imaginatiocn

2537 words

Pada kursi panjang di koridor ruang rawat inap, Giska duduk dengan perasaan campur aduk. Ibu jarinya sesekali mengusap layar ponsel ke kanan dan ke kiri tanpa arah pasti kemana tujuannya.

Beberapa perawat terlihat melewatinya, diantaranya ada yang memberikan senyuman kecil sebagai tanda keramahan padanya. Giska membalas senyuman itu.

Tubuhnya terasa lelah. Kalau diingat kembali, Giska belum tidur dari semalam. Matanya harus terjaga sepanjang malam karena Gilsa yang dengan tiba-tiba mengeluh ingin muntah, mau tidak mau ia harus siap dan sigap kalau-kalau adiknya muntah.

Tanpa sadar matanya terpejam untuk beberapa menit sebelum akhirnya Gya kembali membangunkannya.

“Gis,” panggil Gya.

Mata Giska terbuka, dilihatnya sang kakak sudah duduk di sampingnya. Ia menegakkan tubuhnya.

“Kenapa bisa jadi kayak gini?” tanya Gya tanpa basa basi.

Giska menghela napas panjang sebelum menjawab.

“Gilsa nggak bilang apa-apa teh ke aku, nggak bilang kalo dia lagi sakit.” Giska tau jawabannya hanya membuat Gya kesal.

“Dari awal aku udah nyuruh kamu bawa Gilsa ke dokter, harusnya kamu dengerin!” bentak Gya.

“Bisa berhenti keras kepala nggak, Gis? Aku, Mama, Papa nitipin Gilsa ke kamu, kita percaya kamu bisa jaga dia karna kamu kakaknya.”

“Kamu kakaknya, Giska.” Gya mengulang kalimat terakhirnya.

“Mau bilang Gilsa yang nggak pernah bisa denger omongan kamu? Berarti ada yang salah di kamu, kenapa adik kamu nggak bisa dengerin kamu? Coba deh Gis, kalau kamu bisa sedikit lebih tegas dan pengertian sama Gilsa, dia pasti bisa dengerin.”

“Jadi Gilsa sakit karna aku?”

“Jelas-jelas aku udah nyuruh kamu bawa dia ke dokter, kamu lakuin nggak?”

“Iya maaf kalo aku kurang tegas.” Giska sedikit sadar akan hal itu.

“Gilsa itu lagi di fase mencari jati diri, banyak hal yang mau dia coba. Fase yang bikin Mama sama aku setiap hari khawatir sama dia. Aku, Mama sama Papa juga nggak mau ninggalin kalian berdua di Bandung, tapi kalo nggak gini kita mau makan apa? Bayar kuliah kamu gimana? Tolong ngerti, Gis.”

“Teteh, Mama sama Papa nggak nyuruh kamu cari uang. Biarin itu urusan kita. Tugas kamu ya lulus kuliah cepet dan jagain Gilsa.”

Giska diam. Bukan karna ia tidak memiliki argumen, tetapi mata dan tubuhnya terasa lelah bukan main untuk melawan Gya.

“Kamu mikirin nggak perasaan Mama gimana?”

Mungkin ini bukan saatnya untuk Giska diam.

“Kalo teteh mikirin nggak perasaan aku gimana?” Giska membuka suara.

Hening. Belum ada jawaban sampai akhirnya Giska kembali berbicara.

“Mau aku tunjukkin gimana usaha aku ngadepin Gilsa sampe berdarah-darah juga nggak ada gunanya. Kamu juga nggak mau tau kayaknya, yang kamu mau cuma semuanya harus berjalan sesuai keinginan kamu. Selebihnya kamu nggak peduli, apalagi perasaan aku. Mungkin itu hal paling nggak penting menurut kamu. Bener nggak?”

“Omongan kamu nggak usah kemana-mana, Gis. Kita lagi bahas Gilsa.”

Giska tertawa getir. “Tuh kan nggak penting.”

“Kemana kamu semalem? Kenapa yang bawa Gilsa ke rumah sakit Hanif?”

“Aku lagi skripsian.”

“Sampe tengah malem? Yang bener aja kamu, Gis. Skripsian atau kelayapan? Kamu tau kan kakak itu cerminan untuk adiknya? Gimana Gilsa nggak suka kelayapan sampe malem kalo kamu aja kayak gitu.”

Tatapan mata Gya seketika menciptakan atmosfer di koridor Rumah Sakit menjadi semakin dingin. Deru napas Giska semakin cepat, emosinya memuncak tetapi bisa tertahan.

“Semua ada alasannya, teh. Kenapa aku milih skripsian di luar.” Giska mengatur napasnya sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Di rumah sepi, kepala aku rasanya mau pecah lama-lama di rumah. Perasaan sedih, takut, khawatir, kecewa selalu aku rasain kalo di rumah sendiri.”

“Aku cuma butuh keluar dari sana, aku butuh tenang buat beberapa waktu tanpa mikirin itu semua. Kamu nggak tau rasanya, karna kamu sekalipun nggak pernah nanyain kabar aku!”

Suara Giska terdengar tenang, ketenangan itu justru membuat Gya tercekat dan tubuhnya nyaris membeku.

Bertahun-tahun menjadi seorang kakak dari Giska, ia tidak pernah mendengar bagaimana sang adik mengutarakan perasaannya. Siang ini, pertama kalinya Gya mendengar kalimat itu. Kalimat menyedihkan tapi disampaikan dengan tenang tanpa tangisan di mata adiknya.

“Aku tau kamu baik-baik aja, aku percaya kamu bisa jaga diri kamu sendiri, Gis.”

“Yang menurut kamu baik-baik aja, ternyata nggak.”

Tanpa sadar tangan Giska mengepal dengan kuat.

“Aku nggak minta diturutin segala hal kayak Gilsa dan diperhatiin kayak Gilsa, cuma satu yang aku mau. Tanyain kabar aku juga teh, setidaknya satu bulan sekali kalo satu minggu sekali berat buat kamu.”

“Jangan malah tanyain kabar skripsi aku dan nekan aku untuk cepet lulus. Aku juga berusaha. Dibanding itu, tanya apa aku baik-baik aja? Apa hari ini berjalan sesuai sama keinginan aku? Apa aku sehat? Tanya sekali aja, kasih aku pertanyaan yang biasa kamu tanya ke Gilsa.”

“Bukan cuma kamu. Pertanyaan-pertanyaan itu juga nggak pernah aku dapet dari Mama. Aku masih punya keluarga, tapi nggak ada satupun yang bisa meluk aku. Aku masih punya keluarga, tapi semua kesalahan dilimpahin ke aku seakan-akan emang aku yang salah.”

Giska berhasil mengutarakan rasa yang selama ini ia pendam hingga membusuk dan sudah terlanjur menjadi luka yang bernanah. Gadis itu menunduk, ia berharap air mata bisa berlinang di bawah matanya dan menunjukkannya di hadapan Gya, kalau apa yang ia rasakan memang sesakit itu. Namun kenyataannya, dirinya lebih kuat dari yang dibayangkan.

“TETEH NGGAK TAU KAN TERNYATA SEGININYA AKU NYIMPEN SEMUANYA?” Tiba-tiba nada bicara Giska meninggi. Bagian belakang kepala gadis itu terasa memberat.

“Nggak usah teriak! Telinga aku masih bisa denger dengan baik ya Giska.” Gya tidak mau kalah, matanya menyalang ke arah Giska.

“Kamu pikir di keluarga ini cuma kamu yang menderita? Cuma kamu yang nyimpen semuanya sendiri? Nggak. Kamu nggak tau apa-apa, Gis! Dan nggak perlu tau. Semua yang aku lakuin, kamu nggak tau apa aja yang terjadi dibaliknya. KAMU MENDERITA, SAMA AKU JUGA!” Wajah Gya memerah, deru napasnya semakin cepat hingga tubuhnya bergetar.

Beberapa pasang mata memperhatikan perdebatan mereka. Koridor yang awalnya sunyi, seketika dipenuhi gema dari suara mereka berdua. Keduanya memancarkan aura kemarahan yang sudah lama terpendam, tidak ada yang berani menegur atau bahkan menyentuh mereka. Semua orang di sana seolah-olah memberikan ruang pada Gya dan Giska untuk saling mengetahui perasaannya masing-masing.

Giska susah payah menelan ludahnya. Lehernya terasa seperti tercekat.

“Kayaknya percuma aku ngomong panjang lebar, toh kamu juga nggak akan paham.” Giska bangkit dari duduknya.

