lebih keren lagi ya.” Hanya itu yang bisa diucapkan Yara.

Bara memejamkan matanya, diam dalam pelukan mereka. Ia diam cukup lama, pikirannya terasa sangat lelah sejak siang tadi. Ingatan-ingatan perihal 10 bulan lalu memaksa untuk hadir kembali.

Flashback ON

11 Maret 2021

Malam ini Bara berjanji akan menjemput Ryuka yang sedang berkumpul dengan teman-temannya, sebelumnya perempuan itu sudah memberi tahu pukul berapa Bara harus menjemput karena dikhawatirkan ponselnya mendadak mati—kehabisan battery.

Bara adalah tipe orang yang akan berangkat lebih awal dari waktu yang dijanjikan, maka dari itu ia jarang sekali terlambat setiap memiliki janji dengan siapapun. Dalam perjalanan, Bara merasakan motornya terasa lebih berat ketika di gas, lajunya pun semakin melambat. Ia menepi untuk mengecek roda motornya, sesuai dengan dugaannya, ban motor itu kempes membuat Bara terpaksa harus mencari tambal ban sepanjang jalan.

Ia mengendarai secara perlahan hingga akhirnya bertemu dengan tukang tambal ban, “Pak, punten coba tolong cek itu kempes atau bocor ya?” tanya Bara menunjuk pada ban belakang motornya.

”Bocor a’ ini mah,” ucap tukang tambal ban setelah mengeceknya.

“Waduh.” Bara melihat jam pada pergelangan tangannya, tersisa hanya 10 menit dari waktu yang ditentukan Ryuka.

“Cepet nggak pak?” tanya Bara.

“Cepet sih a’ InsyaAllah.”

“Yaudah pak, tolong ya.”

Bara pun memberi kabar pada Ryuka tapi pesannya hanya mendapatkan centang satu yang artinya pesan itu belum terkirim, hal ini biasanya terjadi lantaran ponsel orang yang menerima pesan sedang mati atau tidak ada sinyal. Alhasil Bara menghubungi teman Ryuka, pesan terkirim tetapi tidak ada balasan sampai ban motornya sudah selesai diperbaiki.

“Makasih, Pak,” ucap Bara setelah menerima uang kembalian.

Ia kembali melanjutkan perjalanannya ke salah satu cafe tempat Ryuka dan teman-temannya berada, sesampainya di sana Bara langsung menghampiri Ryuka.

“Ryu, maaf ban motor aku tadi bocor.” Bara melihat raut wajah Ryuka yang terlihat sedang kesal dan matanya menyalang menatap Bara.

Ryuka berdiri dari duduknya, “Abis dari mana kok telat jemput?” tanya Ryuka dengan nada judes.

“Barusan ban aku bocor.”

Ryuka berdecih, “Ban bocor apa nganterin cewek dulu?”

“Hah? Apaan sih kenapa jadi nganterin cewek?” Bara terlihat bingung, ia tidak mengerti kemana arah bicara Ryuka.

“Nggak mau ngaku? Kalo nggak mau biar aku yang bongkar,” ucap perempuan itu dengan nada mengancam dan lagi-lagi matanya yang menyalang ke arah Bara.

Bara masih tidak mengerti, “Yaudah ayo ngobrol berdua jangan di sini, Ryu,” ajak Bara berniat untuk menjauh dari keramaian.

“Di sini aja. Kenapa? Kamu malu ketauan jalan sama cewek lain?” Ryuka meninggikan nada bicaranya, mungkin kali ini beberapa pengunjung cafe bisa mendengar perdebatan mereka, “Kamu ngelakuin itu aja nggak malu, masa aku giniin aja langsung jiper.”

“Siapa yang jalan sama cewek sih? Kamu tenang dulu bisa nggak? Ngomong baik-baik jangan pake emosi.” Bara masih berusaha berbicara dengan tenang. Sedangkan teman-teman Ryuka justru hanya diam menonton perdebatan mereka di kursi masing-masing, tidak ada yang berniat memisahkan.

“Ya mana ada maling ngaku.”

“Dapet informasi dari mana aku jalan sama cewek? Apa buktinya?” Kali ini Bara yang bertanya.

“Fiya sama Dea liat sendiri kamu pergi ke punclut sama cewek,” teriak Ryuka yang otomatis keberadaan mereka berdua menjadi pusat perhatian.

Bara memegang kepalanya yang terasa pusing karena menahan emosi, lalu matanya menangkap sosok Fiya yang sedang duduk santai sambil menyeruput kopi di depannya, mata Fiya seolah berkata ‘Gue liat, mau alasan apa lagi lo’.

“Itu Cella pacarnya Rizky, Ryu, kan waktu itu aku juga udah izin mau ke punclut sama anak-anak, pas perjalanan ternyata motor Rizky bermasalah. Dia minta tolong anak-anak buat bawa pacarnya duluan ke punclut, kebetulan aku yang masih di bawah. Ya masa aku tolak sih? Toh di punclutnya juga ramean, anak-anak lainnya udah duluan pada di sana,” jelas Bara dengan tenang.

Mata Bara kembali melihat ke arah Fiya, “Fiya yang lo liat sejauh apa? Jelas-jelas di meja itu nggak cuma gue sama Cel-” Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Ryuka terlebih dahulu memotong pembicaraannya seolah tidak memberi kesempatan untuk Fiya menjawab dan Bara menjelaskan.

Karena nyatanya, Fiya dan Dea hanya melihat Bara dengan perempuan hanya sekilas saat di parkiran. Saat itu Bara baru saja sampai sedangkan Fiya dan Dea berada di dalam mobil hendak pergi dari area parkir punclut.

“Tapi emang kamu bilang mau bonceng cewek?”

“Itu kan juga ngedadak, Ryu, aku bisa telfon Rizky atau anak-anak yang kemaren ikut ke punclut buat buktiin.” Bara merogoh saku hoodienya untuk mengambil ponsel.

Belum sempat mengeluarkan ponselnya, lebih dulu Ryuka membuka suara, “Itu temen-temen kamu, gimana aku bisa percaya? Bisa aja kalian udah saling kerjasama. Cewek itu pacar Rizky bisa aja cuma alibi kamu sama temen-temen, who knows? Selingkuh itu penyakit asal kamu tau aja, penyakit yang nggak ada obatnya.”

“Seenggaknya kamu dengerin cerita dari versi aku dulu bukan cuma dari versi temen-temen kamu, aku yakin mere-“ Lagi-lagi ucapan Bara dipotong oleh Ryuka, perempuan itu benar-benar tidak memberikan kesempatan untuk Bara menjelaskan.

“Jelas aku lebih percaya temen aku! Kamu kalo emang brengsek ya brengsek aja, nggak usah cari pembelaan!” Bara terjangkit, Ryuka kembali berbicara dengan nada tinggi. Bara tahu perempuan ini memang seseorang yang tempramental dan Bara selalu mencoba untuk menenangkannya walaupun ia tahu jika dirinya pasti kalah.

Saat ini, Bara merasa tidak dihargai sama sekali. Laki-laki itu berfikir seharusnya Ryuka tidak semarah ini dan lebih bisa mengontrol emosinya mengingat mereka sedang berada di tempat umum, di mana akan mengganggu pengunjung lainnya.

“Kita putus aja, jangan pernah muncul dihadapan aku lagi,” ucap Ryuka setelah itu mengambil tasnya yang ada di atas meja lalu mengajak teman-temannya untuk pergi dari cafe ini.

Bara mengacak rambutnya frustasi. Laki-laki itu tidak berniat untuk menyusul Ryuka yang sudah jalan menjauh, ia terlanjur sakit hati dengan ucapan-ucapan Ryuka. Bukankah dalam sebuah hubungan saling memberi kepercayaan penuh itu penting? Kalau pun tidak percaya, setidaknya mendengarkan penjelasan satu sama lain terlebih dulu.

Biasanya mau bagaimana pun tempramentalnya Ryuka, Bara masih selalu bisa memaklumi. Tapi kali ini ia berfikir cukup untuk terus memaklumi sifat itu berulang kali. Ketika dirinya memiliki alasan logis untuk masalah ini, justru Ryuka malah seperti ‘kesetanan’. Brengsek katanya? Bahkan tidak sedikit pun perempuan itu memberi kesempatan untuknya berbicara.

Fiya jalan melenggang melewati Bara, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti untuk kembali menoleh ke arah Bara, “Cowok itu kalo nggak brengsek ya homo. Dari pada lo jadi brengsek nyakitin temen gue, mending lo jadi homo aja, Bar,” ucap Fiya dengan nada meremehkan lalu kembali melenggang jalan meninggalkan Bara yang sedang mengepalkan tangannya dengan kuat untuk menahan emosi.

Kalimat itu yang sampai sekarang jika diingat kembali membuat hati Bara sakit, rasanya ia tidak memiliki harga diri lagi.

Flashback OFF

Yara kembali mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arah Bara, pasalnya sudah hampir 10 menit mereka berpelukan tetapi Bara malah diam tidak bersuara. Menurut Yara sangat aneh jika Bara hanya diam.

“Bar, kamu tidur?” tanya Yara dengan suara pelan.

“Nggak,” jawab Bara lalu membuka matanya.

“Kirain tidur, abisnya diem aja. Nyanyi aja yuk?” ajak Yara lalu bangkit dari duduknya untuk mengambil gitar.

“Nyanyi di sana.” Yara menunjuk ke arah halaman belakang rumahnya, di sana terdapat kursi taman dan Bara hanya mengikuti Yara berjalan mengekorinya.

Keduanya sudah duduk di kursi, langit malam ini cerah. Terlihat dari bintang yang menghiasinya, biasanya jika langit mendung bintang tidak akan menampakkan diri.

Yara memeluk gitar, sebelum memainkannya perempuan itu mengatur tuner agar mendapatkan nada yang sesuai.

“Emang bisa?” ledek Bara.

“Bisa lah!”

Yara mulai dengan kunci C lalu Am setelahnya Dm dan terakhir G, kunci tersebut dilakukan berulang kali.

“This song for you, Bara Satya Wirandoko.” Setelah intro selesai, Yara mulai bernyanyi.

”On the night like this There's so many things I want to tell you On the night like this There's so many things I want to show you 'Cause when you're around I feel safe and warm 'Cause when you're around I can fall in love every day In the case like this There are a thousand good reasons I want you to stay...” Lagu pun selesai dan Yara tersenyum malu karena Bara yang melihatnya tanpa berkedip sedikit pun.

“Kedip kek,” ucap Yara sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Bara.

“Sayang kalo aku lewatin satu detik,” goda Bara, “Ra, makasih ya,” lanjutnya.

Setelahnya mereka saling membalas senyum, Yara pun mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di pundak Bara. Mereka menikmati malam ini sebagaimana mestinya, kehangatan mengelilingi mereka bahkan udara dingin kota Bandung tidak terlalu terasa saat ini.

“Ra, kamu liat bintang yang itu nggak?” Bara menunjuk ke arah bintang yang terlihat paling terang diantara bintang lainnya.

Manik mata Yara mengikuti arah telunjuk Bara, “Yang mana?” tanyanya karena belum menemukan bintang yang Bara maksud.

“Itu loh, yang paling terang.”

“Itu?” Yara kembali bertanya sembari ikut menunjuk.

“Iya.”

“Liat, kenapa?”

“Nggak papa sih, pengelihatan kamu masih bagus berarti.”

Yara menarik napas lalu menghembuskannya, “Sumpah ya, gue kira lo bakal gombal atau semacamnya.” Bara menggelengkan kepala, mereka pun tertawa setelahnya.

Tidak mau kalah, Yara juga bertanya, “Bar, kamu liat bulan itu nggak?” ia menunjuk ke arah langit sebelah kiri.

“Apaan orang bulan ada di sebelah sana.” Sedangkan Bara menunjuk ke arah kanan dimana letak bulan sebenarnya.

“Emang, berarti konsentrasi kamu bagus.” Bara mengacak-acak rambut Yara, lalu mereka tertawa kembali. Percakapan tidak jelas seperti ini selalu terjadi ketika mereka berdua kehabisan topik untuk berbincang. Tetapi menurut Yara, percakapan seperti inilah yang dirinya sukai membuat mereka berdua bisa lebih dekat satu sama lain.

“Stress.” Tiba-tiba terdengar suara dari atas balkon yang ada di belakang mereka berdua. Sontak keduanya menoleh ke sumber suara, terlihat Pram berdiri di sana dengan kaos berwarna hitam dan celana tidur panjang motif kotak-kotak.

“Bubar, bubar, udah malem sebelum lo berdua gue siram air dari atas sini,” perintah Pram karena jam sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam.

“Yaelah jomblo ganggu aja,” protes Bara.

Tidak pernah terbayangkan oleh Bara untuk dirinya kembali menapakkan kaki di rumah ini. Rumah dengan nuansa putih dan minimalis jika dipandang dari depan. Dulu—beberapa bulan yang lalu, sudah menjadi rutinitasnya berkunjung ke rumah ini, apa lagi pada malam minggu.

Bara meraih ponselnya untuk memberi kabar jika dirinya sudah sampai pada Ryuka. Ia membuka helm dan menyibakkan rambutnya yang berantakan sembari berdiri di depan pagar rumah tersebut, tidak berniat untuk langsung masuk seperti yang biasa ia lakukan dulu.

Tak perlu menunggu lama, perempuan dengan model rambut sebahu dan paras yang cantik tanpa riasan keluar dari balik pintu. Perempuan itu berjalan untuk membukakan pagar.

“Kenapa nggak langsung masuk? Biasanya juga gitu,” ucapnya ketika menampakkan diri dihadapan Bara.

“Mana mami?” Bara tidak menanggapi ucapan perempuan itu dan malah bertanya keberadaan Mami.

Tidak ada yang berubah, tetap cantik seperti 10 bulan yang lalu. Bara tidak munafik, bagaimana pun keadaannya sekarang, tetap saja Ryuka pernah menjadi salah satu orang paling spesial di hidupnya sebelum akhirnya menjadi salah satu orang yang paling ingin ia hapus dalam hidupnya.

“Di dalem. Motornya nggak mau dimasukkin dulu?” tanya Ryuka.

“Nggak usah, lagian cuma sebentar.”

