Yang Lama Terpendam
2537 words
Pada kursi panjang di koridor ruang rawat inap, Giska duduk dengan perasaan campur aduk. Ibu jarinya sesekali mengusap layar ponsel ke kanan dan ke kiri tanpa arah pasti kemana tujuannya.
Beberapa perawat terlihat melewatinya, diantaranya ada yang memberikan senyuman kecil sebagai tanda keramahan padanya. Giska membalas senyuman itu.
Tubuhnya terasa lelah. Kalau diingat kembali, Giska belum tidur dari semalam. Matanya harus terjaga sepanjang malam karena Gilsa yang dengan tiba-tiba mengeluh ingin muntah, mau tidak mau ia harus siap dan sigap kalau-kalau adiknya muntah.
Tanpa sadar matanya terpejam untuk beberapa menit sebelum akhirnya Gya kembali membangunkannya.
“Gis,” panggil Gya.
Mata Giska terbuka, dilihatnya sang kakak sudah duduk di sampingnya. Ia menegakkan tubuhnya.
“Kenapa bisa jadi kayak gini?” tanya Gya tanpa basa basi.
Giska menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Gilsa nggak bilang apa-apa teh ke aku, nggak bilang kalo dia lagi sakit.” Giska tau jawabannya hanya membuat Gya kesal.
“Dari awal aku udah nyuruh kamu bawa Gilsa ke dokter, harusnya kamu dengerin!” bentak Gya.
“Bisa berhenti keras kepala nggak, Gis? Aku, Mama, Papa nitipin Gilsa ke kamu, kita percaya kamu bisa jaga dia karna kamu kakaknya.”
“Kamu kakaknya, Giska.” Gya mengulang kalimat terakhirnya.
“Mau bilang Gilsa yang nggak pernah bisa denger omongan kamu? Berarti ada yang salah di kamu, kenapa adik kamu nggak bisa dengerin kamu? Coba deh Gis, kalau kamu bisa sedikit lebih tegas dan pengertian sama Gilsa, dia pasti bisa dengerin.”
“Jadi Gilsa sakit karna aku?”
“Jelas-jelas aku udah nyuruh kamu bawa dia ke dokter, kamu lakuin nggak?”
“Iya maaf kalo aku kurang tegas.” Giska sedikit sadar akan hal itu.
“Gilsa itu lagi di fase mencari jati diri, banyak hal yang mau dia coba. Fase yang bikin Mama sama aku setiap hari khawatir sama dia. Aku, Mama sama Papa juga nggak mau ninggalin kalian berdua di Bandung, tapi kalo nggak gini kita mau makan apa? Bayar kuliah kamu gimana? Tolong ngerti, Gis.”
“Teteh, Mama sama Papa nggak nyuruh kamu cari uang. Biarin itu urusan kita. Tugas kamu ya lulus kuliah cepet dan jagain Gilsa.”
Giska diam. Bukan karna ia tidak memiliki argumen, tetapi mata dan tubuhnya terasa lelah bukan main untuk melawan Gya.
“Kamu mikirin nggak perasaan Mama gimana?”
Mungkin ini bukan saatnya untuk Giska diam.
“Kalo teteh mikirin nggak perasaan aku gimana?” Giska membuka suara.
Hening. Belum ada jawaban sampai akhirnya Giska kembali berbicara.
“Mau aku tunjukkin gimana usaha aku ngadepin Gilsa sampe berdarah-darah juga nggak ada gunanya. Kamu juga nggak mau tau kayaknya, yang kamu mau cuma semuanya harus berjalan sesuai keinginan kamu. Selebihnya kamu nggak peduli, apalagi perasaan aku. Mungkin itu hal paling nggak penting menurut kamu. Bener nggak?”
“Omongan kamu nggak usah kemana-mana, Gis. Kita lagi bahas Gilsa.”
Giska tertawa getir. “Tuh kan nggak penting.”
“Kemana kamu semalem? Kenapa yang bawa Gilsa ke rumah sakit Hanif?”
“Aku lagi skripsian.”
“Sampe tengah malem? Yang bener aja kamu, Gis. Skripsian atau kelayapan? Kamu tau kan kakak itu cerminan untuk adiknya? Gimana Gilsa nggak suka kelayapan sampe malem kalo kamu aja kayak gitu.”
Tatapan mata Gya seketika menciptakan atmosfer di koridor Rumah Sakit menjadi semakin dingin. Deru napas Giska semakin cepat, emosinya memuncak tetapi bisa tertahan.
“Semua ada alasannya, teh. Kenapa aku milih skripsian di luar.” Giska mengatur napasnya sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Di rumah sepi, kepala aku rasanya mau pecah lama-lama di rumah. Perasaan sedih, takut, khawatir, kecewa selalu aku rasain kalo di rumah sendiri.”
“Aku cuma butuh keluar dari sana, aku butuh tenang buat beberapa waktu tanpa mikirin itu semua. Kamu nggak tau rasanya, karna kamu sekalipun nggak pernah nanyain kabar aku!”