“Gis, udah. Jangan kekanak-kanakan. Kamu pikir ngerengek kayak gini bisa bikin kesalahan kamu ke Gilsa mereda. Kamu tetep salah ya. Sekarang yang mau aku bahas disini Gilsa, kalo mau bahas itu bisa nanti malem kita ngobrol lagi di rumah.”

“Iya aku salah, aku minta maaf udah lalai sampe Gilsa harus dirawat. Dan aku sangat amat berterima kasih, karna teteh, aku masih bisa makan dan hidup dengan layak. Tapi satu hal yang harus kamu tau, bukan cuma dukungan materil yang aku butuh. Aku juga butuh dukungan moral kayak yang kamu lakuin ke Gilsa.”

Giska meraih tasnya, “Hari ini aku izin nggak akan pulang ke rumah, jadi nggak ada yang perlu diobrolin lagi.”

“Satu lagi. Jangan egois teh, nanti lupa caranya minta maaf.”

Giska pergi menjauh meninggalkan Gya yang sedang termangu. Ia pergi tanpa memberikan ucapan selamat tinggal yang lebih layak pada Gya. Giska hanya berusaha menjauh, kembali mengasingkan diri dari keramaian.

Bagaikan kepingan puzzle yang sudah lama dibiarkan utuh, hari ini gadis itu melemparnya hingga berantakan tak berbentuk lagi. Entah siapa yang bisa menyusunnya kembali, ia tidak terlalu peduli. Setidaknya Giska bisa merasa sedikit lega saat ini.

442 words.

Setelah Hanif pergi menjauh dan seluruh orang membubarkan diri untuk melanjutkan aktifitas yang sempat tertunda karena sebuah drama.

Giska kembali terduduk dikursi.

Saat ini kata 'kalau' sedang memenuhi isi kepalanya.

Kalau saja dirinya bisa lebih perhatian pada Gilsa... Kalau saja dirinya bisa menurunkan egonya sebagai seorang Kakak... Kalau saja dirinya mendengar kata-kata Teh Gya... Kalau saja dirinya bisa lebih tegas pada Gilsa... Dan kalau saja bukan dirinya yang menjadi seorang Kakak untuk Gilsa...

Mungkin tidak akan separah ini.

“Gue nggak becus Bay jadi kakak.” Ditariknya napas dalam-dalam. Giska kini mengutuk dirinya sendiri.

Akbar termenung.

“Gis, salah satu kegagalan terbesar seorang kakak itu pasti ketika dia gagal menjaga adeknya dan melihat mereka sedih atau kecewa.” Akbar menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya dan mendongakkan kepala menatap langit-langit, memproyeksikan seakan ada Mas Malik di sana.

“Gue emang nggak punya adek. Tapi Gis, gue sadar akan hal ini setelah liat gimana usaha Kakak gue untuk ngembaliin jiwa gue yang mati setelah ditinggal bokap. Semua dia lakuin mulai dari nemenin gue duduk di balkon rumah sambil minum entah itu teh, kopi atau cuma air mineral kayak yang biasa gue lakuin sama bokap. Dan gimana usaha kakak gue untuk melakukan kegiatan yang berseberangan sama kepribadiannya.”

“Kakak gue itu bukan tipe orang yang suka merayakan. Dari dulu setiap bokap gue buat perayaan apapun, Kakak gue selalu ikut untuk sekedar formalitas. Setelah acara tiup lilin dan potong kue, dia selalu masuk lagi kedalam kamar.”

“Tapi di ulang tahun pertama gue tanpa bokap, kakak gue siapin segalanya untuk merayakan ulang tahun gue. Mulai dari kue, balon bentuk angka satu sama delapan, sampe usaha dia ngumpulin temen-temen gue di rumah.”

“Dari situ gue sadar kalo kakak gue lagi berusaha jadi kakak terbaik versinya dan memastikan agar gue nggak pernah merasa kehilangan semua kebiasaan gue sama bokap walaupun bokap udah nggak ada.” Akbar menarik napas dalam-dalam.

“Jadi, makasih ya Gis udah jadi kakak terbaik versi lo untuk Gilsa. Makasih udah selalu pasang badan dan mengusahakan segala hal untuk dia. Kalo tadi adek lo liat, dia pasti bakal kagum karna punya kakak yang keren.”

Tangis Giska seketika pecah, ia benamkan wajahnya pada kedua telapak tangan. Giska hanya tidak ingin kembali menjadi pusat perhatian, sampai-sampai ia menahan suara tangisnya agar orang lain tidak bisa mendengar.

“Nangis aja, Gis. Jangan ditahan,” ucap Akbar.

Laki-laki itu melepas jaket yang ia gunakan lalu melampirkan jaketnya di kepala Giska untuk menutupi wajah gadis itu.

“Udah nggak ada yang liat. Nangis aja,” bisiknya lagi.

Dan cara itu kembali berhasil membuat Giska membebaskan air matanya turun tanpa ampun.

Akbar hanya duduk di sebelah Giska, membiarkan Giska larut dalam kesedihannya. Kini, ia hanya perlu memastikan bahwa perempuan itu tidak sendirian.

1149 words.

Giska bergegas lari masuk ke dalam rumah sakit meninggalkan Akbar yang masih mencari parkir. Kakinya berlari seakan hafal di mana letak ruang IGD.

Tepat ia memasuki ruangan, matanya langsung menangkap Hanif yang sedang duduk menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong. Giska menarik kasar baju laki-laki itu dan memaksanya untuk bangkit dari duduk.

“Di mana adek gue?” bentak Giska dengan matanya yang menyalang.

Hanya respon terkejut yang diberikan Hanif, bibir laki-laki itu terasa kelu meski ia hanya perlu mengucapkan satu kata.

Keheningan terjadi beberapa detik, wajah Giska semakin memerah. Jika ia tidak ingat bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit, mungkin berbagai macam sumpah serapah sudah keluar dari mulutnya.

Tidak lama seorang petugas menghampiri Giska dan menenangkannya. Akhirnya ia melepaskan genggamannya dari baju Hanif, dihempaskannya tubuh laki-laki itu sampai terduduk kembali.

“Kakaknya wali dari Gilsa?” tanya petugas itu.

“Iya saya kakaknya.”

“Gilsanya di sebelah sana, mari saya antar.”

Urusannya dengan Hanif belum selesai, tapi untuk saat ini ia hanya ingin memastikan keadaan Gilsa. Kakinya kembali melangkah mengikuti langkah petugas.

“Gilsa ada di dalam, baru aja diberi obat jadi mungkin lagi istirahat kak.”

Giska mengangguk, “Makasih ya.”

Giska membuka sampiran dan menemukan Gilsa di sana yang sedang tertidur tenang dengan selang infus yang tersambung.

Tubuhnya seketika melemas menatap tubuh adiknya. Tidak pernah sekalipun melihat Gilsa terbaring lemah di Rumah Sakit. Hatinya hancur dan tanpa henti menyalahkan dirinya sendiri.

Tidak lama seorang perawat datang.

“Permisi, kakak dengan walinya Gilsa ya?”

“Iya, Mba.”

“Saya mau menginformasikan, kebetulan dokter yang menangani saudari Gilsa sedang menangani pasien lain. Saya diminta untuk menyampaikan, berdasarkan dari kadar hemoglobin dari saudari Gilsa itu sudah menyentuh di angka 9.8 gram per desiliter. Untuk normalnya kadar hemoglobin wanita berkisar antara 12 sampai 15 gram per desiliter. Dalam kasus saudari Gilsa, ini termasuk kedalam anemia ringan tetapi dengan gejala yang berat karena saat sampai ke IGD saudari Gilsa dalam keadaan pingsan. Dokter merekomendasikan saudari Gilsa untuk dirawat inap karena gejalanya yang terbilang berat. Seperti itu kak, untuk keputusan kami kembalikan ke keluarga. Jika sudah menentukan keputusan, kakak bisa langsung melakukan pendaftaran rawat inap ya. Terima kasih.” Perawat menjelaskan dengan hati-hati.

Sedangkan Giska, bahkan ia tidak tahu harus mengekspresikan diri seperti apa lagi. Rasanya seperti dihantam satu bongkah batu besar, dunianya yang sudah hancur kini semakin hancur lebur tidak berbentuk ketika mendengar penjelasan itu.

Keluhan pusing yang sering ia dengar dari Gilsa ternyata bukan hanya sekadar alasan untuk adiknya bolos dari kelas fisika. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah benar yang diucapkan Teh Gya pada dirinya. Giska itu seorang Kakak, tapi kenapa tidak bisa tegas.