Ryuka menghela nafas. Ia paham jika Bara tidak ingin berlama-lama di sini, tujuannya ke sini hanya untuk menjenguk Mami dan memberi tahu tentang hubungan mereka yang sudah putus sejak 10 bulan yang lalu pada Mami, tidak lebih.

Mereka pun berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Dalam genggaman tangan Bara terdapat satu kantong plastik isi dua kotak pisang bolen dari toko kue kesukaan Mami, Bara masih ingat itu.

Ryuka membawa Bara masuk hingga ke kamar Maminya berada. Perempuan itu berhenti sebelum membuka pintu dan menoleh ke arah Bara.

“Bar, aku mohon jangan bahas itu ya. Biar aku aja yang jelasin ke Mami, aku janji,” pinta Ryuka dengan wajah memohon.

Bara hanya menaikkan kedua alisnya, “Kenapa? 10 bulan bukan waktu yang sebentar, lo udah nutupin selama itu apa nggak lebih kasian sama Mami?” kesalnya tetapi masih dengan nada yang tenang.

“Aku udah janji kan? Bisa nggak percaya aja?!” Nada bicara Ryuka sedikit meninggi.

Bara tahu memang perempuan itu memiliki sifat jelek yaitu sulit untuk mengontrol emosinya. Tidak berniat untuk berdebat, alhasil ia hanya berdeham diikuti dengan anggukan kepala.

Akhirnya Ryuka membuka pintu kamar Mami, terlihat wanita paruh baya yang sedang duduk menyandar pada kepala kasur dengan mata yang tertuju pada layar televisi di depan ranjangnya.

“Mi, ini ada Bara,” ucap Ryuka sembari menunjuk kearah Bara yang masih berdiri diambang pintu.

“Masuk aja, Bar.” Ryuka menarik lengan Bara agar segera masuk.

Bara memberikan senyumnya tepat setelah melihat Mami, tidak lupa ia juga menyalaminya dengan sopan dan terlihat Mami juga tersenyum bahagia ketika melihat Bara. Diusapnya rambut Bara dengan lembut.

“Apa kabar, Mi?” tanya Bara.

“Ya begini aja, Bar. Kamu gimana? Udah kuliah makin sibuk ya?” tanya Mami sembari mengelus pundak Bara dan masih menatap laki-laki itu dengan wajah bahagianya, benar jika beliau memang merindukan Bara.

“Iya, Mi, tadi aja baru selesai rapat abis itu langsung ke sini,” jelas Bara.

Ryuka yang berdiri di belakang Bara hanya diam menatap punggung laki-laki itu. Sudah lama ia merindukan segala tentang Bara, ia ingin kembali pada masa-masa mereka masih bersama.

“Ryu,” panggil Mami.

“Ryuuu,” panggilan kedua.

“Ryuka,” panggilan ketiga yang akhirnya menyadarkan perempuan itu.

“Iya kenapa, Mi?” jawab Ryuka dengan linglung.

“Nggak siapin minum ini Baranya? Sama itu, Ryu, tarikin kursi rias ke sini biar Bara bisa duduk.”

“Oh iya, sebentar.” Ryuka bergegas mengambil kursi pada meja rias.

“Nggak papa, biar gue aja.” Bara menahannya, ia pun mengangkat kursi itu dan menaruhnya di sebelah sisi kanan kasur Mami untuk dirinya duduki.

Ryuka pun akhirnya melenggang keluar kamar untuk menyuguhkan minuman.

“Kalian dekat lagi ya?” Pertanyaan yang berhasil membuat Bara bingung.

“Deket lagi gimana Mi maksudnya?” tanya Bara.

“Ya Mami heran aja, kalian udah nggak sama-sama hampir setahun kok tiba-tiba Ryuka kasih kabar kalo kamu mau ke rumah ketemu Mami,” jelas perempuan paruh baya itu.

Bara terdiam, memproses setiap kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya, “Mami udah tau?” tanya Bara lagi.

“Tau apa, Bar?”

“Tau kalo Bara sama Ryuka udah putus.”

“Tau atuh, itu kan udah hampir setahun Bar. Ryuka sendiri yang bilang dulu waktu jaman dia setiap malem nangis.”

Bara tergelak setelah mendengarnya, bukankah artinya kemarin perempuan itu berbohong jika Mami belum mengetahui hubungan mereka yang sudah tidak bersama lagi. Ia menghela nafas berat.

Tidak lama Ryuka kembali dengan membawa nampan dengan gelas berisi minuman berwarna oranye, ia menaruh gelas tersebut di atas nakas tepat sebelah tubuh Bara.

Percakapan antara Bara dan Mami tadi terpaksa berhenti sejak Ryuka kembali bergabung dengan keduanya. Saat ini mereka bertiga sedang berbincang, membicarakan penyakit yang Mami derita hingga kesibukan satu sama lain.

Sudah hampir satu jam Bara berada di sana, akhirnya ia memutuskan untuk pamit karena tidak enak jika berlama-lama di sini. Setelah pamit, laki-laki itu bergegas keluar dari rumah ini, tetapi Ryuka lebih dulu menghadangnya dengan berdiri tepat dihadapannya.

“Bar, sebentar. Kamu buru-buru banget? Aku bahkan belum sempet ngobrol sama kamu,” ucap Ryuka.

Bara memutar kedua bola matanya, “Iya buru-buru, mau jemput cewe gue.” Tentu saja ini hanya sebuah alasan.

“Emang dia nggak bisa pulang sendiri? Kamu lagi ketemu aku. Apa cewe kamu tipe yang suka ngelarang ini itu?” Terdengar nada yang menyebalkan.

Bara tertawa mendengarnya, “Bisa, cuma emang gue nggak mau ngobrol sama lo aja. Nggak, dia sangat amat memberi ruang bebas buat gue dan setidaknya dia percaya sama gue. Hal terpenting suatu hubungan itu kepercayaan kan?” sindir Bara.

“Bar, kamu masih marah ya sama aku? Ayo kita selesaiin masalah 10 bulan yang lalu hari ini,” kata Ryuka, kali ini terdengar seperti nada penuh penyesalan.

Bara hanya terdiam, “Aku minta maaf,” sesal Ryuka, ia menunduk tidak mampu menatap wajah Bara yang semakin dingin.

Setelah mendengar kalimat tadi lantas Bara mengepalkan tangan hingga kuku-kukunya berubah warna menjadi putih, ia sedang menahan amarahnya yang mungkin bisa meledak kapan saja.

Sebelum berbicara Bara menetralkan deru nafasnya terlebih dulu, “Lo emang butuh 10 bulan dulu buat ilangin gengsi?” sindirnya lagi, mengingat masalah ini sudah 10 bulan lamanya.

“Aku ngaku salah, Bar.”

“Nggak sekalian ngaku kalo sebenernya lo udah bohongin gue soal Mami yang belum tau hubungan kita udah putus?” cecar Bara.

Ryuka mengangkat kembali kepalanya untuk menatap Bara, mata perempuan itu membulat sempurna ketika mendengar kalimat yang baru saja terucap dari mulut laki-laki di hadapannya. Dari mana dia tahu?

“Lo bingung gue tau dari mana? Mami sendiri yang bilang tadi,” ucap Bara lagi ketika melihat Ryuka yang sedang menampilkan wajah terkejutnya.

Ia kira Mami tidak akan mengungkit hubungan mereka berdua, ia kira Mami tidak akan mengatakan apa-apa, ia kira akan aman jika memakai alasan ini untuk bertemu Bara lagi. Ternyata ia salah.

“Bar, aku minta maaf. Aku lakuin ini karna emang nggak tau harus gimana lagi supaya bisa ketemu kamu dan selesaiin masalah kita.” Ryuka berusaha menjelaskan dan berharap Bara bisa menerima penjelasannya.

“Bukannya emang udah selesai?”

Tanpa ada kata selesai pun Bara sudah menganggap hubungan dan masalah ini telah selesai. Sudah tidak ada yang bisa diperbaiki, hatinya terlanjur terluka atas sikap Ryuka pada saat itu dan sebuah kalimat yang behasil meruntuhkan segala perasaannya terhadap perempuan yang dulu masih menjadi kekasihnya.

“Aku tau, kamu masih sayang kan sama aku?” tanya Ryuka dengan wajah datarnya.

“Wah.” Lagi-lagi Bara dibuat tertawa oleh Ryuka, bagaimana bisa perempuan itu berpikir begitu, “Setelah kalimat waktu itu keluar dari mulut lo, rasa sayang gue langsung berubah jadi kecewa.”

Ada jeda sebelum akhirnya Bara melanjutkan kalimatnya, “Jadi, buang pikiran kalo gue masih sayang sama lo, Ryuka.”

Dari awal Ryuka hanya berusaha terlihat tegar, ia menahan tangisnya sedari awal mereka bertemu bahkan saat Bara bertemu Mami. Tapi kali ini, setelah mendengar kalimat tadi membuat pertahanannya runtuh. Kini air matanya turun membasahi pipi, ia kembali menunduk.

“Berhenti ya. Lo yang memutuskan sendiri kita pisah 10 bulan lalu dan lo juga yang tiba-tiba dateng lagi buat perbaiki semuanya, sekarang tuh udah terlambat. Coba lo dulu dengerin penjelasan gue, coba lo dulu lebih percaya gue dibanding temen-temen lo, coba lo nggak gegabah buat ambil keputusan. Mungkin endingnya nggak akan kayak gini.” Bara berusaha berbicara dengan tenang.

“Tapi, nggak ada penyesalan sama sekali untuk gue setelah pisah sama lo. Gue pikir this is the best choices, hubungan lo sama gue dulu bisa dibilang toxic. Gimana gue yang terlalu sayang sama lo sampe gue rela nerima sifat lo yang tempramental, gue yang gampang cemburu kalo liat lo sama temen-temen cowo lo dan sebaliknya, lo yang membatasi pergerakan gue, mulai berantem setiap hari bahkan gara-gara hal kecil dan banyak lagi. Jadi cukup Ryu, kita udah selesai.”

“Gue udah ketemu sama kebahagiaan gue yang baru. Lo juga harus, karna masih banyak kebahagiaan yang nunggu lo di depan sana. Dari dulu pun gue udah maafin lo, Ryu, tapi sulit buat nerima lo lagi di sekitar gue, kenangan dulu masih membekas banget di otak gue. Bukan cuma itu, rasa bersalah gue juga selalu hadir tiap liat lo lagi.”

“Bar...” lirih Ryuka, “Aku nyesel, sampe sekarang pun aku susah buat buka hati untuk orang lain, aku ternyata masih sayang sama kamu,” lanjutnya dengan nada yang terbata-bata karena sulit berbicara ketika sedang menangis.

“Sorry.” Hanya satu kata itu yang bisa Bara ucapkan, setelahnya yang terdengar hanya suara tangis dari bibir Ryuka.

Bara menghela napas berat sebelum kembali membuka suara, “Gue harap penyesalan lo cepet berakhir, karna selanjutnya lo harus bangun, cari seseorang yang nggak akan pernah buat lo merasa menyesal sampe akhir nanti.”

“Udah ya gue pamit.” Bara berjalan empat langkah melewati Ryuka yang masih berdiri dengan tangisnya.

Tiba-tiba Bara berhenti ingat akan sesuatu, “Oh iya, bilangin ke temen-temen lo buat stop terror cewe gue lewat DM Twitter dan ganggu hubungan gue sama dia.” Setelah itu Bara kembali berjalan keluar rumah dan pergi meninggalkan tempat ini.

Ryuka kini terjatuh ke lantai, ia menangis sejadi-jadinya hingga dadanya terasa sesak. Rasa sesal di dalam hatinya menyeruak ketika mendengar seluruh ucapan Bara, ia merutuki kebodohannya selama ini. Tetapi semesta tidak peduli seberapa besar penyesalannya, karena pada kenyataanya tak akan ada yang bisa mengembalikan waktu termasuk semesta.

Perempuan itu menyesal tidak menggunakan waktu sebaik mungkin saat dirinya masih bersama Bara. Kini, setelah Bara telah pergi, laki-laki itu membawa mati setengah hati miliknya.

Lalu, bagaimana caranya untuk bangkit dari kenyataan pahit ini?

Tidak ada perbincangan kurang lebih selama 15 menit lamanya semenjak Yara masuk ke dalam mobil yang Bara kendarai. Diantara mereka, belum ada yang berniat untuk membuka suara. Bara hanya fokus pada jalan raya, memastikan ia berkendara dengan aman. Sedangkan Yara hanya menunduk memainkan tali tasnya dan membiarkan sel otaknya bekerja untuk mengambil sebuah keputusan, haruskah dirinya yang membuka suara terlebih dahulu?

Melalui pesan singkat, mereka berdua sepakat untuk kembali berbaikan. Kalau dihitung, mungkin sudah hampir sehari Bara tidak menanggapi pesan singkat Yara. Ia merasa kecewa dengan keputusan Yara yang merubah penampilannya hanya demi Bara. Yang ada dipikiran Bara saat itu adalah sudah tahu perempuan itu tidak menyukai penampilan dengan model rambut pendek tapi kenapa tetap dilakukan. Bukankah ada baiknya terlebih dulu menyukai diri sendiri, sebelum disukai oleh orang lain?

Yara mengangkat kepalanya ketika mobil berhenti, dilihatnya lampu rambu lalu lintas kini berwarna merah. Ia memutuskan untuk menoleh ke arah Bara, “Maaf ya?” lirihnya pelan sembari memegang lengan kiri Bara yang menggantung karena sedang memegang kemudi.

Bara menoleh ke sumber suara, dilihatnya raut wajah memohon kekasihnya. Bara tidak bisa menyembunyikan senyumnya, ia harus mengakui kekalahannya saat ini, nyatanya ia tidak sanggup berlama-lama mendiami Yara. “Tapi diulangin lagi, nggak?” Tangan kanannya memegang tangan Yara yang masih bertengger di lengan kirinya.

Yara menggeleng dengan cepat, “Nggak, janji.” Ia mengangkat jari kelingkingnya tanda berjanji.

Bara pun ikut mengangkat jari kelingkingnya untuk mengaitkannya pada kelingking Yara. “Udah janji loh ya ini? Kalo diulang enaknya diapain?”

“Pukul,” jawab Yara.