Suara Giska terdengar tenang, ketenangan itu justru membuat Gya tercekat dan tubuhnya nyaris membeku.
Bertahun-tahun menjadi seorang kakak dari Giska, ia tidak pernah mendengar bagaimana sang adik mengutarakan perasaannya. Siang ini, pertama kalinya Gya mendengar kalimat itu. Kalimat menyedihkan tapi disampaikan dengan tenang tanpa tangisan di mata adiknya.
“Aku tau kamu baik-baik aja, aku percaya kamu bisa jaga diri kamu sendiri, Gis.”
“Yang menurut kamu baik-baik aja, ternyata nggak.”
Tanpa sadar tangan Giska mengepal dengan kuat.
“Aku nggak minta diturutin segala hal kayak Gilsa dan diperhatiin kayak Gilsa, cuma satu yang aku mau. Tanyain kabar aku juga teh, setidaknya satu bulan sekali kalo satu minggu sekali berat buat kamu.”
“Jangan malah tanyain kabar skripsi aku dan nekan aku untuk cepet lulus. Aku juga berusaha. Dibanding itu, tanya apa aku baik-baik aja? Apa hari ini berjalan sesuai sama keinginan aku? Apa aku sehat? Tanya sekali aja, kasih aku pertanyaan yang biasa kamu tanya ke Gilsa.”
“Bukan cuma kamu. Pertanyaan-pertanyaan itu juga nggak pernah aku dapet dari Mama. Aku masih punya keluarga, tapi nggak ada satupun yang bisa meluk aku. Aku masih punya keluarga, tapi semua kesalahan dilimpahin ke aku seakan-akan emang aku yang salah.”
Giska berhasil mengutarakan rasa yang selama ini ia pendam hingga membusuk dan sudah terlanjur menjadi luka yang bernanah. Gadis itu menunduk, ia berharap air mata bisa berlinang di bawah matanya dan menunjukkannya di hadapan Gya, kalau apa yang ia rasakan memang sesakit itu. Namun kenyataannya, dirinya lebih kuat dari yang dibayangkan.
“TETEH NGGAK TAU KAN TERNYATA SEGININYA AKU NYIMPEN SEMUANYA?” Tiba-tiba nada bicara Giska meninggi. Bagian belakang kepala gadis itu terasa memberat.
“Nggak usah teriak! Telinga aku masih bisa denger dengan baik ya Giska.” Gya tidak mau kalah, matanya menyalang ke arah Giska.
“Kamu pikir di keluarga ini cuma kamu yang menderita? Cuma kamu yang nyimpen semuanya sendiri? Nggak. Kamu nggak tau apa-apa, Gis! Dan nggak perlu tau. Semua yang aku lakuin, kamu nggak tau apa aja yang terjadi dibaliknya. KAMU MENDERITA, SAMA AKU JUGA!” Wajah Gya memerah, deru napasnya semakin cepat hingga tubuhnya bergetar.
Beberapa pasang mata memperhatikan perdebatan mereka. Koridor yang awalnya sunyi, seketika dipenuhi gema dari suara mereka berdua. Keduanya memancarkan aura kemarahan yang sudah lama terpendam, tidak ada yang berani menegur atau bahkan menyentuh mereka. Semua orang di sana seolah-olah memberikan ruang pada Gya dan Giska untuk saling mengetahui perasaannya masing-masing.
Giska susah payah menelan ludahnya. Lehernya terasa seperti tercekat.
“Kayaknya percuma aku ngomong panjang lebar, toh kamu juga nggak akan paham.” Giska bangkit dari duduknya.
“Gis, udah. Jangan kekanak-kanakan. Kamu pikir ngerengek kayak gini bisa bikin kesalahan kamu ke Gilsa mereda. Kamu tetep salah ya. Sekarang yang mau aku bahas disini Gilsa, kalo mau bahas itu bisa nanti malem kita ngobrol lagi di rumah.”
“Iya aku salah, aku minta maaf udah lalai sampe Gilsa harus dirawat. Dan aku sangat amat berterima kasih, karna teteh, aku masih bisa makan dan hidup dengan layak. Tapi satu hal yang harus kamu tau, bukan cuma dukungan materil yang aku butuh. Aku juga butuh dukungan moral kayak yang kamu lakuin ke Gilsa.”
Giska meraih tasnya, “Hari ini aku izin nggak akan pulang ke rumah, jadi nggak ada yang perlu diobrolin lagi.”
“Satu lagi. Jangan egois teh, nanti lupa caranya minta maaf.”
Giska pergi menjauh meninggalkan Gya yang sedang termangu. Ia pergi tanpa memberikan ucapan selamat tinggal yang lebih layak pada Gya. Giska hanya berusaha menjauh, kembali mengasingkan diri dari keramaian.
Bagaikan kepingan puzzle yang sudah lama dibiarkan utuh, hari ini gadis itu melemparnya hingga berantakan tak berbentuk lagi. Entah siapa yang bisa menyusunnya kembali, ia tidak terlalu peduli. Setidaknya Giska bisa merasa sedikit lega saat ini.