Saat itulah tangisnya terurai. Kalau saja kemarin ia mengikuti perintah Kak Gya untuk membawa Gilsa ke Dokter. Kalau saja ia bisa lebih tegas dan memaksa Gilsa untuk ke Dokter. Mungkin tidak akan separah ini keadaannya.


Giska duduk pada kursi yang ada di luar IGD. Ponsel ditangannya memperlihatkan room chat Teh Gya, sudah berkali-kali perempuan itu mengetik tetapi setelahnya ia hapus kembali.

Ia tidak takut dimarahi, tapi yang lebih ia takuti adalah membuat mama dan papanya yang jauh menjadi khawatir, terlebih lagi saat ini jam menunjukkan pukul setengah 2 malam.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Semula jauh kini semakin dekat, hingga si pemilik hinggap dan berdiri tepat dihadapan Giska.

Giska mendongakkan kepalanya, ia menemukan Hanif dengan penampilannya yang terlihat lebih kacau dari sebelumnya. Rambutnya yang berantakan dan matanya seakan dipenuhi oleh awan mendung yang siap menumpahkan air kapanpun.

“Teh Giska, maaf.” Terdengar nada penyesalan di sana.

Lantas Giska berdiri dan menatap nyalang kearah Hanif untuk kedua kalinya.

“Ini emang salah saya, Teh. Maaf.” Permintaan maaf kedua keluar dari mulut Hanif.

Wajah Giska kembali memerah, tetapi ia terus berusaha mengontrol emosinya.

“Abis lo apain Gilsa?” tanyanya dengan tenang tapi tetap mengintimidasi.

“Sebelum Gilsa pingsan, kita sempet adu mulut. Nggak nyangka juga bisa sampe kayak gini, Gilsa juga nggak ada cerita kalo dia lagi sakit. Dia cuma bilang lagi haid.”

“Nggak nyangka? Terus baru nyeselnya sekarang?”

Hanif hanya menunduk.

“Berantem karna apa?”

“Masalah kecil aja, Teh.”

Giska terkekeh. “Gue kakaknya Gilsa, gue tau gimana sifat adek gue. Dia bukan tipe orang yang ngurusin masalah kecil, kalo kayak gini gue yakin masalahnya besar. Mau gue denger langsung dari mulut lo sendiri dan kita selesaiin ini baik-baik, atau gue cari tau sendiri dan lo terima konsekuensinya karna udah bikin adek gue pingsan sampe harus rawat inap?”

Keheningan pun terjadi. Tidak ada jawaban dari Hanif untuk beberapa detik, laki-laki itu mulai merasa tedesak dan takut.

“Gue hitung sampe tiga.”

“Satu.”

“Dua.”

“Ti...”

“Gilsa liat saya jalan sama cewe lain, Teh.”

Semula Giska tidak ingin membuat kegaduhan, tetapi akhirnya amarahnya pecah saat mendengar kalimat itu.

“Brengsek!”

Giska mendorong tubuh Hanif hingga oleng. Kalau saja laki-laki itu hilang keseimbangan, mungkin sudah jatuh bersimpuh di lantai.

“Anjing lo, laki-laki nggak tau diri! Nggak puas lo kalo cuma morotin adek gue? Sekarang apa udah puas lo udah bikin dia sakit hati dengan cara lo selingkuh? Dia itu udah sakit tapi lo buat makin sakit sampe harus dirawat kayak gini. Puas lo?” teriak Giska.

Kali ini Giska sudah tidak peduli dengan sekitarnya yang sedang menatapnya penasaran, ia hanya ingin membalas rasa sakitnya Gilsa.

Sedangkan Hanif tidak bisa berkutik, ia tetap menunduk mengarahkan matanya pada kedua ujung sepatu yang ia gunakan.

“Jangan kira gue selama ini nggak tau ya apa aja udah yang lo minta ke Gilsa. Gara-gara lo juga dia bisa bohongin gue bahkan bokap nyokapnya. Semua gara-gara lo!”

Mata Giska penuh dengan kemarahan, seakan tidak akan membiarkan laki-laki dihadapannya lolos begitu saja.

“Dia berani bohong, berani ngebantah, bahkan bolos sekolah dan bimbel. Mau sampe mana lo hancurin adek gue?”

Hanif masih tetap bungkam.

“Jawab anjing! Lo punya mulut nggak?!” teriak Giska dengan suara yang mulai bergetar. Teriakannya berhasil mendatangkan dua petugas Rumah Sakit dan..

Akbar.

Sedari tadi Akbar menunggu di kursi tunggu customer service karena ia menunggu balasan chat dari Giska. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan Akbar kenal suara itu, dengan langkah besar ia berlari menghampiri sumber suara.

Dilihatnya Giska yang sudah membabi buta. Akbar dengan cepat menahan tubuh Giska yang semakin bergetar karena tangisan dan amarahnya yang semakin meledak.

“Gis, tenang.” bisik Akbar menenangkan Giska.

Giska menepis tangan Akbar.

“Lo jauhin adek gue, jangan pernah hubungin dia lagi atau gue bawa masalah ini sampe ke orang tua dan sekolah!” ancam Giska.

“Tapi Teh..” Suara Hanif tecekat, ia tidak berani menyelesaikan kalimatnya.

“Tapi apa? Tapi lo masih sayang Gilsa? Kalo sayang nggak mungkin kepikiran buat selingkuh!”

“Saya nggak selingkuh, Teh.”

“Apapun alesannya, dari awal gue nggak suka sama lo karna selalu bawa pengaruh buruk buat adek gue! Pergi lo sekarang.”

“Kalo gitu sampein maaf saya untuk Gilsa,” lirih Hanif. Tanpa pembelaan apapun ia balik badan dan pergi menjauh dari sana.

Laki-laki itu sadar akan semua kesalahannya. Semua yang diucapkan Giska menyadarkan bahwa memang dirinya-lah tokoh jahat disini.

Dari kejadian ini juga membuatnya sadar. Dibalik tindakan cerobohnya pada Gilsa, ada keluarga yang akan terluka dan hancur melihat anak dan adik perempuannya disakiti laki-laki tidak tahu diri.

Kalau diberi kesempatan, Hanif mau berlutut di hadapan Gilsa.

588 words.

Dalam sekali hentakan Giska menutup laptopnya secara paksa, tidak peduli bagaimana draft skripsinya yang belum sempat ia simpan. Pikirannya yang carut marut membuatnya hilang kendali. Dimasukkannya seluruh barang dengan asal ke dalam ransel.

Sedangkan Akbar yang sedang asik bermain game diponsel mendadak berhenti. Dan hal yang mustahil terjadi, saat ini bisa terjadi. Kali ini, ia membiarkan karakternya tertembak oleh lawan tanpa perlawanan apapun setelah melihat Giska yang terlihat panik.

“Gis, kenapa?” tanya Akbar.

“Bay, gue duluan ya. Makasih banyak,” kata Giska tanpa menjawab pertanyaan Akbar.

Yang perempuan hendak bangkit untuk meninggalkan tempat, tetapi dengan cepat Akbar menahannya.

“Eh bentar. Gue tanya kenapa?”

“Gilsa,” lirih Giska.

Perlahan kepanikannya mereda dan digantikan dengan tangisan, kini dirinya kembali terduduk lemah membuat rasa panik berpindah pada Akbar yang melihat perempuan dihadapannya tiba-tiba menangis, lagi.

Akbar mematung ketika dirinya tidak tahu harus berbuat apa karena tiba-tiba terjadi begitu saja tanpa aba-aba, dari tempat duduknya ia menatap tubuh Giska yang terus bergetar.

Akhirnya laki-laki itu membuka suara, “Pelan-pelan, lo mau cerita sama gue?” tanya Akbar dengan tenang, berusaha tidak membuat Giska panik kembali. Sejujurnya ia sangat clueless karena tidak tahu siapa itu Gilsa dan apa yang baru saja terjadi.

“Nanti ya, Bay,” ucap Giska sembari membuka aplikasi gojeknya untuk memesan ojek online.

Akbar menahannya ketika Giska ingin menekan tombol pesan, lalu dimasukkannya ponsel Giska ke dalam tas perempuan itu.

“Nggak usah pesen gojek, ada gue,” kata Akbar dan langsung menggandeng Giska untuk keluar dari Cafe.

“Lo tunggu sini, gue matiin lampu sama kunci pintu dulu. Hitung 30 detik gue janji udah di sini lagi.” Setelah mengatakan itu, Akbar langsung berlari kembali masuk ke dalam Cafe untuk mematikan semua lampu dan mengunci pintu.