Bara mengacak rambut Yara hingga berantakan dan menutupi sebagian wajah perempuan itu, “Ya kali, ngaco nih mulutnya,” protes Bara ketika mendapat jawaban dari Yara.

“Yaudah diemin lagi aja sampe kangen lagi kayak gini,” goda Yara kemudian melirik ke arah Bara, setelahnya ia membuka kaca pada sun visor untuk membenahi rambutnya yang berantakan.

Bara kembali melajukkan mobilnya. “Siapa juga yang kangen?” Ia mengelak.

“Elu lah, alesannya mau jemput Teh Binar,” ledek Yara.

“Ya emang mau jemput Teh Binar, tapi kan ternyata dia malah dijemput gebetannya.” Bara masih mengelak, gengsi katanya.

“Iye dah boss,” ucap Yara pasrah dan Bara hanya terkekeh.

“Jadi, kemaren tuh kamu kenapa?” Akhirnya laki-laki itu mulai membuka topik utama.

Perjalanan mereka kali ini tidak ada tujuan, Bara hanya berniat berkeliling Kota Bandung sambil berbincang satu sama lain untuk meluruskan dan menyelesaikan masalah yang baru saja mereka alami. Dari jalan Braga hingga jalan Cipaganti mereka lalui, ditemani dengan teriknya lampu kota dan keramaian jalan raya, Yara berharap dapat menjelaskan semuanya dengan jujur.

Yara menghela nafas sebelum menjawab, “Nggak tau aku juga, mungkin aku takut kehilangan kamu.” Yara menyadari kalimatnya barusan terdengar sangat berlebihan, setelahnya ia menimpali ucapannya lagi sebelum Bara yang menimpalinya, “Hahaha, aduh lebay ya.”

Mendengar itu Bara terbahak, “Kalo kehilangan mah lapor polisi aja,” candanya.

“Kelamaan, harus nunggu 1x24 jam dulu,” balas Yara, “Serius ih! Tapi beneran, setelah semaleman aku merenung di teras sambil menyeruput kopi pahit-“

Bara memotong ucapan Yara, “Sejak kapan suka kopi?”

Yara menarik nafas dalam-dalam dan menghebuskannya dengan kasar, “Biar lebih dramatis aja kenapa sih? Mau dilanjut nggak?” tanya Yara kesal lalu Bara mengangguk kembali mempersilakan perempuan itu melanjutkan penjelasannya.

“Kayaknya- eh bukan kayaknya lagi sih, emang alasan aku ngelakuin itu semua cuma takut kamu pergi ninggalin aku karna ngelirik cewe lain yang lebih sesuai sama tipe ideal kamu.”

Laki-laki yang masih terfokus pada jalan raya itu tiba-tiba memukul kemudi membuat Yara tergelak, Bara tersenyum dengan lebar dan memperlihatkan deretan gigi rapinya, “ANJINGGGG! GEMES BANGET SIH,” teriaknya lalu menoleh ke arah Yara untuk meraih kedua pipi Yara dengan tangan kirinya dan memainkan pipi perempuan itu dengan gemas, sedangkan satu tangannya masih sibuk dengan kemudi.

“Sakit!” protes Yara, ia menarik wajahnya menjauh dari tangan Bara.

“Ya lagian, jangan lucu lucu lah!” Bara tidak mau kalah untuk memprotes.

“Gemes sih gemes, tapi nggak usah nyiksa. KDRT ini namanya,” gerutu Yara.

“Ra,” panggil Bara dan Yara menoleh.

“Hm?”

“Dengerin aku ya,” perintah Bara yang hanya dibalas anggukan kepala dari Yara.

“Aku nggak perlu punya atau cari-cari pasangan yang ideal sesuai sama kriteria. Aku malah sangat amat mensyukuri hubungan yang lagi aku jalanin sekarang sama kamu,” jelas Bara membuat perempuan disampingnya tiba-tiba menangis.

“Heh kok malah nangis?” Bara panik, dengan cepat ia mengambil dua lembar tissue dan memberikannya pada Yara yang sudah menangis tersedu-sedu.

Yara menerima tissue tersebut dan mengelap air yang keluar dari matanya tanpa henti, “Terharu tau. Aku kayak udah ngeraguin kamu kemaren-kemaren,” jawabnya dengan nada yang terbata-bata.

Bara terkekeh, “Nih ya, Ra. Mau berjajar 100 cewe rambut pendek di depan, aku nggak peduli. Orang maunya cuma sama kamu, gimana?”

“Yakin? Kalo salah satunya ada Pevita Pearce gimana?”

“Ya...itu bisa dibicarakan baik-baik.”

“Emang dasar,” cibir Yara membuat air matanya berhenti turun.

Keduanya tertawa bersama, sudah hampir satu setengah jam mereka hanya berbincang sembari menikmati padatnya Kota Bandung. Entah sudah berapa lagu dari radio yang mereka dengarkan, berapa jalan yang mereka lewati, dan berapa topik yang mereka bicarakan.

Mobil Bara berhenti di depan pagar rumah Yara, perempuan itu masih duduk dikursi penumpang untuk membenahi kabel charger yang baru saja ia pakai sebelum turun dari mobil.

Bara membuka suara, “Ra, in case kamu mau tau. Walaupun mereka secantik bidadari, tapi aku udah lebih dulu terikat sama pesona seorang dewi.”

Yara menoleh, dilihatnya laki-laki itu sedang menatapnya. Ia tersenyum mendengar kalimat gombal yang baru saja diucapkan Bara, “Manis banget ya emang itu mulut, semut juga minder ini mah,” ledek Yara, tetapi kalau boleh jujur ia merasa ribuan kupu-kupu sedang menyerangnya saat ini. Sedangkan yang diledek hanya cengengas-cengenges, merasa bangga atas gombalannya.

“Peluk boleh nggak?” tanya Bara, Yara hanya melirik dengan mengangkat kedua alisnya. Perempuan itu memberika tatapan heran.

“Yaudah kalo nggak boleh,” lanjutnya karena tidak mendapat jawaban dari Yara.

Yara terkekeh lalu mengubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Bara. Ia merentangkan tangannya, tanda bahwa Bara untuk memeluknya.

Bara lantas tersenyum dan mendekap Yara, perempuan itu membalasnya dengan melingkarkan tangannya pada pinggang Bara. Mereka diam beberapa detik menikmati dekapan satu sama lain sembari memejamkan mata.

“Jangan gitu lagi ya, Ra,” ucap Bara memecahkan keheningan, Yara hanya mengangguk dalam dekapan dan belum ada niatan untuk melepaskan pelukannya. Dada dan pinggang Bara terasa nyaman untuk ia tinggali dalam waktu yang lama, ia merasakan aman dan nyaman di sana.

“Bar.” Akhirnya Yara membuka suara, laki-laki itu hanya berdeham.

“Jangan kemana-mana.”

“Kamu mau aku nginep di sini?”

Mendengar pertanyaan itu sontak membuat Yara melepas pelukannya dan memukul pelan pundak Bara, “Nggak gitu maksudnya,” kesalnya.

“Maksudnya tuh jangan kemana-mana, sama aku aja jangan sama yang lain,” lanjut Yara.

Bara tertawa, lantas kembali merengkuh tubuh Yara lebih erat lagi dari sebelumnya, “Emang aku mau kemana sih, Ra? Kan udah dibilang aku cuma maunya kamu. Kalo ibarat ini scene film, mungkin yang cocok untuk backsound sekarang lagunya Mulan Jameela yang Cinta Mati.”

Yara kembali membalas pelukan itu lalu tertawa, “Ya nggak, aku takut aja.”

Bara diam. Bibirnya tidak membalas ucapan Yara barusan, tapi hatinya dengan jelas mengatakan bahwa ia tidak akan pergi kemana-mana dan keinginannya juga yang akan selalu bersama Yara. Bara sudah jatuh terlalu dalam pada pesona Yara, ia suka dengan Yara yang selalu tampil apa adanya, ceria yang selalu ditunjukkan dan sikap sopannya pada siapapun.

“Aku sayang kamu,” bisik Yara.

Bara tersenyum lebar dibalik pelukan, sangat disayangkan Yara tidak dapat melihat senyum itu saat ini. Laki-laki itu sangat senang mendengar ungkapan Yara, sebab baru kali ini Yara mengatakan kalimat itu tanpa ditanya olehnya. Ia tahu bahwa Yara adalah tipe perempuan yang gengsi untuk mengatakan sebuah kalimat seperti ’aku sayang kamu’ atau ’i love you’ duluan, biasanya memang Bara yang mengatakannya lebih dulu dan Yara hanya tinggal membalasnya. Ia perempuan yang menunjukkan segala rasa sayangnya dengan tindakan.

Yara mendongak dan memperlihatkan wajah bingungnya karna tidak mendapat balasan dari Bara, terlihat dari alisnya yang mengerut.

“KOK NGGAK DIBALES?! NGGAK SAYANG YA?!”

Bara tergelak.

Untuk ke sekian kalinya ia merasa gemas dengan Yara, “Please, marry me?” Bara memeragakan sticker whatsapp yang biasa ia gunakan ketika Yara sudah berada pada puncak kelucuannya.

“Bara Satyaaaa! Bisa diem nggak?”

“Mmm!” Bara beneran diam, ia tersenyum tipis sambil mengangguk. Kini bibirnya terkulum rapat sesuai perintah Yara.

Kalau begini, bagaimana bisa Bara Satya rela meninggalkan perempuan selucu Ayyara Belvina? Begitupun sebaliknya.

Setelah selesai makan di salah satu kedai sei sapi, Bara melajukan motornya ke cafe milik temannya. Kini Sharma sudah terparkir di sana, keduanya—Bara dan Yara— jalan beriringan masuk ke dalam cafe.

Laki-laki itu berniat mampir hanya sebentar karena ingin mengambil jaket himpunan miliknya yang tertinggal di rumah Nabil, berhubung besok jaket itu akan ia gunakan untuk Musyawarah Besar dan Nabil tidak akan berpartisipasi karena akan pergi keluar kota, mau tidak mau ia harus mengambilnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.37, yang artinya sisa 38 menit lagi film yang ingin mereka saksikan dimulai.

“Sebentar ya, Ra? Aku cuma mau ambil jaket HIMA, abis itu udah,” ucap Bara pada Yara yang berjalan di sampingnya.

“Iya nggak papa, Bar. Aku sekalian mau mampir ke toilet,” balas perempuan itu.

Dari jauh terlihat Nabil dan dua teman Bara lainnya yang tidak Yara kenal duduk pada meja yang bertuliskan nomer 3, tepatnya tidak jauh dari kasir dan bar kopi. Bara pun menghampiri mereka, diikuti dengan Yara yang mengekor di belakangan.

Saat tiba, Bara melakukan fist bump pada teman-temannya, “Kumaha, Bar? Damang?” tanya salah satu teman laki-laki Bara yang tidak Yara kenal.

“Mantap, Ta,” balas Bara.

Sejujurnya Yara merasa canggung dan tidak tahu harus bersikap seperti apa, dari ketiganya yang ia kenal hanya Nabil. Alhasil ia hanya tersenyum dan mengikuti segala gerak-gerik Bara.

“Kenalin, ini pacar urang.” Seperti biasa, Bara selalu memperkenalkan Yara ketika bertemu siapa saja. Jangankan teman-temannya, ia memperkenalkan Yara pada tukang kebun Bundanya seperti kemarin, bahkan pernah juga ia memperkenalkan Yara pada tukang nasi goreng langganannya.

Yara kembali tersenyum lalu mengulurkan tangannya pada dua teman Bara itu secara bergantian untuk tanda perkenalan, “Yara,” ucapnya.

“Genta.”

‘Oh Genta namanya,’ batin Yara.

“Fiya,”

“Yara.” Yara mengulangi perkenalan lagi, setelahnya mereka saling berbalas senyum.

’Yang ini Fiya,’ batinnya lagi.

“Tipe ideal lo sekarang udah berubah ya, Bar?” celetuk Fiya setelah berkenalan dengan Yara. Yara yang mendengar terlihat bingung lalu menoleh ke arah Bara.

“Hah? Apaan dah,” jawab Bara.

“Iya kan lo dulu nggak demen cewe rambut panjang. Gue inget banget mantan-mantan lo rambut pendek semua kan, terus si Ryuka mantan lo sengaja selalu potong rambut kalo rambut dia udah mulai panjang karna lo lebih suka cewe rambut pendek katanya. Sekarang cewe lo malah panjang rambutnya,” cecar Fiya, Genta yang duduk di samping Fiya seakan memberi isyarat pada perempuan itu untuk diam, karena bukankah memang seharusnya ia tidak berkata seperti itu?

Senyum Yara yang sedari tadi merekah, mendadak luntur ketika mendengar kalimat itu. Ia yang masih berdiri, hanya diam dengan seribu bahasa. Tiba-tiba di kepalanya mulai berbelit pikiran-pikiran negatif akibat ucapan perempuan yang baru saja ia kenal.

Ingatannya kembali pada momen di mana Bara selalu meminta Yara menguncir rambutnya. Sebenarnya wajar ketika seseorang menyuruhnya mengikat rambut saat sedang makan, sebab akan mengganggu dan juga menghindari rambut yang akan masuk ke dalam makanan atau saat di situasi lingkungan dengan udara yang panas sepertinya pilihan tepat untuk menguncir rambut. Tapi setelah mendengar ucapan Fiya membuat Yara tidak bisa lagi berfikir dengan positif.

“Apaan sih lo? Perkara rambut aja dibahas? Nggak ada urusannya,” balas Bara dengan nada yang mulai terdengar kesal. Laki-laki itu menoleh ke arah Yara, ia sadar akan air wajah perempuannya yang berubah, dengan cepat ia menggenggam Yara.

Yara ikut menoleh ketika tangannya digenggam Bara, ia membuka suara, “Bar, bentar aku mau ke toilet dulu ya,” izinnya setelah itu melepas genggaman Bara dan melenggang pergi ke arah toilet.

“Eh sorry gue salah ngomong ya?” ucap Fiya tidak enak setelah Yara pergi menuju toilet.

“Menurut lo aja, anjing,” umpat Bara.

Ia melanjutkan kalimatnya karena malas meladeni Fiya lebih lama untuk kembali membicarakan topik tadi, “Mana, Bil, jahim? Gue mau langsung jalan lagi,” pinta Bara pada Nabil.