Tanpa memberikan jawaban, Akbar lebih dulu menjauh dari pandangan Giska. Ia menunggu sampai Akbar kembali, tanpa ia sadari dalam hatinya menghitung 30 detik seperti yang diperintahkan Akbar.

“Ayo,” ajak Akbar dengan napasnya yang terengah-engah. Hitungan Giska itu belum genap tiga puluh, tapi Akbar sudah kembali dihadapannya.


Sesampainya di rumah, perempuan itu langsung berlari masuk kedalam rumahnya. Diketuknya pintu hingga puluhan kali dan tidak henti-hentinya memanggil nama Gilsa, tapi nihil, tidak ada respon apapun yang Giska dapat dari dalam rumah.

Ia bergegas menengok vas bunga yang biasa dijadikan tempat menaruh kunci, dan ternyata kunci rumah masih tertata rapih seperti semula saat Giska menaruhnya.

Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya, telapak tangannya terasa basah hingga ponsel yang digenggamnya mendadak licin ketika ia mencari nama Gilsa di daftar kontak.

Akbar masih menunggu di samping mobilnya. Melihat Giska yang semakin lama semakin gelisah membuatnya enggan angkat kaki dari sana. Padahal sebelumnya Giska sudah memberi perintah agar Akbar pulang saja mengingat jam sudah menunjukkan pukul 12.

Giska masih berusaha menelfon Gilsa, padahal sudah jelas hanya suara operator yang terdengar. Nomernya sudah tidak aktif sejak Giska mencoba menelfonnya di cafe tadi.

Tak lama, pesan kembali masuk dan menampilkan nama Vieda di sana. Dengan cepat Giska membukanya, sebuah informasi di mana Gilsa berada.

Setelah membaca pesan tersebut, Giska bergegas mengambil kunci motor ke dalam rumahnya. Sebenernya perempuan itu tidak terlalu mahir dalam mengendarai motor dan sudah lama juga motor itu hanya terparkir di dalam garasi rumahnya tanpa ada yang menyentuh, karena biasanya hanya digunakan Mamanya ketika pulang ke Bandung.

Giska kembali keluar dan bersiap mengeluarkan motor. Akbar yang melihat langsung bergegas menghapiri perempuan itu.

“Mau kemana? Gue anterin aja, Gis.”

“Nggak usah, udah malem lo pulang aja. Gue bisa sendiri kok.” Bukan Giska namanya kalau tidak merasa dapat melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain.

“Nggak papa. Gue juga bisa temenin lo kok, biar lo nggak sendirian malem-malem gini.”

1483 words

Giska kira untuk hari ini ia tidak akan pernah menginjak lantai teras rumahnya, bahkan untuk membuang sampah ke depan rumah pun perempuan itu tidak terpikirkan sama sekali. Hari ini rasanya tidak ada sedikitpun energi untuk bangkit dari kasur.

Dengan langkah gontai Giska berjalan menuju pintu utama rumahnya. Ia terdiam beberapa menit berdiri di depan pintu dengan tangan menggenggam handlenya, berusaha menenangkan dirinya sendiri yang masih terasa sangat sesak setelah menangis, dan sesekali perempuan itu menarik lalu mengembuskan napas.

Sedangkan Akbar, masih menunggu pintu itu terbuka dan menampilkan Giska di sana. Laki-laki itu tidak sabar melihat ekspresi seperti apa lagi yang akan Giska perlihatkan, membayangkan senyum lebar perempuan itu saja Akbar sudah tidak sanggup.

Tak lama kemudian, akhirnya pintu terbuka dan Akbar pun menyambutnya dengan senyum lebar. Tetapi tidak seperti dugaannya, justru Giska menampilkan raut wajah datar dengan kantung mata yang membengkak, bahkan hidung dan matanya tampak memerah. Siapapun yang melihat akan berpikir hal yang sama dengannya, pasti perempuan itu habis menangis.

Akbar melangkah mendekati Giska. “Baru bangun ya?” Dibanding menanyakan kenapa mata perempuan itu bengkak, Akbar justru memberikan pertanyaan lain.

Seperti belajar dari pengalaman. Yang ia tahu, ketika ditanya bagaimana keadaannya, Giska selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja walaupun berbanding terbalik dengan matanya yang mengatakan tidak baik-baik saja.

“Iya, lo ngapain jauh banget sampe kesini?” Suaranya terdengar tenang seperti memang tidak terjadi apa-apa.

“Liat dong apa yang gue bawa.” Akbar menunjuk ke arah bapak-bapak yang berdiri tepat di samping motor laki-laki itu.

Giska mengerutkan keningnya. “Siapa?” Ia sama sekali tidak mengenali Bapak itu.

“Katanya lo mau gemblong, tuh gue bawain,” ucap Akbar.

Lalu Akbar mempersilakan Bapak itu untuk masuk ke dalam pekarangan rumah Giska. “Pak, punten, masuk aja sini,” perintahnya. Yang diberi perintah pun mengikuti untuk masuk ke dalam.

Giska terdiam ketika melihat Bapak itu masuk dengan membawa satu drum ukuran sedang berwarna biru yang bertuliskan ‘gemblong’ disana.

“Lo ngapain bawa abangnya juga sampe sini, Bay?” tanya Giska yang masih terlihat kaget.

“Kan lo sendiri bilang mau gemblong yang emberan? Ini barusan gue nemu di jalan, jadi langsung aja gue ajak kesini abangnya.”

“Maksud gue nggak usah sampe dibawa kesini juga. Lo ketemu di mana?”

“Di pasar deket rumah gue. Kan lo katanya mau, Gis.”

Giska memegang pelipisnya. “Iya tapi beliin aja kan bisa, Bay, kasian abangnya jauh banget dari sana kesini,” jelas Giska.

“Teu masalah, Neng. Bapak oge biasana ngajual sampe ka alun-alun,” balas Bapak penjual gemblong itu. (trans: nggak apa-apa, neng. Bapak juga biasanya jualan sampe alun-alun)

“Tuh, nggak papa. Tenang, gue yang tanggung jawab. Lagian kalo lo mau gemblong emberan, ya harus gue ajak juga abangnya, nggak bisa gue bawa embernya doang.” Setelahnya Akbar terkekeh.

Sampai saat ini, Giska masih tidak mengerti kenapa Akbar bisa seajaib ini. Dari ucapan, tingkah laku, sampai bagaimana cara laki-laki ini memperlakukannya itu terasa sangat ajaib.

Sesungguhnya, Akbar bukan pesulap, juga bukan badut. Dunianya tak terhubung sama sekali dengan sirkus. Tetapi bagi Giska, setiap ucapan dan seluruh perlakuannya bagai mantra seorang pesulap. Ajaib.

Giska menghela napas, berjalan menghampiri penjual gemblong itu dan mengabaikan ocehan Akbar barusan.

“Pak, satunya berapa?” tanya Giska.

“Dua ribu, Neng,” jawab penjual gemblong sembari mengambil plastik.

“Mau 25 biji deh, Pak.”

“Muhun, Neng.”

Tanpa disadari kedua ujung bibir Giska terangkat setelah melihat satu persatu gemblong yang ia idam-idamkan dimasukkan ke dalam plastik.

“Bapak biasa jualan kemana aja?” tanya Giska membuka percakapan.

“Nggak nentu. Biasanya mah muter aja, Neng. Cari weh yang loba jelema.” (trans: cari aja yang banyak orang)

Giska mengangguk mengerti. Sedangkan Akbar di sebelahnya hanya ikut memperhatikan penjual gemblong menyiapkan pesanan Giska, sesekali menoleh kearah perempuan itu dengan isi kepala yang masih bertanya-tanya apa benar dia baik-baik saja?

“Ini, Neng.” Penjual tersebut menyerahkan pesanan Giska dan ia menerimanya.

“25 berarti 50 ribu ya? Sebentar ya, Pak.”

“Udah di bayar, Neng, sama si ‘Aa.”

Giska menoleh kearah Akbar yang sedang mengangguk, seakan mengerti kalau Giska sedang mempertanyakan kebenarannya.

“Kapan?” tanya Giska dengan heran, yang ia lihat sedari tadi Akbar belum mengeluarkan dompetnya, apalagi uang.

“Pokoknya udah gue bayar,” jawab Akbar. Sedangkan bagi Giska, jawaban Akbar itu sama sekali belum menjawab pertanyaannya.

Penjual gemblong pun bangkit setelah menutup kembali drum yang berisi gemblong.

“Yaudah, Neng, ‘A. Hatur nuhun nya, bapak lanjut jualan,” pamitnya.

“Pak, mau dianter ke pasar lagi atau gimana?” tanya Akbar.

“Nggak usah ‘A, saya lanjut jualan daerah sini aja.”

“Beneran, Pak? Kalo mau balik kesana biar saya pesenin gojek.”

Giska memukul pundak Akbar, yang dipukul reflek memegang pundaknya dan berlagak kesakitan.

“Kok pesenin gojek, anterin lah. Lo yang bawa kesini juga,” sinis Giska.

Si Bapak terkekeh, “Nggak usah, nggak papa. Mari, Neng, ‘A.” Tak lama setelah pamit, penjual gemblong itu pun tidak lagi terlihat.

Kini hanya ada Akbar dan Giska yang masih berdiri mengamati si penjual gemblong menjauh. Giska tiba-tiba menoleh menghadap ke arah Akbar, wajah perempuan itu terlihat bersiap untuk mengomel.

“Kasian tau, Bay, bapaknya. Kalo ternyata rumah beliau di daerah deket rumah lo gimana? Kan jadi jauh banget pulangnya.”

Akbar terkekeh melihat wajah serius Giska. “Tadi kan udah gue tawarin, Gis. Bapaknya sendiri yang bilang nggak usah.”

“Ya karna dia juga nggak enak pasti. Terserah deh,” gerutu Giska. “Nih ya, gara-gara lo gue beli 25 biji. Gue nggak enak sama bapaknya, udah jauh-jauh nyampe sini masa belinya cuma 5 biji. Padahal di rumah cuma gue sendiri doang, siapa yang mau ngabisin coba? Gue nggak serakus itu,” lanjutnya mengoceh sambil melihat kantong berisi gemblong.

Jujur saja, saat ini Akbar merasa gemas mendengar Giska mengoceh tanpa henti.

“Yaudah ayo makan bareng, gue kan juga mau gemblong,” ucap Akbar lalu melirik ke arah kursi di samping kanannya. “Boleh duduk nggak nih?” tanyanya.

Giska mengangguk dan ikut duduk di kursi satunya. Mereka pun mulai menyantap makanan manis yang terbuat dari ketan yang dibalut dengan gula merah itu.

“Eumm.” Sampai-sampai Giska mengeluarkan suara saking senangnya ketika menggigit makanan yang dari kemarin ia cari.

“Enak?”

Giska mengangguk senang, membuat Akbar tidak bisa menahan senyumnya.

Sebenarnya, ada banyak pertanyaan di dalam kepala Akbar, tetapi ia terus berusaha menahannya karena takut pertanyaannya malah akan membuat Giska menjadi tidak nyaman. Tapi perasaan ingin terus membuat Giska merasa aman itu selalu datang ketika perempuan itu menampilkan raut wajah yang kusut dihadapannya.

“Lo abis ngapain pagi-pagi ke pasar?” Akhirnya Giska yang membuka pertanyaan.

“Tadi beli lontong sayur buat kakak gue sama buat gue.”

“Terus udah lo beliin?”

“Udah, abis gue anterin ke rumah langsung balik lagi ke pasar buat jemput abangnya, terus baru kesini.”

“Berarti lo udah sarapan, kan?”

Akbar menggeleng sembari mengunyah gemblong keduanya.

“Kenapa nggak sarapan dulu?”

“Ini lagi sarapan.” Akbar mengangkat gemblong yang ada di tangannya.

Giska melengos tidak menanggapinya.

“Lo juga kan baru bangun, berarti belum sarapan?”

“Ini lagi sarapan,” balas yang perempuan, yang laki-laki hanya tertawa karena kesalnya Giska menurutnya sangat lucu.

Keduanya mendadak diam sembari mengunyah gemblong masing-masing. Giska menatap lurus pada tanaman hias milik Mamanya yang mulai layu persis dengan dirinya sekarang.

“Gis.”

Panggilan pertama

“Gis?”

Panggilan kedua

“Giska?”

Giska tersadar dan menoleh ke Akbar yang sedari tadi memperhatikannya yang sedang melamun tanpa terlewatkan sedetik pun.

“Sorry, kenapa, Bay?”

“Lo yang kenapa?”

“Hah?”

“Are you okay?” Akhirnya Akbar mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

Mendengar pertanyaan itu, Giska diam untuk beberapa detik sampai akhirnya perempuan itu tersenyum ke arah Akbar sebelum menjawabnya.

Giska menggeleng. “No, i’m not. Hahaha,” jawabnya lalu disertai tawa di akhir kalimat.

“Tadinya gue mau jawab i am doing fine. Tapi kayaknya mata gue nggak bisa bohong ya, Bay?” lanjutnya.

Akbar mengangguk. “It’s okay not to be okay, Gis. So...stop trying to be like ‘i’m fine’ and stop trying to mask your feelings.”

“Tapi gue udah terbiasa hidup tanpa ditanya gimana keadaan gue. Jadi ketika ada orang yang nanya, gue akan memperlihatkan sisi gue yang baik-baik aja seperti biasanya.“

Akbar terdiam, dilihatnya kepala Giska yang semakin lama semakin menunduk. Bahkan suaranya pun terdengar menyakitkan bagi Akbar.

Giska menarik napasnya yang terasa berat. “Tiap masalah dateng, gue selalu sibuk yakinin diri ‘i can handle everything’. But honestly, gue butuh someone to talk. Tapi lagi-lagi ketika ada yang nanya keadaan gue, gue nggak tau gimana caranya mengungkapkan perasaan itu. Sampe akhirnya cuma jawaban ‘i’m okay’ yang keluar dari mulut gue.”

“Lo bisa, Gis. Buktinya sekarang lo lagi mengungkapkan gimana perasaan lo.” Akbar meyanggah penuturan Giska.

Giska menunduk, berusaha menahan air matanya yang memaksa untuk keluar. Sedangkan baginya sudah cukup menangis untuk hari ini, terlebih lagi ia tidak ingin Akbar melihat sisi dirinya yang lemah.

“Lo boleh nangis, gue nggak akan denger,” ucap Akbar sambil memasang airpods pada kedua telinganya.

Mendengar itu, akhirnya Giska menyerah dan membiarkan air matanya turun kembali. Dari ekor matanya, Akbar melihat tubuh perempuan di sampingnya bergetar hebat. Tangannya coba menggapai pundak Giska dan menepuknya perlahan, berharap tepukannya dapat menenangkan.

Akbar mematikan musik yang tersambung pada airpods tanpa melepaskan benda itu dari telinganya, ia membiarkan suara tangisan Giska menggantikan suara musik dari band favoritnya.

Tujuh menit waktu berjalan dan tangis Giska mulai mereda, Akbar akhirnya membuka suara.

“Lo bilang, lo bisa yakin sama gue kalo gue bisa kasih tau dimana abang gemblong yang jualannya masih pake ember. Udah gue lakuin.”

Giska mengangkat kepalanya untuk menatap Akbar.

“Apa sekarang lo udah yakin sama gue, Gis? Kalo udah-” kalimat Akbar terputus.

“Mulai sekarang, lo bisa jadiin gue someone to talk yang lo maksud itu. I will listen,” lanjutnya.

1743 words

Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Giska berjalan keluar dari lobby perpustakaan untuk menghampiri Akbar yang sedang memperhatikan pergerakkan Giska dari tempatnya menunggu.

Perpustakaan tutup pukul 21.00, tetapi biasanya beberapa menit sebelumnya staff perpustakaan sudah mulai membenahi rak dan mematikan lampu lampu di dalam. Terlebih lagi tadi yang tersisa hanya Giska sendiri yang masih asik dengan alam mimpinya.

Akbar memberikan helm yang sengaja dibawanya untuk Giska pakai. Malam ini malam minggu, biasanya polisi mengambil kesempatan untuk melakukan razia kepada pengendara yang tidak menggunakan helm.

Giska pun menerima helm itu. “Kok lo sih yang dateng?” tanya Giska sambil sibuk mengaitkan ikatan helmnya yang tidak berhasil-berhasil.

Akbar yang melihat gemas sendiri dan akhirnya berinisiatif untuk membantu mengaitkannya. “Kalo susah tuh minta tolong. Bay, tolong dong susah nih. Gitu.”

“Orang gue bisa sendiri.” Bukan Giska kalo tidak merasa dirinya bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan orang lain.

“Bisa apanya?”

Tali helm pun terkait dengan sempurna setelah Akbar membantunya. Setelah itu Giska naik ke atas motor milik Akbar dan membenarkan posisi duduknya.

“Udah?” tanya Akbar memastikan sebelum menancapkan gas motornya.