Laki-laki yang dipanggil sedari tadi hanya memperhatikan perbincangan barusan dengan jari-jari tangannya yang memegang pelipis karena sadar akan situasi. Pasalnya Bara sangat sensitif jika membahas mantan terakhirnya yang bernama Ryuka. Nabil tahu semua itu, bahkan ia tahu bahwa Ryuka sampai saat ini belum move on dari Bara.

Nabil dengan cepat meraih jaket himpunan milik Bara yang berada di dalam tasnya, “Nih.”

Sorry Bar, gue nggak bermaksud.” Fiya pun kembali meminta maaf setelah sadar akan ucapannya yang tidak seharusnya diucapkan dan Bara hanya berdeham sebagai jawaban.

Bara duduk pada salah satu kursi dan menerima jaket miliknya, “Makasih, lo udah izin ke Bang Fido besok nggak ikut mubes?” tanya Bara pada Nabil.

“Udah, sempet ditahan gue. Katanya harus ikut, tapi ya gimana gue harus berbakti kepada nyokap.”

Selang 7 menit terdapat pesan masuk di ponsel Bara, tertera nama Yara di sana.

Whatsapp Yara: BARAAAAA AKU TEMBUS Bara: HAAAAHH APANYA TEMBUS? Bara: KOK BISA TEMBUS? Yara: Kamu mikirnya jangan kejauhan ya! Yara: Darah haid aku tembus ke celana dan lumayan banyak... Yara: Gimana dong??? Ga pede keluar toilet :( Bara: Aku kesana, kamu tunggu depan pintu toilet.

Setelah membalas pesan singkat itu, Bara segera bergegas ke arah toilet berada. Dilihatnya Yara yang sudah menunggu di depan toilet dengan wajah panik.

“Pake jaket aku. Lingkarin dipinggang buat nutupin.” Laki-laki itu melepas leather jacketnya dan memberikannya pada Yara.

“Nggak mau, nanti kamu naik motor kena angin!”

“Nggak papa, kan aku ada jaket HIMA.”

Mendengar jawaban itu, Yara akhirnya menerima jaket milik Bara dan mengikatnya pada pinggang demi menutupi bercak darah pada celana bagian belakangnya.

“Aku mau pulang aja ya? Maaf,” ucap Yara dengan raut sedih. Tentu saja ia sedih, sudah dari kemarin ia menunggu momen untuk menonton film Spiderman No Way Home tetapi harus gagal karena dirinya sendiri.

“Iya nggak papa. Ayo pulang aja, masih bisa besok-besok,” balas Bara sembari mengelus puncak kepala Yara lalu menggandeng tangan perempuannya untuk pergi meninggalkan cafe. Tapi sebelumnya Bara terlebih dahulu pamit pada teman-temannya.

Suara mesin motor Bara semakin terdengar sampai akhirnya tiba di depan pagar hitam rumahnya, dengan langkah cepat Pak Dayat— tukang kebun yang bekerja di rumahnya— membukakan pagar agar Bara tidak perlu repot-repot turun dari motor.

“Nuhun, Pak, kenapa belum pulang?” tanya Bara setelah memarkirkan motornya di pelataran rumah dan tidak berniat untuk memasukkannya ke dalam garasi.

“Ini a’ si Ibu meuli kembang nu anyar,” jawab Pak Dayat sembari kembali melanjutkan tugasnya untuk memindahkan tanaman dari polybag ke pot baru.

Bara yang mendengar jawaban itu hanya ber-oh, “Oh iya, Pak Dayat, kenalin ini pacar saya.” Tidak lupa ia memperkenalkan perempuan yang sedari tadi mengekorinya.

Pak Dayat yang semula sedang sibuk membersihkan akar dari media tanam pun menoleh lalu tersenyum ke arah Yara, “Oh- iya neng, saya Pak Dayat,” sapa Pak Dayat.

“Saya Yara, Pak,” balasnya memperkenalkan diri, tidak lupa memberikan senyum diakhir.

“Geulis pisan teu sih, Pak?” tanya Bara yang setelah itu mendapat pukulan di pundak dari perempuan disampingnya.

“Iya atuh nggak heran saya mah, da a’ Baranya ge kasep.”

“Si Bapak bisa aja nih, besok saya sampein ke Bunda buat naikin gaji ya, Pak.” canda Bara yang dibalas kekehan dari Pak Dayat.

Setelah menyelesaikan sesi perkenalan antara Yara dan Pak Dayat, Bara pamit izin untuk masuk ke dalam rumah dan mempersilakan Pak Dayat kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Yaudah lanjut, Pak. Ayo, Ra, masuk,” ajak Bara setelah membuka pintu.

Kesan pertama yang Yara dapat ketika memasuki rumah ini adalah interiornya yang tertata rapih dengan nuansa warna earth tone yang dapat memanjakan mata siapapun ketika melihatnya. Matanya menjelajahi tiap sudut ruangan ini, melihat satu persatu foto yang terpajang di dinding.

“Hey, sini masuk Ayyara,” tegur Bara karena sedari tadi Yara hanya sibuk memperhatikan foto-foto, Yara yang tersadar akhirnya kembali mengikuti langkah kaki laki-laki itu dengan sungkan, pasalnya ini kali pertama ia datang ke rumah pacarnya. Dulu sewaktu berpacaran dengan mantan-mantannya, tidak ada yang pernah mengajaknya main ke rumah mereka.

Mata Yara menemukan seorang perempuan dengan surai panjang dan poni yang menutupi bagian keningnya sedang mengeluarkan beberapa pernak-pernik dekorasi yang biasa digunakan untuk acara ulang tahun. Perempuan itu menyadari kehadiran mereka berdua, lantas tersenyum ketika melihat Yara yang berada di balik punggung Bara.

“Teh, ini Yara.” Bara menggeser sedikit tubuhnya lalu menarik maju Yara secara perlahan.

Binar—kakak Bara— pun bangkit dari duduknya, “Halo, Binar,” sapanya lalu mengulurkan tangan untuk mengajak berjabat tangan.

Dengan cepat Yara menerima jabatan tangan itu, “Yara,” balasnya, tidak lupa senyum simpul yang menghiasi wajahnya.

“Teh, titip Yara sekalian kenalin ke Bunda. Aku mau ambil kue dulu, keburu tutup tokonya,” ujar Bara dan di sampingnya Yara menatap ke arah Bara dengan tatapan kaget. Tentu saja ia terkejut ketika Bara mengatakan ingin meninggalkan dirinya di sini, bukan tidak mau tapi bukankah akan sangat canggung nantinya?

“Titip titip, kamu kira barang apa. Sini, Ra, bantu aku dekor mau?”

Yara tersenyum lalu mengangguk tanpa ragu, “Boleh, Teh.”

“Yaudah aku tinggal dulu ya, Ra, kalo Teh Binar rese bilang aku aja,” ledek Bara.

“Yee sembarangan, nggak kebalik?!” balas Binar sewot lalu setelahnya mendapat cibiran dari Bara dan laki-laki itu berlalu meninggalkan rumah untuk mengambil kue yang sebelumnya sudah ia pesan.

Atmosfer canggung sekitar Yara pun tercipta di detik ketika Bara pergi meninggalkannya dengan Binar. Tapi untungnya sifat Binar memang tidak jauh berbeda dengan Bara, ia mudah mencairkan suasana canggung seperti sekarang ini.

“Ini kamu mau ikut pompa balon?” tawar Binar memberikan alat pompa dan balonnya, Yara pun mengangguk lalu menerimanya.

Yara mulai memompa satu-satu balon dan mengikatnya dengan kuat, sedangkan Binar sibuk menempelkan dekorasi dengan tulisan ‘Happy Birthday’ pada dinding.

“Kalian kenal di mana? Temen kampusnya Bara ya?” tanya Binar membuka percakapan.

“Temen dari SMP sih Teh tepatnya, tapi sekarang satu kampus sama satu fakultas juga, cuma beda jurusan aja,” jawab Yara.

“Oh, temen SMP, sekelas berarti kalian pas SMP?”

“Iya sekelas pas kelas 8 sama 9.”

“Rese ya si Bara waktu SMP? Sekarang juga masih sih, cuma SMP tengilnya nggak ada dua.” Yara yang mendengarnya lantas tertawa seakan setuju dengan apa yang baru saja dikatakan Binar.

“Ini aja dia ngerjain kamu, Ra. Dia sengaja baru ngambil kue biar nggak ikutan bantu dekor sama siapin meja makan, makanya dia drop kamu kesini duluan,” jelas Binar, ketika Yara pikir-pikir masuk akal juga pernyataan itu.

“Kayaknya emang gitu deh, Teh. Padahal kan tadi bisa sekalian pas jemput aku, kalo gini apa nggak kerja dua kali, bolak-balik,” jawabnya.

“Namanya juga Bara.”

Ditengah-tengah percakapan mereka, tiba-tiba seorang wanita paruh baya menghampiri keduanya. Bisa Yara pastikan jika wanita itu adalah Bunda dari Bara, ia dengan cepat bangkit dari duduk dan menyalaminya.

“Ini Yara ya?” tanya wanita itu sembari tersenyum ke arah Yara.

“Iya tante. Oh iya, ini ada sedikit kue yang Yara buat,” ucapnya lalu memberikan paper bag yang isinya cookies buatannya.

“Aduh repot-repot neng Yara, makasih ya. Bener ya Teh ternyata, si aa’ mah nggak bohong. Yara meni geulis,” puji Bunda sambil mengelus pundak Yara sambil tersenyum, alhasil perempuan itu ikut tersenyum malu terlebih lagi mengetahui fakta bahwa Bara sudah lebih dulu membicarakan dirinya bahkan memujinya pada Bunda dan Binar, hal itu membuat telinga Yara memerah karena merasa malu dan senang di waktu yang bersamaan.

“Iya, Nda, aku malah heran kok Yara mau sama Bara?”

“Ya kan baik adekmu, Teh,” bela sang Bunda, “Anak Bunda baik kan, Yara?” lanjutnya bertanya pada Yara.

Yara mengangguk pasti, “Baik banget kok, Tante.”

“Bunda mah bela si bocah tengil terus,” cibir Binar lalu kembali sibuk memompa sisa balon, Bunda dan Yara yang mendengar hanya tertawa.

“Bunda tinggal ke dapur lagi, ya? Takut gosong masakannya,” pamit Bunda dan Yara membalasnya dengan anggukan serta senyuman.


Hari ini hari yang kau tunggu Bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu Yang kuberi bukan jam dan cincin Bukan seikat bunga, atau puisi, juga kalung hati

Lagu Jamrud dengan judul Selamat Ulang Tahun mulai diputar bersamaan dengan Bapak yang masuk ke dalam rumah. Sebenarnya Bapak sudah tidak terkejut dengan kejutan yang Istri dan anak-anaknya siapkan, mengingat kemarin Bara secara terang-terangan bicara ingin memberi kejutan.

Tetapi tetap saja ada perasaan terharu Bapak saat melihat ruang makan yang dihias sedemikian rupa dan makanan yang berjajar di atas meja makan, berbagai lauk pauk disajikan Bunda untuk malam hari ini.

“Selamat ulang tahun, Bapak,” ucap Bunda menghampiri Bapak untuk mengecup kedua pipinya.

Setelahnya diikuti Binar dan Bara yang juga memberi ucapan untuk Bapak. Hati Yara menghangat ketika melihat pemandangan di hadapannya, manik matanya memperhatikan setiap gerak gerik Bara. Laki-laki itu sangat berbeda ketika berhadapan dengan keluarganya, Bara yang ternyata sangat manja dengan Bapak membuat Yara tidak dapat berhenti tersenyum.

“Ah iya, Bap, kenalin ini Yara.” Bara menoleh lalu memperkenalkan Yara yang sedari tadi hanya memperhatikan dari balik punggung Bara.

Dengan gerak cepat Yara menghampiri Bapak untuk menyalami dan ikut mengucapkan selamat ulang tahun, “Om, saya Yara. Selamat ulang tahun ya om, sehat selalu,” tutur Yara dengan sopan.

Setelah itu mereka duduk melingkar disekitar meja makan, seperti acara ulang tahun pada umumnya, mereka berdoa bersama lalu diikuti dengan prosesi tiup lilin.

Bunda pun mulai membantu menyedokkan nasi pada piring masing-masing. Dimulai dari Bapak, lalu Binar, Yara dan Bara yang mendapat giliran terakhir. Yara menatap begitu banyak menu yang Bunda siapkan di atas meja, ada ayam goreng, capcay, mie goreng, daging gepuk, pepes tahu, tidak lupa sambal dan lalapan juga tersedia.

“Ayo neng Yara silakan pilih aja, capcay suka neng?” tanya Bunda.

“Suka, Tante,” jawab Yara lalu Bunda menyendokkan capcay untuknya, tidak lupa ia mengucapkan terima kasih setelahnya.

Piring masing-masing dari mereka sudah siap dengan nasi dan lauk, Bapak dan Bunda pun sudah mempersilakan Yara untuk mulai makan sedari tadi tetapi Yara justru memilih menunggu agar Bapak dan Bunda terlebih dulu yang menyantap makanannya. Setelah melihat seluruh anggota keluarga Bara menyantap makanan itu, barulah Yara mengikuti.

Bara menoleh ke arah Yara, “Ra-“ tegurnya yang lagi-lagi tangannya refleks menahan rambut perempuan itu yang hampir masuk ke dalam piring dan mengenai nasi, “Nggak bawa kunciran lagi?”

“Oh iya lupa nguncir. Bawa, bentar aku cuci tangan dulu,” ucap Yara mengingat tangannya yang sudah kotor.

“Nggak usah, di mana kuncirannya? Aku aja yang kuncirin, tangan aku masih bersih.”

Bara mengambil kunciran milik Yara di dalam tas dan membantu menguncir rambut perempuan itu. Namun jangan mengharapkan hasil yang rapih, tentu saja tidak.

“Ih Bap, Nda, liat anaknya romantis pisan. Pernah nggak ke Tetehnya begitu?” cibir Binar, Bapak dan Bunda hanya menggeleng sembari terkekeh melihat tingkah anak bujangnya.