“Udah.”

Yang laki-laki hanya mengangguk sembari melepas jaketnya yang sedari tadi ia gunakan. Giska memperhatikan Akbar melepas jaket.

“Gue nggak dingin, lo mau nawarin jaket lo biar gue pake kan?” tanya Giska dengan tebakannya yang sangat percaya diri.

“Ih, GR. Orang gue gerah,” balas Akbar. Bohong. Sebenarnya memang kenyataannya ia ingin memberikan jaketnya untuk dipakai Giska karena udara malam ini cukup dingin, sedangkan Giska hanya menggunakan kaos lengan pendek. Tapi perempuan itu lebih dulu menangkap basah sikapnya.

Akbar pun mengikat jaketnya di lehernya. “Tapi kalo lo beneran kedinginan nggak papa pake aja nih jaket gue,” tuturnya.

Akhirnya Akbar melajukkan motornya. Tak ada percakapan diantara mereka berdua setelah motor berjalan. Akbar hanya fokus pada jalan raya, sedangkan Giska menatap langit yang menurutnya bagus karena bulan terlihat sangat indah malam ini. Bulan yang hanya menampakan setengah dari dirinya.

Mereka melewati jalan layang pasupati, tidak jarang ada barisan mobil mobil dan motor di sana. Giska menepuk pundak Akbar sebelum berbicara.

“Bay, boleh berhenti sebentar aja nggak di sini?” tanya Giska dengan suara yang cukup keras karena dikhawatirkan Akbar tidak mendengar suaranya.

“Mau ngapain?”

“Bentar aja serius, minggir sini dulu sedetik,” mohon perempuan itu.

Akbar pun menuruti keinginan Giska untuk berhenti, ia menepikan motornya.

“Kenapa?” tanya Akbar lalu menoleh, dan menemukan Giska yang sedang membidik kamera ponselnya ke atas langit.

“Foto langit. Bulannya bagus,” jawab Giska dengan senyum yang lebar. Sepertinya Akbar belum pernah lihat sebelumnya.

Akbar hanya diam memperhatikan dan menunggu sampai Giska selesai memotret langit yang menurutnya bagus.

“Udah! Ayo cus jalan lagi.” Giska memamerkan deretan giginya

Akbar terkekeh. “Gue kirain kenapa, Gis.”

“Sorry ya, gue suka banget soalnya sama langit. Jadi kalo langitnya lagi cantik harus banget gue abadikan, buat koleksi probadi,” jelas Giska setelah motor yang Akbar kendarai kembali mulai melaju.

“Senja. Lo suka senja?”

“Gimana pun bentuk langit kalo menurut gue indah, ya gue suka.”

Akbar hanya mengangguk tanda mengerti. Lalu setelahnya tidak ada lagi percakapan tentang langit.

“Lo laper nggak?” Akbar kembali membuka suara.

“Hah?” Ramainya suara kendaraan dan angin yang lumayan kencang membuat suara Akbar tidak jelas untuk pendengaran Giska.

“Lo laper nggak?” Akbar pun mengulang pertanyaannya dengan suara lebih besar, berharap kali ini Giska dapat mendengarnya.

“Oh. Nggak.”

“Mau makan di mana?”

“Gue nggak laper.”

“Apa? Nasi goreng?” tanya Akbar. Sebenarnya ia mendengar jawaban Giska yang mengatakan perempuan itu tidak lapar, tapi Akbar tahu kalau Giska belum makan.

“Nggak laper.” Giska menambah volume suaranya sembari memajukan tubuhnya mendekat ke Akbar agar laki-laki itu bisa mendengar.

“Hah? Ayam geprek?”

“Budeg banget! Gue bilang gak laper.”

“Ketoprak? Kayaknya udah habis deh yang langganan gue.”

“Gue nggak laper anjir!”

“Oh pecel lele? Oke, di deket sini ada pecel lele langganan gue.”

“SUMPAH LO NYEBELIN BANGET,” kesal Giska, sedangkan Akbar hanya tertawa dibalik helmnya.


Ternyata Akbar tidak bercanda. Dia benar-benar berhenti pada warung tenda pecel lele, jam segini sudah tidak terlalu penuh tetapi Giska bisa menebak kalau sekitar pukul 20.00 pasti warung ini sangat ramai karena ayam yang ada pada etalase sudah tersisa sedikit.

“Mau lele apa ayam, Gis?” tanya Akbar.

Giska menghela nafasnya kasar saat menatap Akbar. “Gue nggak laper.”

“Udah sampe sini masa nggak makan, Gis? Terakhir makan jam berapa gue tanya? Lo kan abis ngebo di perpus.”

“Siang,” jawab Giska singkat.

“Tuh kan, makan dulu biar sampe rumah langsung istirahat. Jadi, mau lele apa ayam?” Akbar mengulang pertanyaannya.

“Piranha.”

“Bu, ayam satu sama piranha satu ya.”

Giska terbelalak dengan apa yang barusan Akbar ucapkan pada ibu penjual. Dengan cepat Giska mengoreksinya, “Nggak bu, lele maksudnya.” Perempuan itu menatap Akbar dengan sinis. Kalau Akbar, tentu saja sedang senyum senyum tidak jelas.

Ibu penjual hanya terkekeh melihat dua remaja yang sedang memiliki hubungan tidak baik, terlihat dari sang puan yang menatap lawan jenisnya seperti ingin menghabisinya tanpa ampun.

“Ayam satu sama lele satu ya. Minumnya mau apa?”

“Minumnya mau apa?” Akbar kembali menoleh untuk bertanya pada Giska.

“Au ah.”

“Au ah satu sama es teh manis satu, bu.”

“Aqua mas?”

“Au ah katanya bu.”

Giska kembali menghela napas kasar, “Es teh manis bu,” ucap Giska.

“Oh, berarti es teh manis dua ya?”

Akbar mengangguk, “Jadi sekarang tau ya bu, kalo ada yang pesen piranha artinya lele. Kalo au ah artinya es teh manis,” canda Akbar yang membuat si Ibu pun tertawa dengan tingkahnya.

“Lo bisa duduk aja nggak?”

“Oke.”

Akbar akhirnya menuruti perintah Giska untuk duduk, ia mengambil kursi sebrang Giska, kini mereka duduk berhadapan. Giska hanya menopang dagunya pada telapak tangan perempuan itu, jari-jari pada tangan satunya mengetuk-ngetuk meja hingga menghasilkan nada-nada asal.

Akbar hanya memperhatikannya, perempuan itu terlihat lelah. Entah karena apa, matanya terlihat sayu, seperti ada benang kusut yang mengumpul di dalam kepalanya. Perempuan itu masih diam dengan tatapan kosong.

“Capek, Gis?” Akhirnya Akbar membuka percakapan.

Giska hanya mengangguk.

“Tapi makan dulu ya? Siang makannya jam berapa?”

“Nggak tau lupa, jam 11 mungkin.”

“Tuh kan udah lama banget, sekarang udah hampir mau jam 10 malem. Kasian perutnya,” bujuk Akbar.

“Kalo capek, nanti langsung istirahat ya sampe rumah,” lanjutnya.

Giska menggeleng. “Bukan capek fisik,” ucapnya dengan suara yang parau, ada kesedihan di sana.

Akbar diam. Bagaimana bisa Giska yang baru saja ia lihat bahagia ketika menatap langit, sekarang menjadi Giska dengan tatapan kosong sembari mengetuk-ngetuk meja.

“Gis,” panggil Akbar.

Giska tidak berniat untuk menjawab panggilan Akbar, masih dengan posisi yang sama ia diam.

“Lo tau nggak ada 5 pelajaran hidup yang bisa lo ambil dari langit?” lanjut laki-laki itu.

Tidak berniat merubah posisi, Giska menatap Akbar seakan meminta penjelasan maksud dari lima pelajaran hidup yang bisa diambil dari langit.

“Yang pertama, langit ngajarin kita tentang keadilan. Langit itu adil dalam membagi porsi antara siang dan malam. Mereka juga punya porsi keindahan yang sama antara siang dan malam, langit siang punya warna-warni sedangkan malam punya bintang-bintang. Begitupun kita yang harus adil untuk nggak mendiskriminasi orang lain kalo emang orang itu punya perbedaan sama kita.”

Akbar menarik dan menghembuskan nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. “Kedua, langit itu ngajarin untuk rendah hati. Langit itu tinggi, tapi langit nggak pernah nunjukkin kalo dirinya ada di sana. Langit nggak perlu repot jelasin karena semua orang udah tau. Sama halnya kayak kita, nggak perlu nunjukkin semua yang kita punya karena orang akan tau tanpa kita kasih tau.”