“Sini atuh Teteh bibirnya yang aku kuncirin biar diem,” balas Bara. Tanpa Bara ketahui perempuan di sebelahnya sedang menahan malu.

’Bisa-bisanya Bara begini di depan Bapak sama Bundanya. Plastik mana plastik, gue mau menenggelamkan muka sekarang juga,’ batin Yara berteriak.


Acara makan malam pun telah selesai. Meja makan sudah rapih kembali, tidak ada lagi piring-piring kotor berserakkan dan sisa lauk tadi pun sudah dimasukan ke dalam kulkas oleh Bunda sebab masih bisa dimakan untuk esok hari, namanya juga Ibu-ibu.

Kini mereka sedang berbincang sambil menurunkan makanan yang baru saja masuk ke dalam perut, gelak tawa selalu tercipta ketika Bapak melontarkan lelucon. Ternyata yang diucapkan Bara benar, jika Bapak sangat random persis dengan Bara.

“Kemaren sore kan Bapak duduk di teras baca koran sambil minum kopi, terus tetangga sebelah itu Pak Firman baru pulang kerja dia lewat depan rumah naik motor. Kaget banget Bapak pas dia lewat,” cerita Bapak dengan suara yang terdengar sangat kental akan logat Jawanya dan semua orang sedang serius mendengarkannya.

“Kenapa emang?” tanya Bara.

Bapak pun melanjutkan ceritanya, “Mosok dia naik motor sambil ketawa-ketiwi, Bar, padahal nggak lagi bonceng siapa-siapa. Serem kan?”

Dengan wajah serius Bunda mulai terpancing mengikuti alur cerita Bapak, “Loh terus kenapa dia, Pak?” tanya Bunda penasaran. Berbeda dengan Bunda, Bara justru mulai mengetahui kemana arah cerita Bapak.

“Ya makanya itu, Nda. Karna penasaran, akhirnya Bapak mutusin buat ngecek. Bapak ngintip dulu tuh karna takut juga kan, pas diliat dia masih duduk di motor dan masih ketawa-ketawa sendiri,”

Bara mengusap wajahnya menahan tawa sambil menggelengkan kepala, ia benar-benar lelah ketika Bunda dan Binar yang selalu masuk perangkap cerita random Bapak, kali ini ditambah dengan Yara yang tidak kalah serius ketika mendengarnya.

“Akhirnya Bapak samperin buat nanya, eh tapi ternyata makin Bapak deketin Bapak jadi makin paham kenapa Pak Firman ketawa ketawa pas naik motor-“ Bapak menggantung ceritanya, Bara yang sudah tidak sanggup hanya bisa memejamkan matanya dan mengulum bibirnya rapat-rapat.

“Kenapa sih, Bap?” Binar penasaran.

Bapak akhirnya melanjutkan ceritanya lagi, “Karna Pak Firman duduk diatas joke.” Seketika suasana menjadi hening, Binar yang sudah lelah pun hanya menghela napas panjang, Bunda yang sedari tadi excited dengan cerita ini pun memasang wajah datar sembari menggelengkan kepala.

Sedangkan Yara, hanya dirinya yang kini tertawa terbahak-bahak mendengarnya walaupun sempat otaknya lama untuk memproses lelucon ini.

Di samping Yara, Bara menepuk paha perempuan itu, “Ra, nggak papa, nggak usah repot-repot ketawa kalo nggak lucu,” ucapnya.

“Lucu kok!” Yara mengatur napasnya sebelum menanggapi ucapan Bara.

“Maklumin ya, Ra. Namanya juga bapak-bapak.” Kali ini Binar yang menyahut.

Tapi disisi lain Bapak merasa senang ketika melihat reaksi Yara yang tertawa dengan cerita leluconnya, pasalnya sudah beberapa bulan terakhir ia tidak mendapatkan reaksi semacam itu. Bara dan Binar sudah terlalu lelah dengan lelucon Bapaknya sendiri.

Cara untuk memberhentikan kerandoman Bapak adalah makanan, Bara melirik sebuah paper bag yang masih tertutup rapih di atas meja makan, “Nda, Bap, cobain itu cookies yang Yara bikin.” Menunjuk ke arah paper bag itu, mereka yang berada di meja makan secara kompak menoleh mengikuti arah telunjuk Bara.

“Oh iya.” Bunda bangkit untuk membukanya, harum butter sangat tercium nikmat membuat siapa saja yang mengendusnya akan mengiri karena ingin menyicipinya.

Bunda membagikan masing-masing satu buah cookies, termasuk Yara. Mereka mulai menggigit cookies buatan Yara, sedangkan perempuan itu sedang harap-harap cemas memikirkan rasanya.

“Eum, enak neng,” puji Bunda.

“Enakkk!” Diikuti Binar.

“Enak, ini Yara bikin sendiri?” tanya Bapak.

Yara menghela napas lega, “Iya, Om,” jawabnya.

Bara menoleh dan tersenyum ke arah Yara seakan mengatakan ‘apa aku bilang, pasti enak’, Yara pun membalas senyum itu.

Malam ini ia merasa sangat bahagia dapat bertemu dengan keluarga Bara, merasakan hangat suasana rumah ini, mendengarkan Bara dan Binar yang sering kali beradu argumen, dan tentunya lelucon Bapak yang sangat-sangat ia nantikan. Semua itu sebenarnya juga bisa ia dapatkan di rumah tapi rasanya berbeda, seperti merasakan sesuatu yang baru dan Yara suka akan hal itu. Ia juga bisa melihat tingkah Bara saat berada dilingkup keluarga kecilnya, tidak henti-hentinya ia tersenyum.

Mungkin malam ini akan menjadi malam yang tidak akan pernah terlupakan untuk Yara.

Langit di malam minggu saat ini sedang bersahabat dengan para pasangan yang akan menghabiskan sisa malam untuk saling melepas rindu, hanya angin yang bertiup sedikit lebih kencang dari biasanya.

Hanya butuh waktu sekitar 20 menit Bara bisa sampai ke rumah Yara, laki-laki itu mematikan mesin motornya lalu membuka ponsel untuk memberi kabar pada Yara.

Tidak lama, ada seorang laki-laki paruh baya keluar dari rumah itu sambil membawa satu cangkir kopi di tangan kanannya dan ponsel di tangan kirinya. Bara yang melihat refleks turun dari motor dan menghampirinya.

“Assalamualaikum,” ucap Bara.

“Waalaikumsalam,” sahut pria paruh baya itu, “cari siapa?” tanyanya.

“Punten Om, mau cari Yara. Tadi udah buat janji.”

“Oh iya iya, masuk aja. Duduk dulu di sini,” ajaknya sembari menunjuk kursi kosong yang ada disampingnya.

Laki-laki dengan jersey Barcelona yang menempel di tubuhnya itu membuka pagar lalu berjalan dengan sopan menghampiri pria tersebut.

“Duduk aja, Yaranya lagi siap-siap,” perintah pria itu. Bara pun hanya mengikuti perintah, ia kini duduk bersebelahan yang hanya dibatasi sebuah meja dengan Ayah dari gadis yang akhir-akhir ini sedang mengisi hari-harinya.

Tidak ada percakapan kurang lebih 3 menit, pria itu menoleh kearah Bara, “Fans Barca?” tanyanya ketika melihat baju yang Bara kenakan.

Dengan senyum bangga Bara menjawab, “Iya Om, Om juga?” Bohong. Bara berbohong, padahal dia adalah fans Liverpool.

“Bukan, saya nggak suka Barca. Jagoan saya sih Real Madrid,” ucap Papahnya Yara lalu setelahnya ia menyeruput kopi yang sudah tidak ada kepulan asap di atasnya.

Deg

’Pram bangke, dia pasti ngerjain gue lagi,’ batin Bara berteriak.

Otaknya tidak dapat berpikir, jantungnya seperti mencelos begitu saja, tangannya basah dipenuhi oleh keringat. Bara merasakan suasana yang canggung.

“Saya juga bukan fansnya Barca banget sih om.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Bara, bukan sebuah kebohongan, justru ini adalah sebuah kejujuran.

“Tapi itu official ya keliatannya.”

Kali ini ia harus menjawab apa, sel-sel di otak Bara kini sedang susah payah bekerja untuk mencari jawaban yang masuk akal, “Emang koleksi jersey aja Om, dapet dikasih juga ini.” Barulah jawaban ini yang disebut sebuah kebohongan.

Pria paruh baya itu hanya ber-oh, terlihat tidak terlalu tertarik untuk melanjutkan obrolan. Ia meraih ponselnya dan membuka youtube lalu menonton siaran ulang kejuaraan WorldSBK (World Superbike) di Sircuit Mandalika.

“WBSK Mandalika kemaren ya, Om?” Bukan Bara namanya jika menyerah begitu saja. Lupakan soal Barcelona, saatnya ia bersinar kembali di hadapan Papanya Yara.

“Iya, nonton juga kamu?” tanyanya.

“Nonton, Om,” jawab Bara.

“Kemaren saya kelewatan nonton live karna kerja. Race pertama siapa ya pemenangnya?” tanya pria itu yang mulai tertarik dengan topik ini, bahkan ia meninggalkan video yang terus menyala tanpa ditonton.

Race pertama yang posisi satu Jonathan Rea om,” jelas Bara.

“Loh bukan si Toprak?”

“Toprak posisi dua om di race satu, tapi dia berhasil raih juara dunia.”

“Oh iya, juara dunia maksud saya. Kalo race dua posisi satunya siapa?”

“Rea lagi. Itu pas race dua seru banget, Om. Wet race karna habis hujan jadi lebih mantep bikin deg-degannya, sengit banget antara Rea sama Red kejar-kejaran buat ambil posisi satu,” jelas Bara dengan semangat.

“Wah, saya harus nonton ini.”

“Iya, Om.”

Tidak lama Yara keluar dengan setelan sweater rajut berwarna coklat muda yang dipadukan dengan celana jeans, “Sorry, Bar, lama ya? Yuk,” ajak Yara.

Bara bangkit dari kursi, “Nggak kok, ayo. Om pamit dulu, izin mau ajak Yara makan dimsum ke Dipatiukur,” pamit Bara sembari meminta izin, tidak lupa memberi tahu kemana ia akan mengajak Yara pergi.

“Iya, hati-hati ya. Yara pake jaket?”

“Ini anget kok, Pah, tenang. Pamit ya, Bye.” Yara melambaikan tangannya dan dibalas oleh Papahnya.

Keduanya pun sudah duduk di atas Sharma—motor kesayangan Bara— dan tidak lupa memakai helm untuk melindungi kepala masing-masing, lalu tidak lupa Bara memakai hoodie hitamnya terlebih dahulu. Setelah dirasa siap, Bara pun melajukan motornya ke tempat tenda dimsum berada.


Bukan Bandung namanya jika saat malam minggu tidak terjadi kemacetan pada jalan-jalan besar, untungnya Bara tidak menggunakan mobil karena akan menghabiskan waktu hanya di dalam mobil karena antrean panjang ulah lampu lalu lintas di setiap persimpangan.

Bara memarkirkan motornya sesuai perintah tukang parkir, terlihat seluruh meja terisi penuh oleh pengunjung yang juga ingin menikmati dimsum di malam minggu.

“Penuh,” ucap Yara ketika Bara selesai memarkirkan motornya.

Mata Bara menjelajah setiap meja, “Itu sebelah sana kayaknya udah mau selesai,” terka Bara dan benar saja 2 menit setelahnya pasangan yang duduk pada meja itu bangkit dari duduknya.

Keduanya pun dengan cepat menempati meja tersebut sebelum orang lain yang menempatinya duluan.

“Lo pesen apa, Ra? Biar gue yang pesenin,” tanya Bara.

“Gue mau siomay nori sama hakau aja,” pesan Yara.

“Minum?”

“Air mineral,”

“Oke, Teh, mohon ditunggu,” canda Bara seakan-akan berperan sebagai seorang pelayan dan Yara hanya terkekeh dengan tingkahnya.

Bara pun langsung memesannya. Setelah menyelesaikan pesanan, ia kembali duduk dihadapan Yara.

“Tadi ngobrol apa sama Papah?” tanya Yara penasaran.

“Ra, abang lo,” adu Bara.

“Kenapa?”

“Gue dikerjain lagi. Tadi sore kan gue nanya ke abang lo, kira-kira pake baju apa biar first impression bokap lo ke gue bagus. Nah, terus abang lo saranin pake jersey Barca, taunya bokap lo nggak suka Barca ya?” cerita Bara panjang lebar.

Yara tidak bisa menahan tawanya, “Hahahahaha, ini lucu banget. Lagian lo masih aja percaya sama dia, gue 19 tahun hidup sama dia tentunya punya trust issue sama dia.”

“Jangan ketawa dong, Ra. Lo nggak tau betapa awkwardnya gue tadi.”

Yara mengatur napasnya setelah tertawa, “Iya bokap gue tuh nggak tau kenapa sensi aja sama Barca, Bar, kayak siapapun lo kalo fans Barca auto dicut off sama dia. Terus tadi ekspresi Papah gimana?” tanya Yara yang sangat penasaran.

“Kayak langsung males gitu ngomong sama gue, padahal gue juga bukan fans Barca. Gara-gara abang lo aja nih, gue sampe minjem jersey Nabil.” Bara memasang wajah memelasnya dan lagi-lagi Yara tertawa.

“Tapi tadi gue liat kalian berdua asik ah ngobrolnya?” ucap Yara sambil menatap tissue yang sedang ia gumpal-gumpalkan.

“Iya gara-gara WBSK. Gue juga suka soalnya superbike sama Motogp gitu.”

“Asli nggak? Lo kan jago ngibul, gue aja dikibulin soal rootbeer,” goda Yara.

Bara tertawa, “Hahahaha, nggak. Kali ini bener.”

“Hm, oke. Nah, lo ajak ngobrol aja seputar Motogp gitu, dia seneng banget pasti. Soalnya abang gue nggak terlalu ikutin Motogp, makanya Papah suka bete kalo ngajak ngobrol abang seputar Motogp, soalnya jawaban abang selalu nggak tau nggak tau mulu macem orang miskin ilmu,” jelas Yara.

“Berhasil dong gue ambil hati bokap lo?” Bara tersenyum jahil menatap perempuan dihadapannya

“Iya kali,” jawab Yara salah tingkah dan kembali memainkan gumpalan tissue tadi.

“Kalo ambil hati anaknya udah berhasil belom?” Kali ini pertanyaan Bara benar-benar membuat Yara sulit untuk menahan senyumnya, untuk memberi jawaban Yara hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum.

“Apaan 'gini' doang? Jawab dong,” protes Bara sambil mengikuti gerak tubuh Yara ketika mengedikkan bahu.

Sebelum Yara menjawab, pelayan lebih dulu datang membawa empat klakat bambu berisi pesanan mereka berdua dan juga dua botol air mineral. Setelah semua pesanan sudah tertata rapih di atas meja, Bara dan Yara tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pelayan tersebut.

“Makan dulu,” ucap Yara sembari membuka satu-satu klakat bambu untuk mengecek di mana pesanannya dan Bara dengan inisiatif membukakan botol air mineral milik Yara agar perempuan itu tidak kesulitan untuk membuka nantinya.

Akhirnya mereka selesai menghabiskan seluruh dimsum hingga bersih tak tersisa, 20 menit mereka menikmati dimsum sembari membicarakan hal-hal random, mulai dari cerita semasa SMP mereka, lalu berlanjut membicarakan bagaimana cara Upin Ipin memakai baju, hingga konspirasi Ahmad Dhani.

“Ra, mau liat sulap nggak?” tanya Bara sembari mengeluarkan tali dari dalam saku hoodienya.

Yara menaikkan kedua alisnya, “Sulap?” tanyanya heran.

Bara membenahi tali yang sedikit kusut karena ia simpan di dalam saku, “Iya, mau nggak?”

“Mana coba?”

Laki-laki itu tersenyum ke arah Yara, “Mana siniin jari manisnya,” pinta Bara lalu setelahnya Yara memberikan jari manis tangan kirinya.

Bara meraih tangan Yara, ia mengikat satu sisi tali yang tadi sudah ia benahi pada jari manis perempuan itu.

“Nggak ke kencengan kan?” tanya Bara memastikan dan Yara hanya menggeleng, ia masih tidak paham sulap seperti apa yang akan laki-laki itu tunjukkan.

Setelah mendapat jawaban dari Yara, Bara merentangkan sisi tali sebelahnya hingga sejajar pada telinga kanan milik Bara.

“Rada naik coba, Ra, tangannya.” Yara pun mengikuti perintah Bara.

“Pake mantra bimsalabim Pak Tarno dulu, nggak?” ledek Yara.

“Nggak, gue punya mantra sendiri. Nanti lo tinggal jawab aja mantra gue.” Tangan kanan Bara masih memegang tali di samping telinganya, tanpa Yara ketahui di dalam genggaman Bara sudah ada sebuah cincin yang siap meluncur mengikuti arah tali yang terbentang.

“Hah? Jawab gimana maksudnya?”

“Ya jawab aja pokoknya. Siap ya?” tanya Bara memastikan lalu Yara mengangguk walaupun dirinya tidak paham apa yang di maksud Bara.

Bara menghitung di dalam hati sambil tersenyum menatap Yara, perempuan itu hanya membalasnya sembari menunggu. Tidak bisa dipungkiri jantung Bara sedang berdegup kencang.

Laki-laki itu menghela napas sebelum mengucapkan kalimat yang katanya sebuah mantra, “Ra, pacaran yuk?” Ia melepaskan genggamannya pada cincin dan membiarkan cincin itu meluncur mengikuti tali yang akhirnya mendarat sempurna pada jari manis Yara.

Yara yang melihat itu seketika terkejut lalu terdiam memproses apa yang sedang terjadi untuk beberapa detik sembari menatap cincin yang sudah menempel pada jari manisnya, sampai akhirnya ia sadar dan tidak bisa menahan tawanya hingga wajah perempuan itu memerah. Tentu saja ia tidak menyaka hal ini yang akan terjadi, ia pikir Bara mengatakan ingin menunjukkan sebuah sulap hanya untuk bermain-main.

Kini keduanya tertawa lepas diantara orang-orang yang sedang menikmati dimsum pada meja lain. Bara mengisyaratkan untuk berhenti tertawa dengan telunjuk yang ia tempelkan pada bibirnya, “Ra, jawab dulu mantra gue,” protes Bara.

Yara mengatur napasnya, “Bentar, ini lucu banget, Bar. Kenapa lo kepikiran aja sih?”

“Isi kepala gue tuh banyak, Ra, apa aja bisa terjadi.”

Dengan wajah yang memerah dan merasakan sensasi kupu-kupu pada perutnya, Yara pun menjawab mantra yang diucapkan Bara, “Iya.”

“Iya apa?”

“Ya, iya.”

“Iya?”

“Nanya mulu ah!”

“Iya apa? Yang jelas.”

“Iya mau.”

Mendengar jawaban Yara membuat laki-laki itu menjadi salah tingkah, rasanya ia ingin berteriak jika tidak ingat dirinya sedang berada di tempat makan yang ramai oleh pengunjung. Tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata yang duduk di sekitar mereka melihat kejadian tadi bahkan tidak jarang mereka ikut tersenyum gemas.

“Gitu dong, susah amat bilang mau doang,” goda Bara.

“Bar, mau tau sesuatu yang lucu nggak?”

“Lo.”

“Bukan ih, serius,” sewot Yara.

Bara terkekeh, “Iya iya, apa?”

“Gue udah suka sama lo dari SMP,”

“Hah? Yang bener?”

“Beneran hahaha, tanya aja Beyi. Inget Belinda kan?”

“Kenapa nggak ngomong?”

“Ya menurut lo aja.”

“Padahal pasti gue juga mau.”

“Kenapa gitu?”

“Soalnya lo cantik.”

“Oh kalo dua hari lagi gue jelek mau lo putusin?”

“Nggak gitu....Eh Bandung dingin ya.” Bara mengalihkan pembicaraan sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya.

“Hahahaha, kalo di novel novel nih ya, Bar, biasanya ada momen di mana si cowonya juga bilang gini ‘gue juga udah suka sama lo dari SMP’ lo gitu juga nggak? Sekali-kali gitu gue hidup kayak di novel,” celoteh Yara membuat Bara gemas.

“Sayangnya nggak sih, Ra,” ucap Bara jujur, setelahnya ia tertawa melihat wajah Yara yang sudah cemberut.

Malam ini, di bawah tenda warung dimsum Dipatiukur cerita cinta mereka di mulai hanya dengan seutas tali dan cincin yang diberikan Bara. Angin malam memeluk keduanya yang sedang berbagi senyuman dan tawa satu sama lain.

Yara mengamati cincin itu, bukan cincin emas dengan harga fantastic yang Bara berikan. Hanya sebuah manik-manik yang disusun sampai membentuk cincin dengan bunga daisy yang membuat cincin itu terlihat indah ketika bertengger pada jari manisnya.

Satu persatu dari anggota UKM Gelanggang Seni Sastra, Teater dan Film mulai membubarkan diri. Salah satunya Yara, perempuan yang saat ini sedang berpakaian dengan gaya boyishnya yaitu kemeja flanel warna merah bercorak kotak-kotak dengan ukuran oversize dan menampilkan kaos putih polos sebagai daleman karena kancing kemejanya yang sengaja tidak ia kaitkan.

Yara bangkit dari duduknya setelah pamit pada seluruh anggota di sana, ia berjalan keluar gedung untuk segera menghampiri Bara. Sesekali gemuruh dari langit sudah mulai terdengar, ia berjalan semakin cepat sembari melafalkan doa agar hujan tidak turun terlebih dulu.

Memang benar adanya, ketika Bara bertanya pada Yara tempo lalu tentang apakah perempuan itu menyukai hujan dan jawaban Yara adalah tidak. Apalagi jika kehujanan, ia tidak menyukai basah yang dapat menyebabkan lembab, karena menurutnya sensasi ketika menggunakan pakaian yang basah itu sendiri menimbulkan ketidaknyamanan dan tidak menutup kemungkinan dapat memicu infeksi jamur atau virus pada tubuh.

Netranya mulai menemukan Bara yang tengah duduk tenang menunggu di atas jok motornya sembari mengetuk-ngetuk jari pada indikator bensin yang menimbulkan nada asal. Benar saja, Yara menemukan tempat sampah tepat di samping motor Bara yang terparkir, ia tidak bisa menahan tawa pasalnya ingatannya kembali pada isi chat beberapa menit lalu.

Bara yang menyadari seseorang sedang menghampirinya pun menoleh, “Kenapa dateng-dateng ketawa?” tanya Bara yang ikut terkekeh, entahlah mengapa dirinya ikut tertawa, mungkin memang benar terkadang tawa seseorang dapat menular.

“Gue nggak kuat sama pertanyaan aneh lo tadi,” ucap Yara masih tertawa sebelum melanjutkan kalimatnya, “Masuk ke tempat sampah?” lanjutnya dengan nada yang seolah-olah dibuat persis jika Bara mengatakannya secara langsung, “Ya menurut lo aja Bar, ngapain juga gue nyuruh lo masuk ke tempat sampah. Hahahaha,” celoteh Yara yang tidak bertemu ujungnya membuat Bara hanya senyum memperhatikan perempuan itu yang tengah asik tertawa sendiri.

Yara menyadari ketika hanya dirinya yang sedang tertawa, “Eh cuma gue doang ya yang nganggep lucu? Kok lo diem aja, malah senyam-senyum?” protes Yara.

“Ya, abisnya lebih lucu lo yang lagi bawel daripada kejadian itu,” kata Bara sembari memberikan helm yang ia pinjam dari Sena.

“Dih,” kesal Yara lalu menerima helm dan memakainya. Bohong jika jatungnya tidak berdegub saat ini karena baru saja ia mendapat gombalan tiba-tiba dari seseorang yang sudah ia suka sejak lama.

“Ayo naik, keburu hujan.” Bara sedikit memajukkan tubuhnya untuk memberikan space agar Yara bisa duduk dengan nyaman, perempuan itu mengangguk lalu naik ke atas motor untuk duduk tepat dibelakang Bara.

“Kenalan dulu gih, Ra.”

“Hah? Apa Bar?” Yara memajukan sedikit tubuhnya, ia tidak begitu jelas mendengar ucapan Bara karena telinganya yang tertutup rapat oleh helm.

“Kenalan dulu.”

“Sama?”

“Sharma.”

“Oh, hahahaha hai Sharma salam kenal,” pekik Yara antusias pada motor vespa hitam yang sedang ia tumpangi dan Bara yang mendengar hanya menyinggungkan senyumnya.

“Pegangan nggak?” tanya Bara dari balik kaca helmnya.

“Nggak.”

“Padahal pinggang gue nganggur nih nggak ada job,” goda Bara.

“Ngomong mulu, keburu hujan!”

“Yaudah, kalo jatoh nggak tanggung jawab ya.”

“Iya, buruan deh.” Yara memukul punggung Bara dan laki-laki itu tertawa, lalu mulai melajukkan motornya membelah jalanan kota Bandung pada sore menuju malam yang mendung, ditemani gemuruh langit yang sesekali masih hadir untuk menyapa mereka.


Langit semakin menggelap, awan hitam pun enggan pergi dan tetap mendominasi langit Bandung.

Tik

Bara merasakan setetes air jatuh pada helm yang ia kenakan, “Ra, hujan ya?” tanya Bara dengan suara yang cukup kencang agar Yara bisa mendengar.

“Hah?” Tapi ternyata helm yang Yara kenakan benar-benar menutup rapat telinga sang puan, ditambah suara bising dari kendaraan lain yang membuatnya sulit untuk mendengar suara Bara. Yara kembali memajukkan tubuhnya agar bisa mendengar lebih jelas.

“Hujan ya?” tanya Bara sekali lagi.

“Hujan? Nggak tuh,” jawab Yara sambil mengadahkan tangannya untuk mengecek.

“Hujan tau, Ra. Gerimis,” yakin laki-laki itu. Tetapi berbeda dengan Bara, justru Yara tetap yakin bahwa hujan belum turun.

Tik...Tik...Tik...

Makin lama Bara merasakan tetesan air yang mengenai helmnya semakin banyak, hingga akhirnya Bara membelokkan motornya ke pinggir untuk berteduh di sebuah warung nasi padang tepi jalan.

“Kok berhenti?” tanya Yara.

“Sini, Hujan Ra,” ajak Bara menarik pelan lengan Yara untuk berteduh di bawah atap warung nasi padang tadi.

“Loh, iya hujan,” ucap Yara yang baru menyadari ketika hujan semakin deras.

“Sorry, Ra, lo jadi kehujanan,”

“Kenapa lo minta maaf?” heran Yara.

“Ya, harusnya kalo lo sama Bang Pram aman naik mobil, tapi sama gue malah jadi kena hujan. Baju lo basah nggak?” Bara mengecek baju yang Yara kenakan, ia ingat jika Yara tidak menyukai saat pakaiannya basah terkena hujan.

“Apaan sih? Nggak papa kali, gue naik gojek kan juga sering kayak gini.” Yara menyanggah kalimat yang Bara ucapkan barusan.

“Lo sebelah sini deh, di situ kena cipratan air.” Bara menggeser tubuh Yara perlahan agar mereka bertukar tempat.

“Nggak usah ih, nggak papa, nggak usah lebay deh, Bar. Hahahaha,” ucap Yara lalu tertawa melihat tingkah Bara yang sibuk memperhatikan setiap cipratan air yang mengenai tubuh perempuan itu. Tapi pada akhirnya mereka tetap bertukar tempat karena tenaga Bara yang mampu menggeser tubuh Yara dengan mudah.

Sekitar 15 menit mereka diam berdiri menatap air hujan, perlahan hujan mulai mereda tapi bukan berarti sudah berhenti. Beberapa orang yang tadi ikut berteduh satu-persatu memilih untuk melanjutkan perjalanan kembali, tapi Bara masih diam menunggu sampai hujan benar-benar berhenti.

“Ayo, Bar?” ajak Yara.

“Masih hujan,” balas Bara.

“Nggak papa, kita hujan-hujanan.” Yara tersenyum dengan mata yang berbinar ketika menatap Bara yang sedang mengerutkan keningnya.

“Kan lo nggak suka hujan-hujanan?”

“Tapi kan lo suka.”

“Ya terus?” Bara terkekeh mendengar jawaban Yara.