Giska mulai menegakkan tubuhnya, membuka telinganya lebar-lebar untuk kembali mendengar ucapan Akbar.

“Ketiga, langit ngajarin kita lapang dada. Langit itu luas, bahkan kita nggak tau sampe mana batas langit terbentang. Kalo kata buzz lightyear ‘to infinity and beyond’ maksudnya ketidakterbatasan, jadi langit itu nggak ada batasnya. Bisa bayangin nggak kalo kita punya hati seluas langit? Kita bisa lebih ikhlas nerima semua kenyataan hidup dari yang pahit sampe yang manis.”

Perjelasan Akbar harus terputus ketika Ibu penjual tadi mengantarkan pesanan mereka berdua. Sudah tersusun rapih piring-piring berisi nasi dan lauk dihadapan mereka, Akbar pun mengajak Giska untuk makan lebih dulu.

“Dua lagi, nanti gue lanjut habis makan.”

“Ih nanggung!” omel Giska.

“Makan dulu, kalo makan lo habis baru gue jelasin sisanya.”

Mereka mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Butuh 15 menit mereka menghabiskan makanan yang semula memenuhi piring. Padahal Giska mengatakan dirinya tidak lapar, tapi di piringnya kini yang tersisa hanya tulang dan kepala dari lele.

“Duanya?”

Akbar yang sedang minum hampir saja tersedak karena tertawa. “Sabar dong, masih minum ini.”

“Gue boleh nebak nggak salah satunya?”

Akbar hanya mengangguk karena masih sibuk menyeruput minumannya.

“Ngajarin untuk bisa bermanfaat buat orang lain?”

Akbar terbelalak lalu mengajak Giska untuk high five, dengan heran Giska tetap menerima ajakan high five dari Akbar.

“Keren. Bener keempat langit ngajarin kita bisa bermanfaat buat orang lain. Sinar matahari bermanfaat buat semua makhluk di bumi, jadi kalo bisa kita juga jadi pribadi yang bermanfaat buat orang lain. Misalnya bantu orang tanpa pandang bulu, apalagi sampe liat kasta mereka.”

Tanpa banyak berkomentar, Giska hanya menjadi pendengar saat ini sampai Akbar benar-benar menyelesaikan semua penjelasannya.

“Yang terakhir, langit ngajarin kesederhanaan. Cuma dengan warna biru yang cerah, langit udah keliatan indah ditambah awan-awan yang buat lebih indah lagi. Atau hitam pekat, langit bisa bikin kita kagum dengan bintang-bintangnya. Begitu seharusnya kita jalanin hidup, sederhana nggak usah berlebihan. Toh semua cuma kesenengan sementara.”

Giska tersenyum, senyum yang makin lama menjadi tawa. Tawa yang terdengar hingga keluar dari tenda pecel lele, bahkan suara motor racing tidak bisa mengalahkan suara tawa Giska.

Akbar yang melihat tawa itu hanya bisa tersenyum. Entah apa yang sedang ada di dalam pikiran Giska, ia tidak punya hak untuk bertanya tetapi laki-laki itu hanya berusaha membantu meredakan kekhawatiran yang sedang mengganggu pikiran Giska. Ia juga tidak tahu apa yang barusan diucapkan, laki-laki itu hanya mengulang sebuah kalimat yang dulu pernah ia dengar dari seseorang yang sangat dirinya hormati.

“Jadi, gue ngerti kenapa lo suka sama langit. Karna gue yakin di dalam diri lo, lo udah ngelakuin semua dari kelima makna langit yang gue sebutin barusan.” lanjut Akbar lagi.

Giska menggeleng. “Gue nggak sesempurna langit yang punya matahari dan bintang.”

Akbar lagi-lagi diam sebelum akhirnya membuka suara. “Gue siap jadi matahari buat lo.”

“Tapi gue juga butuh bintang.”

“Lo sendiri yang jadi bintangnya, lo layak buat bersinar di gelapnya dunia.”

Giska menelan salivanya sekuat tenaga, matanya mulai terasa kabur tetapi sekuat tenaga ia menahannya.

“Lo bisa jadi bintang, Gis, bintang yang paling bersinar terang di kegelapan karena gue yakin lo mampu memancarkan cahaya lo sendiri.”

Malam itu, kembali lagi Akbar yang berhasil membuatnya sejenak melupakan bising kepalanya. Semua penuturan laki-laki itu membuat Giska menyadari bahwa dirinya bisa melewati segalanya. Satu masalah bukan berarti bisa membuat Giska menyerah untuk menjadi bintang yang bersinar, justru dengan satu masalah itu bisa mengajarkannya untuk melewati masalah selanjutnya.

1428 words

Kalau barusan Akbar bilang skill menyetir motornya setara dengan Marc Marquez, sepertinya laki-laki itu tidak berbohong. Kini motor yang dikendarai Akbar terlihat hilai membelah jalan raya yang padat dengan pengendara. Jam segini jalanan mulai memasuki jam sibuk, manusia manusia budak korporat baru saja membubarkan diri untuk kembali ke tempat singgah guna beristirahat sebelum menyambut aktifitas yang lebih sibuk di esok hari.

Akbar memarkirkan motornya di depan bangunan minimalis menghadap jalan raya Cimanuk, Giska mengerutkan keningnya sebelum membuka suara.

“Ini bukannya jalan Cimanuk?” tanya perempuan itu sembari melihat kanan kiri mencari papan nama jalan.

Akbar membuka helmnya lalu menggantungnya pada kaca spion sebelah kiri, “Iya,” jawab Akbar tanpa dosa sambil mengadahkan tangannya guna memberi isyarat pada Giska untuk memberikan helm yang perempuan itu gunakan. Sedangkan Giska sudah memberikan tatapan yang tidak bisa di deskripsikan.

Laki-laki itu pun menyadari bahwa Giska hanya menatapnya, kesal, Akbar tau Giska pasti kesal, “Hahaha, biasa aja dong, Gis, liatinnya. Jadi takut gue.”

“Mau gue pukul?” Tetap dengan ekspresi yang sama, Giska membuka suara.

Karna Giska tidak kunjung membuka dan memberikan helmnya. Jadi, tanpa menggubris omelan Giska barusan, Akbar melepaskan helm yang masih bertengger di kepala perempuan itu.

“Udah ayo, nanti aja ngomelnya. Mau ketemu orang ganteng nggak boleh kesel kesel,” goda Akbar lalu berjalan mendahulukan Giska masuk ke dalam cafe dan yang perempuan akhirnya mengekori Akbar masih dengan perasaan kesal.


Semerbak kopi menusuk indera penciuman Giska, semburat kuning agak jingga menerobos jendela jendela kaca yang memutari ruangan, suhu dari pendingin ruangan berhasil membuat Giska sesekali bergidik kedinginan.

Giska duduk dengan tenang pada meja bertuliskan angka sembilan, meja paling ujung di samping jendela. Bukan tanpa alasan ia memilih meja ini, pemandangan langit dan lalu lalang kendaraan pada jalan raya menurut Giska dapat mengurangi rasa gugupnya.

Entahlah apa yang Akbar lakukan. Ketika masuk ke dalam cafe, Akbar meminta Giska memilih tempat duduk duluan dan setelahnya laki-laki itu langsung menghilang masuk ke dalam pintu yang bertuliskan staff only. Giska tidak terlalu penasaran, jadi tanpa bertanya banyak ia hanya mengikuti ucapan Akbar yang menyuruhnya langsung memilih tempat duduk.

Tak menunggu lama, laki-laki dengan jaket bomber hitam dan warna rambut yang menyerupai warna minuman coklat susu itu berjalan menghampirinya.

“Sorry, temennya Abay yang mau wawancara bukan?” tanya Galen dengan hati-hati.

Yang diajak bicara pun bangkit untuk menyambut, “Oh, iya. Galen ya?” tanya Giska sembari menawarkan diri untuk bersalaman, Galen pun menerima sembari mengangguk memberi jawaban atas pertanyaan Giska barusan.

“Kenalin gue Giska, sorry ya ganggu waktunya. Duduk, Len.” Giska mempersilakan Galen untuk duduk di kursi yang ada di depannya.

“Iya, thanks. Sorry tadi siapa? Giska?” tanya Galen memastikan.

“Iya Giska.”

Galen pun kembali mengangguk, setelahnya ia duduk pada kursi yang ditunjuk Giska. Mereka berdua sempat hening untuk beberapa waktu, tidak ada percakapan yang mereka ciptakan, hanya terdengar lagu dari pengeras suara yang terpasang pada setiap sudut cafe.