“Lagian kan lo bilang gue harus cobain hujan-hujanan di umur segini?”

“Iya tapi nggak sekarang, besok lagi.”

“Kenapa? Apa bedanya? Sekarang aja, mumpung lagi sama lo. Lagian hujannya udah nggak begitu gede nih, jarak pandang lo aman kan?”

“Besok juga bisa sama gue, lo nggak mau ketemu gue lagi?” tanya Bara.

“Ya mau.” Yara mengecilkan volume suaranya dan mengalihkan pandangan ke jalan raya di depannya, sementara di samping ada Bara yang sedang tersenyum gemas.

“Yaudah, besok lagi biar ketemu lagi.”

“Belom tentu hujan, ayo sekarang aja please.”

“Nanti sakit, Ra. Yang ada gue yang kena marah nyokap bokap lo bawa pulang anak gadisnya basah kuyup.”

“Nggak akan. Ayo lah, lagian rumah gue udah deket banget dari sini, nanggung!”

Perdebatan panjang mereka pun akhirnya dimenangkan oleh Yara. Tentu saja Bara menyerah ketika melihat Yara yang memohon-mohon di hadapannya, menurutnya Yara sangat lucu dan sulit untuk ditolak.

Keduanya kembali naik ke atas motor, “Lo pake jaket gue ya Ra?” tawar Bara.

“Nggak, ini kan gue pake flanel lumayan tebel,” tolak perempuan yang kini sudah duduk pada jok belakang.

“Kalo dingin bilang,” ucap Bara yang hanya dibalas anggukan kepala dari Yara.

Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan hujan yang masih mengguyur tanah Pasundan malam hari ini, lampu-lampu kendaraan roda empat dan dua semakin terlihat jelas. Bara mengendarai dengan perlahan dan mengambil sisi kiri jalan.

Yara merasakan cipratan air yang terus menghantam tubuhnya dan petrichor atau aroma alami yang dihasilkan hujan bercampur aspal mendominasi indra penciumannya, kedua hal itu seketika memberikan ketenangan untuk Yara. Perempuan itu tanpa sadar memejamkan mata dan menggenggam ujung kanan kiri jaket milik Bara, ia merasakan suatu hal yang baru. Tiba-tiba Yara menyadari apa mungkin yang dimaksud Bara tentang hal yang hanya dapat dirasakan saat hujan turun jawabannya adalah sebuah ketenangan ketika merasakan tetesan air hujan yang mengenai tubuh dan aroma petrichor ini.

Ketika masih kecil yang didapatkan saat bermain hujan-hujanan adalah sebuah kesenangan. Tetapi berbeda ketika sudah menginjak usia dewasa yang didapatkan saat bermain hujan-hujanan adalah sebuah ketenangan untuk jiwa dan pikiran.


Akhirnya motor Bara sampai di depan pagar rumah milik keluarga Yara, hujan sudah berhenti sejak 5 menit yang lalu.

Yara turun dari motor secara perlahan, “Bar, mau ganti baju aja nggak? Basah itu, nanti masuk angin kalo lo lanjut jalan pulang. Ini udaranya sisa angin soalnya,” tawar Yara.

“Ganti pake baju lo, Ra?” tanya Bara lalu terkekeh.

“Bukan dong, punya Abang atau Papa.”

Bara menaikkan kedua alisnya, “Lo punya Abang?” herannya. Walaupun faktanya mereka teman sejak SMP, tetapi Bara memang tidak sedekat itu sebelumnya dengan Yara sampai harus mengetahui silsilah keluarganya.

Seketika Yara mengulum bibirnya karena tidak sengaja memberitahu hal yang seharusnya tidak diberi tahu sekarang. Tapi ia sudah tidak peduli dengan kejahilan Abangnya, kali ini biar Bara mengetahui dengan sendirinya.

“Hm.” Yara berdehem sembari menganggukkan kepalanya.

“Baru tau gue.”

“Udah ayo masuk, sekalian keringin juga rambut sama badan lo,” ajak Yara.

“Nggak usah, Ra. Nggak enak.”

“Cepet parkirin Sharma disini,” perintah Yara pada Bara untuk memarkirkan motornya di samping pagar rumah.

Layaknya sebuah sihir, Bara pun patuh pada perintah perempuan itu untuk memarkirkan motornya.

Yara masuk ke dalam rumahnya diikuti dengan Bara di belakang, dibukanya pintu utama untuk masuk ke dalam rumah.

“Masuk, Bar,” ucap Yara.

“Basah, di luar aja gue.”

“Lo mau ganti baju jadi tontonan bibi seblak?!” Di seberang rumah Yara memang terdapat warung seblak yang saat ini sedang ramai dengan pembeli, maklum hujan baru saja berhenti memang enaknya makan yang panas dan pedas.

“Iya juga...”

Akhirnya Bara masuk dan Yara langsung mengajak laki-laki itu untuk masuk ke bagian lebih dalam rumahnya.

“Ra, nggak ada orang?”

“Ada, nih Mama,” ucap Yara dengan santai saat mereka berdua masuk sampai ruang keluarga, terlihat Mamanya yang sedang duduk pada sofa sembari menonton tayangan televisi.

Mereka berdua—Bara dan Mamanya Yara— tentu saja terkejut satu sama lain, tapi dengan cepat Bara mengayunkan kepalanya dan tersenyum canggung untuk menyapa Mamanya Yara. Ia segera menghampiri wanita yang parasnya sangat mirip dengan Yara, Bara menyalaminya dengan menempelkan punggung tangan wanita itu pada keningnya.

“Mah, ini temen aku numpang bebersih ya. Basah semua, sama pinjem baju Abang nggak papa kan?” izin Yara yang membuat Bara merasa tidak enak.

Mamanya bangkit dari duduk, “Nggak papa dek, nanti Mama ambilin baju Abang. Masuk aja,” ucapnya dengan senyum ramah, “Namanya siapa, Ra?”

Sebelum Yara yang menjawab, Bara sudah lebih dulu menjawabnya, “Bara, Tante.” Tidak lupa ia tersenyum.

“Oh iya, masuk aja Bara.”

“Sini,” ajak Yara lalu menunjuk kamar mandi.

“Lo cuci tangan sama kaki dulu aja sambil nunggu Mama gue ambilin baju.”

“Ra, ngerepotin nggak sih?”

Stop bilang lo ngerepotin, karena gue udah lebih banyak ngerepotin,” ucap Yara, dan Bara hanya tertawa sembari melepas jam tangannya sebelum masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci kaki.

Tidak lama, hanya selang beberapa menit Mamanya Yara sudah membawa kaos ganti untuk Bara.

“Ini, pake aja punya Abangnya Yara,” ucap Mamanya lalu memberikan kaos tersebut dan Bara menerimanya, tentu saja tidak lupa mengucapkan terima kasih setelahnya.

Selagi Bara membersihkan diri, Yara pun sama langsung menuju kamar mandi lain untuk mandi karena badannya terasa sangat lembab.


Setelah selesai membesihkan badan, hujan kembali turun cukup deras, mau tidak mau Bara harus menunggu sampai hujan berhenti kembali. Akhirnya Bara diajak untuk ikut makan malam terlebih dahulu dengan Yara dan Mamanya sembari menunggu hujan reda. Papa dan Abangnya memang belum pulang sejak tadi, kalau sang Papa masih ada urusan di kantor yang mengharuskan untuk pulang sedikit terlambat dan Abangnya masih menunggu ban mobil diganti dengan ban baru berhubung sempat terpotong karena hujan yang lumayan besar sore tadi.

Mereka pun selesai dengan makan malam, “Tante makasih, jadi ngerepotin,” ucap Bara ketika Mamanya Yara bangkit untuk membereskan piring-piring yang kotor.

“Sama-sama, sering kesini aja Bar, Yara juga pasti seneng tuh,” goda sang Mama pada Yara yang membuat perempuan itu refleks menyangkal dengan nada yang sedikit meninggi.

“Apaan deh, Ma?!” sewot Yara.

“Loh, kalo emang nggak ya nggak usah teriak gitu ya, Bar?” Lagi-lagi Mamanya menggoda yang kali ini mengajak Bara untuk kerjasama, Yara hanya mendengus kesal, “Lagian kayaknya baru sekarang Adek bawa teman laki-laki ke rumah.” Mamanya menekan kata teman pada kalimat barusan.

“Iya Tante. Biasanya kalo responnya kayak gitu berarti bener emang seneng,” sahut Bara lalu tesenyum menoleh ke arah Yara yang membuat Yara merasa kikuk.

“Ah, lo malah ikut-ikutan. Mending tunggu ruang tamu sana,” perintah Yara membuat Mamanya dan Bara tertawa, “Sering kali Ma, Evan, Gio, Adam, Reza?” Yara malah menyebutkan nama-nama temannya.

“Ya itu kan biasanya dateng ramean. Yaudah, tante beberes dulu ya, Bar.”

“Butuh bantuan nggak, Tante?” tanya laki-laki itu dengan sopan dan mendapat gelengan kepala dari Mamanya Yara, alhasil Bara beranjak dari ruang makan lalu berjalan ke arah ruang tamu untuk duduk di sana.

Bara memicingkan matanya saat melihat figura besar dengan gambaran sebuah keluarga yang harmonis beranggotakan Ayah, Ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Sudah jelas bahwa anak perempuan itu adalah Yara, tapi anak laki-laki itu ia seperti tidak asing.

’Diliat dari jauh aja cantik, kok bisa ya,’ batin Bara melihat Yara yang tersenyum seakan sedang menatapnya, dan ia kini tidak sadar ikut tersenyum.

Bara kembali beranjak untuk melihat lebih dekat dan seketika ia membulatkan matanya karena terkejut dengan apa yang dirinya lihat saat ini.

‘Naha aya budak ieu, anying?’ batinnya ketika melihat Pram yang juga seakan tersenyum kearahnya. Tapi berbeda dengan senyum Yara, bagi Bara senyum Pram terlihat seperti sedang meledek.

Yara pun akhirnya datang membawa dua kaleng minuman soda rasa sarsaparilla kesukaannya dan juga hairdryer untuk digunakan Bara.

“Nih, keringin rambut lo.” Yara memberikan hairdryer itu dan Bara menerimanya lalu mencari stop kontak untuk menyalakannya.

“Minum, mau nggak?” tawar Yara.

“Nggak suka gue,” ucap Bara yang membuat Yara merasa heran.

“Bukannya lo suka juga ya?”

“Nggak.” Sampai saat ini Bara belum sadar dengan apa yang ia katakan.

“Lah? Yang di instagram story?”

Bara diam beberapa detik karena ia baru saja sadar lalu setelahnya tersenyum seakan-akan habis tertangkap basah, “Itu boong,” jawab Bara.

“Aneh banget, lo ngapain boong anjir.”

“Ya biar lo reply story gue lah, apa lagi?” jawab Bara to the point.

Benar-benar apa yang dikatakan dan dilakukan Bara selalu tiba-tiba menurut Yara, membuat dirinya bingung harus bereaksi seperti apa.

“Nggak jelas.” Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Yara, lalu setelahnya ia menegak minuman yang ada ditangannya untuk menetralkan degub jantung.

“Lagian habis hujan-hujanan tuh minum teh anget, ini malah minum soda, udah gitu dingin lagi,” celoteh Bara.

“Gue udah dua hari nggak minum ini,”

“Kalo nggak minum tiga hari bisa kejang-kejang apa gimana?”

Yara mengangguk, “Kurang lebih.” Mendengar jawaban Yara membuat Bara tergelak bukan main.

Bara akhirnya selesai mengeringkan rambut, lalu ia segera pamit pada Yara melihat jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 19.31

Keduanya berjalan beriringan ke depan untuk menghampiri motor Bara, laki-laki itu sudah naik ke atas motor lalu memakai helm dan siap untuk pergi dari sana.

Ingat akan satu hal Bara akhirnya membuka percakapan kembali, “Ra, Bang Pram itu sebenernya siapa? Abang lo?”

“Iya,” jawab Yara.

“Kok lo nggak bilang?!” omel Bara setelah mendapatkan jawaban yang seharusnya dari dulu ia ketahui, “Dia ngeprank gue ya? Selama ini gue kayak orang bego dong?”

“Lah emang gue nggak pernah bilang ya Bang Pram tuh Abang gue?” ucap Yara pura-pura tidak tahu, sejujurnya ia saat ini sedang menahan tawa.

“Nggak, Ra!”

“Oh.”

“Oh? Oh doang? Ya Allah Ra, gue dikerjain sama Abang lo, lo malah oh doang,” ucap Bara dengan wajah memelas.

Yara tertawa, “Ya jangan salahin gue dong, udah sana keburu makin malem.”

“Yaudah, gue balik ya,” pamit Bara.

“Iya, makasih ya, Bar. Hati-hati.”

“Eh, tapi emang bener, Ra, lo nggak pernah bawa cowo ke rumah selain gue?” tanya Bara dengan senyum jahilnya sebelum benar-benar pamit, sudah jelas tujuannya hanya untuk menggoda Yara.

“Pernah lah, lo kira gue jomblo dari lahir?! Maksud nyokap gue tuh yang sampe numpang bebersih sama ikut makan malem kayak lo tadi,” jelas Yara.

“Berarti gue pertama banget nih? Yes!” Senyum Bara merekah membuat Yara juga tidak tahan ingin ikut tersenyum.

“Udah ah sana!” usir Yara dengan tangan yang mengisyaratkan untuk segera pergi dari sini. Akhirnya Bara pun melajukkan motornya setelah mereka saling melambaikan tangan.

Semakin lama motor yang dikendarai Bara semakin jauh hingga tidak lagi terlihat dari pandangan Yara.

Saat ingin masuk ke dalam rumah tiba-tiba mobil Pram datang alhasil Yara harus membukakan pagar untuk manusia paling menyusahkan di rumah ini, kalo kata Yara.

Sekitar 20 menit Yara menunggu kedatangan Bara. Beberapa orang berlalu lalang di sekitar mobilnya dan bahkan ada banyak bapak-bapak yang nongkrong di warung membuat Yara sedikit merasa takut, padahal mereka hanya lewat tetapi ia tidak berhenti was-was pada keadaan sekitar.

Bara akhirnya datang dengan membawa satu jerigen berisi bensin, laki-laki dengan style jaket denimnya itu turun dari motor dan menghampiri Yara. Sebelumnya ia sudah menyuruh Axel untuk kembali ke tempat ia dan teman-temannya tadi berkumpul.

“Nuhun, Xel. Maneh langsung balik ke anak-anak aja, aing titip motor ya,” kata Bara, lalu menepuk pundak Axel.

“Nggak papa gue tinggal?” tanya Axel memastikan lalu mendapat anggukan kepala dari Bara, Axel pun pamit untuk meninggalkannya.

Yara akhirnya turun dari mobil. Ada perasaan lega ketika melihat Bara yang juga tengah menghampirinya, tidak sadar air mata Yara turun karena sedari tadi ia menahannya saat sedang panik-paniknya.

“Gimana bisa lupa isi bensin sih, Ra?” Bara terkekeh ke arah Yara sebelum akhirnya ia sadar perempuan itu tengah menangis.

“Lah, lo nangis?” Bara menyejajarkan tinggi badannya dengan Yara guna melihat wajah sang puan yang dengan cepat menggeleng sembari menyeka air mata dengan jari-jari tangannya.

Bara melihat tangan Yara yang masih gemetar saat menyeka air mata, ia pun langsung menenangkan perempuan itu dengan menepuk-nepuk pundaknya dengan perlahan dan sesekali mengelusnya.

“Udah nggak papa, lo aman karna gue udah di sini, Ra,” ucap Bara dengan lembut dan Yara hanya mengangguk sebagai balasannya.

Bara membukakan pintu depan kursi penumpang, ia memerintah Yara untuk masuk dan menunggu di dalam mobil.

“Masuk aja, Ra. Biar gue isi dulu tangki bensinnya.” Perempuan itu pun mengikuti perintah Bara untuk masuk ke dalam mobil.

“Tombol tangki bensinnya di mana, Ra?” tanya Bara sembari memperhatikan seluruh tombol di sekitar kemudi.

“Itu.” Yara menunjuk tombol di sebelah dashboard membuat mata Bara mengikuti arah telunjuk perempuan itu dan menekan tombol tersebut agar tangki terbuka.

“Bentar ya gue isi dulu,” ucap Bara, setelahnya berjalan sambil membawa jerigen bensin ke tangki yang terletak di kiri body mobil.

Ia membuka tutup tangki dan mulai memasukkan perlahan bahan bakar minyak yang biasa digunakan oleh kendaraan roda dua dan empat. Setelah selesai, Bara kembali menutup tangki dengan rapat lalu menaruh jerigen tadi di bagasi.

“Gue anterin ya, Ra?” tanya Bara ketika masuk dan duduk di kursi kemudi.

“Nggak ngerepotin, Bar?” Alih-alih menjawab, Yara justru balik bertanya.

“Nggak sama sekali. Badan lo masih lemes gitu, emang bisa bawa mobil?” kata Bara dan Yara pun dengan cepat menggelengkan kepalanya.

“Gue juga nggak yakin,” jawabnya.

“Yaudah gue anterin aja. Pake seatbeltnya.” Yara pun mengikuti perintah Bara untuk memakai seatbelt sebelum mobil yang dikendarai Bara melaju. Perlahan Bara menghidupkan mesin mobil dan melajukannya untuk meninggalkan jalan Taman Sari.


Rintik air turun dari langit yang perlahan mulai menutupi kaca depan mobil, Bara menyalakan wiper untuk membersihkan air yang mulai menghalangi pandangannya.

Musim sudah mulai berganti dari kemarau ke penghujan sejak bulan September lalu. Akhir tahun semakin dekat menandakan hujan akan turun lebih sering.

Yara menatap air hujan yang menari-nari pada kaca mobil, ia sangat lega karena hujan turun setelah dirinya sudah bertemu Bara.

“Untung hujan turun pas gue udah ketemu lo, kalo belum nggak tau deh mungkin tingkat kestressan gue bakal dititik paling tinggi,” ucap Yara yang masih menatap air hujan.

Bara terkekeh mendengar ucapan Yara, ia menoleh beberapa detik untuk melihat wajah perempuan itu.

“Lo suka hujan nggak?” tanya Bara tiba-tiba.

“Nggak, soalnya hujan suka ganggu aktifitas. Terus gue nggak suka kalo baju gue basah dan lembab, walaupun sedikit. Makanya gue nggak pernah hujan-hujanan yang disengaja gitu dari kecil,” jelas Yara panjang lebar.

“Serius?”

“Hm.” Yara berdehem sebagai jawaban.

“Di umur segini lo harus cobain hujan-hujanan, Ra.”

“Kenapa gitu?”

“Karna ada hal yang cuma bisa lo rasain pas hujan-hujanan,” jelas Bara.

“Apa itu?”

“Makanya cobain, nanti lo tau jawabannya.”

“Lo suka hujan?” Yara pun balik bertanya dan Bara mengangguk sebagai jawabannya, mata mereka sempat bertemu ketika laki-laki itu menoleh tapi setelahnya Bara kembali fokus pada jalanan.

Bara suka saat hujan turun, anugerah Tuhan katanya. Dan juga udara setelah hujan membuatnya merasa lebih tenang, seperti semua permasalahan hidupnya hilang mengikuti aliran air yang berjalan dari dataran tinggi ke permukaan tanah yang lebih landai. Laki-laki itu senang ketika mendengar suara hujan yang beradu dengan tanah atau atap rumah. Menurutnya, setelah hujan udara menjadi lebih bersih untuk dihirup sehingga sangat baik mengisi paru-paru dengan udara yang lebih segar.

“Lo suka hujan-hujanan, Bar?”

“Suka banget, malah waktu kecil pantat gue sering disabet pake sapu kasur sama bokap gue gara-gara hujan-hujanan mulu. Lo tau kan sapu kasur? Perih tuh kalo kena kulit langsung.” Yara tertawa geli mendengar cerita Bara.

“Tuh kan bener, emang sifat lo sebelas dua belas sama Shinchan. Terus lo kapok?”

“Ya nggak lah. Hari ini dimarahin, besoknya diulangin,” ucap Bara disertai dengan tawa diakhir. Sementara, Yara yang duduk di sebelahnya ikut tertawa sambil menggelengkan kepala mendengar cerita atas tingkah Bara ketika masih kecil.

“Hujan-hujanan tuh bikin sakit, makanya lo dimarahin. Bokap lo pasti galak ya, Bar?”

“Kalo sering hujan-hujanan, tubuh lo malah terbiasa. Jadi bakal jarang sakit, percaya nggak?” jelas Bara dengan ke-sok tauannya, teori ini yang ia ciptakan sendiri untuk tameng ketika dimarahi Bapak dan Bundanya.

Bara melanjutkan kalimatnya, “Dibilang galak banget sih nggak juga, dia marah kalo emang gue udah kelewatan aja. Malah bokap gue lebih banyak randomnya.”

“Serius? Random gimana maksudnya?” tanya Yara bersemangat karena dirinya penasaran.

“Ya random aja, sering buat jokes yang dia doang yang nganggep lucu. Kan gue kadang bingung ya mau ketawa tapi dosa karena kesannya ngeboongin orang tua, tapi mau diem aja juga kok kasian liat bokap gue udah mikir keras buat ngelucu.” Bara bercerita panjang lebar membuat Yara tidak bisa menahan tawanya.

“Bokap lo kayaknya seru ya Bar.” Rasa penasaran Yara yang semakin besar.

“Ya lumayan lah bisa kalo butuh badut ulang tahun.”

“Hahahaha, woy anak durhaka.”

“YaAllah bercanda, Pak. Lo mau ketemu?”

“Mau lah, gue penasaran sama kerandoman yang lo bilang barusan.”

“Yaudah nanti gue temuin.”

“Gue rasa sifat lo ini turunan dari bokap ya.”

“Katanya sih gitu.”

Lampu lalu lintas dari warna hijau berubah menjadi warna merah, yang artinya Bara harus memberhentikan mobil yang sedang ia kendarai.

Dingin AC mobil bercampur dengan dingin udara Bandung ketika hujan membuat Bara sesekali bergidik. Ia menoleh kearah Yara, dilihatnya tangan perempuan itu yang masih gemetar walaupun tidak separah sebelumnya, entah apa masih karena kejadian tadi atau karena dingin. Bara mengulurkan tangannya ke arah Yara yang membuat perempuan itu menoleh dan bingung.

“Gue boleh pegang tangan lo nggak?” izin Bara.

Deg

Seketika Yara mematung untuk beberapa detik, ia mengerutkan kedua alisnya dan memasang wajah bingung untuk menutupi memerah di wajahnya atas pertanyaan Bara.

“Nggak ada maksud apa-apa, cuma gue liat tangan lo gemeter dari tadi. Lo pegang aja tangan gue barangkali bisa ngeredain,” jelas Bara sebelum perempuan disampingnya berfikir macam-macam tentangnya.

“Ya boleh boleh aja, cuma nggak-“ Belum selesai Yara berbicara lebih dulu tangan Bara menggenggam tangannya dan sesekali mengelus-elusnya untuk menghantar kehangatan, sontak kegiatan itu membuat Yara kaget dan tubuhnya menegang untuk beberapa saat.

“Tangan lo dingin,” kata Bara.

“Tangan lo anget,” balas Yara.

Sekitar 5 menit tangan mereka saling menggenggam, lampu pun berubah menjadi warna hijau yang membuat genggaman itu terpaksa lepas karena Bara harus kembali melajukkan mobil.

“Serius lo gemeter karna masih takut apa dingin, Ra?”

‘KARNA LO, SINTING,” batin Yara.


Bara memberhentikan mobil tepat di depan gerbang rumah, akhirnya mereka sampai di rumah dengan gaya vintage modern milik keluarga Yara. Keduanya pun turun dari mobil, tidak lupa Bara mengambil jerigen bensin milik Iyas tadi di dalam bagasi.

“Sekalian masukin ke dalem aja nggak mobilnya, Ra?” tanya Bara.

“Nggak usah biar gue aja. Lo pulang gimana, Bar?”

“Gojek, bentar gue pesen gojek dulu.” Bara merogoh saku untuk mengeluarkan ponselnya, ia membuka aplikasi ojek online untuk memesan.

“Tadi motor lo gimana?” Yara penasaran.

“Dititipin ke Axel, makanya ini gue mau nyusul lagi kesana,” jelas Bara untuk menjawab rasa penasaran Yara dan perempuan itu hanya mengangguk tanda mengerti.

“Yaudah gih lo masuk, Ra.”

“Nggak, sekalian nunggu lo aja.”

“Gojek gue bentar lagi kok, masuk aja. Oh iya, nih kuncinya,” perintah Bara sembari memberikan kunci mobil dan Yara menerimanya.

“Nggak papa santai. By the way Bar, makasih banyak ya buat tadi. Maaf ngerepotin, padahal lo lagi kumpul sama temen-temen lo,” ucap Yara dan Bara menoleh ke arahnya alhasil mata mereka bertemu.

Bara tersenyum membuat Yara mengalihkan pandangannya ke arah lain, “Sama-sama, gue malah seneng lo minta bantuan ke gue di saat-saat kayak tadi,” tutur Bara dan Yara diam beberapa detik karena tidak tahu harus menjawab apa.

“Yaudah pokoknya makasih banyak! Oh iya, tadi bensin berapa Bar?” tanya Yara sambil merogoh tasnya, mengambil dompet berwarna hitam, ia mengingat untuk mengganti uang bensin yang tadi dibelikan Bara.

“Nggak usah, Ra. Simpen aja duit lo.”

“Lah, jangan gitu, gue udah ngerepotin malah makin ngerepotin.”

“Nggak papa, gue ikhlas. Pertaminanya gue beli buat lo juga bisa,” canda Bara dan Yara sontak tertawa mendengarnya.

“Asli nggak nih?”

“Bercanda dong, Ra. Kalo serius mah udah gue bawa lo ke pelaminan.” Bara tersenyum jahil setelah berkata seperti tadi membuat Yara bergidik lalu mendorong pelan pundak laki-laki itu.

“Mulut lo terlatih jadi buaya banget ya.“ Yara merasakan gerah di sekujur tubuhnya setelah mendengar perkataan Bara barusan, telinganya mulai memerah tanda jika ia sedang merasa malu.

“Kok buaya sih, gue kalo ibarat hewan cocoknya angsa.”

“Kok angsa?”

“Angsa kan simbol kesetiaan, lo nggak tau?” jawab Bara dengan percaya diri, mendengar jawaban laki-laki itu membuat Yara lagi-lagi tertawa dan kali ini sampai tersendak salivanya sendiri.

“Buset sekaget itu, Ra, abis denger fakta? Hahaha.” Bara ikut tertawa melihat Yara sedang terbatuk-batuk sembari menepuk-nepuk pundak perempuan itu.

Yara hanya mengangguk sembari menetralkan nafasnya. “Jadi, nggak jadi nih beliin gue pertamina?” ucapnya setelah merasa nafasnya kembali normal.

“Kebetulan gue bukan anaknya Chairul Tanjung, Ra, tapi anaknya bapak Wirandoko.”

“Hahahaha, yaudah sebagai gantinya kapan-kapan lo gue teraktir deh.”

Deal ya?” Bara mengulurkan tangannya untuk mengajak berjabat tanda sah.

Deal.” Yara menerima jabatan tangan Bara dan mereka pun tertawa bersama setelahnya.

Tidak lama gojek yang dipesan Bara pun datang, “Atas nama Bara Satya?” tanya sang driver.

“Iya saya, Pak.”

“Ra, gue balik ya,” pamit Bara sambil menerima helm dari driver dan setelah itu duduk pada jok belakang.

“Iya, hati-hati Bar,” sahut Yara melambaikan tangan.

“Pak, hati-hati ya nyetirnya,” lanjutnya.

“Tuh pak hati-hati kata calon pacar saya,” bisik Bara sambil menepuk pundak sang driver dengan pelan lalu dibalas dengan jempol dan kekehan dari driver itu.

Motor yang ditumpangin Bara pun mulai jalan menjauh hingga akhirnya hilang dari pandangan Yara. Perempuan itu membuka gerbang rumahnya untuk memasukkan mobil, sebelum akhirnya ia yang masuk ke dalam rumah.