Bukan, bukan karena Giska pemalu. Mungkin orang selalu salah menilai seorang introvert, banyak yang menyangka mereka dengan kepribadian introvert itu tipikal orang yang pemalu atau antisosial, padahal itu bukan bagian dari sifat introvert. Giska hanya merasa canggung saat ini, ia tidak sesulit itu untuk bergaul, malah sebaliknya, ia akan cepat beradaptasi jika lawan bicaranya tidak sama canggungnya. Tetapi yang terjadi kini, mereka berdua sama-sama sedang merasa canggung.

Tak lama Akbar datang menghampiri keduanya yang sudah terlihat seperti ikan yang dibekukan di dalam lemari pendingin. Kaku.

“Udah wawancaranya?” Satu pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Akbar.

“Biji mata lo udah,” balas Galen.

“Oh yaudah lanjut deh, gue ke dalem lagi,” ucap Akbar sebelum melenggang pergi dari sana.

Giska dengan cepat menahan lengan Akbar sebelum laki-laki itu pergi. “Bay, mau kemana? Sini aja.”

Akbar menatap Giska beberapa detik, lalu setelahnya ia tertawa seakan menangkap sebuah kode dari tatapan mata perempuan itu. “Salting?” goda Akbar tanpa suara, tetapi Giska bisa membaca gerak bibir laki-laki itu.

“Nggak usah rese,” kesal Giska sambil menghempaskan lengan Akbar.

“Iya udah iya gue bantuin nih wawancaranya. Mana list pertanyaannya?” Masih dengan wajahnya yang menyebalkan, menurut Giska.

Galen hanya memperhatikan dua orang dihadapannya dengan heran. “Situasi macam apa ini?” ledek Galen.

“Sorry Gal, nggak bisa dia jauh dari gue.”

“DIH.” pekik Giska dan Galen bersamaan setelah mendengar ucapan super percaya diri dari Akbar.

Sesi wawancara pun dimulai, Giska memberikan beberapa pertanyaan yang sudah ia catat sebelumnya. Setelah berbincang banyak dengan Galen, Giska mengerti mengapa Akbar dan Galen bisa menjadi teman dekat. Menurutnya, mereka berdua tidak jauh berbeda, aneh.

“Ini udah, Gis?” tanya Galen setelah selesai menjawab pertanyaan terakhir dari Giska.

“Udah. Makasih banyak ya, Len!” ucap Giska tak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya karena Galen sudah mau membantunya dalam proses penggarapan tugas akhir.

“Iya kalem, Gis. Lo kesini tadi naik apa?”

“Sama gua,” jawab Akbar dengan cepat.

“Kirain gojek, biar sekalian sama gua aja tadinya. Apa sama gua aja, Bay? Lu lagi handle cafe kan?” Sebuah pertanyaan yang dapat dengan mudah memancing emosi Akbar. Bukan tanpa alasan, Galen sengaja.

Galen yang menerima tatapan tidak terima Akbar pun kembali membuka suara. “Kalem weh atuh, Bay, bengeutna siga maung nu rek ngerekeb kitu.” Setelahnya Galen tertawa puas. (trans: santai aja mukanya udah kayak macam mau nerkam gitu)

“Lo kalo udah habis minumnya mending pulang, mau futsal kan lu,” perintah Akbar yang was-was pada setiap gerak-gerik Galen.

“Udah pada bubar setan! Lagian gua masih mau ngobrol sama Giska,” balas Galen dengan santai sambil menyeruput kopinya yang akan habis hanya dengan sekali sedot.

“Lo temennya Raisha ya, Gis?” lanjut Galen bertanya, mungkin sekarang posisinya sudah berbalik. Setelah Giska melayangkan belasan pertanyaan tadi, kali ini sebaliknya, Galen yang memberikan pertanyaan pada Giska.

Belum sempat menjawab, Giska kembali dibuat bungkam karena Akbar lebih dulu menjawab pertanyaan Galen barusan.

“Iya, temennya Raisha dia. Sama siapa tuh Gal, kabogohan sia pas SMA nu ayeuna barudak Fikom?” jawab Akbar. (trans: pacar lo pas SMA yang sekarang anak Fikom?)

“Hah saha? Eweuh anying,” (trans: hah siapa? nggak ada anying)

“Si Tyara.”

“Nggak pernah pacaran goblog,” ungkap Galen, setelahnya Akbar hanya ber-oh ria.

“Oh, berarti lo pernah deket ya Len sama Tyara?” Kali ini Giska yang bertanya karena penasaran setelah mendengar nama Tyara.

Yang ditanya siapa, yang jawab siapa. Lagi-lagi Akbar menjawab pertanyaan yang bukan diperuntukan untuk dirinya. “Iya, Gis. Deket sampe satu sekolah ngira mereka pacaran.” Lalu Giska hanya mengangguk mendengar penjelasan Akbar.

“Nggak usah gosip, nggak ada ye satu sekolah ngira gue pacaran sama Tyara,” protes Galen karena sebenarnya tidak seperti yang diungkapkan Akbar, menurutnya.

“Ayo gocapan? Gua tanya sekarang juga di grup angkatan,” tantang Akbar.

Berawal dari percakapan santai lama-lama menjadi percakapan yang mengundang keributan diantara dua laki-laki dihadapan Giska. Perempuan itu hanya diam memperhatikan mereka berdua berdebat. Yang membuat Giska bingung, segala hal selalu mereka debatkan dari yang penting sampai tidak penting.

“Ini mau gue sediain podium buat kalian berdua debat nggak?” Akhirnya Giska berhasil menghentikan perdebatan mereka berdua.

“Si Gale tuh, Gis.”

“Apaan jadi gue,” ucap Galen tetap membela diri. “Lo alumni mana, Gis?” lanjutnya.

“24.” Lagi-lagi belum sempat Giska jawab, sudah lebih dulu Akbar yang menjawab.

“Sia saha sih anying? Aing keur nanya ka si Giska, lain ka sia kehed. Sia teh juru bicaranya si Giska?” (trans: lo siapa sih anying? Gue nanya ke Giska, bukan ke lo. Lo juru bicaranya Giska?)

“Iya daritadi gue mau jawab keduluan dia mulu.” Giska ikut protes.

“Dia mah gitu Gis kalo naksir cewek. Ribet.” Galen terkekeh, setelah itu ia bersandar pada kursi sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Naksir siapa?” tanya Giska.

“Masa naksir gue sih, Gis.” Setelahnya Galen bergidik ngeri karena membayangkan jika Akbar menyukainya.

“Ya terus?”

Akbar menghela napas, “Terus, terus, terus nabrak!”

“Kenapa sih lo? Nggak jelas.” Giska menoleh ke Akbar, menegaskan bahwa kalimatnya barusan ditujukan untuk laki-laki itu.

Bukannya menjawab, Akbar malah mengulang kalimat Giska sembari menoleh ke sampingnya yang kebetulan ada seorang waiters sedang menghampirinya. “Kenapa sih lo? Nggak jelas.” Waiters itu pun diam kebingungan sampai-sampai ia lupa hal apa yang barusan ingin ditanyakan pada Akbar.

Galen tertawa terbahak-bahak, sedangkan Giska tak kalah bingung dengan sang waiters.

“Nggak usah kaget, Gis. Kalo salting emang suka di luar nalar tingkahnya. Kadang saltingnya Abay bisa sampe bantu-bantu Abang cilok jualan,” jelas Galen.

Semburat cahaya semakin jelas berwarna oranye. Berada di sini bersama dengan Akbar dan Galen, Giska merasa sedang men-charge energinya, bahkan ia lupa kalau kemarin baru saja menangis hingga matanya terasa perih. Walaupun banyak lelahnya karena mendengar perdebatan tidak penting mereka, tetapi kalo boleh jujur Giska merasa terhibur. Apalagi celotehan-celotehan keduanya yang tak jarang membuat Giska tertawa lepas.

Kalo bisa memilih, Giska ingin berada di situasi seperti ini dulu untuk beberapa waktu. Beraktifitas tanpa teringat bagaimana sikap Gendra padanya akhir-akhir ini. Tetapi waktu terus berjalan hingga terpaksa membawanya kembali ke rumah dan kembali sendiri.

1500 words

Untuk sebagian orang dengan kepribadian introvert, berada di tempat yang ramai dan bertemu dengan orang baru menjadi suatu hal yang kadang kala sengaja mereka hindari. Salah satunya Giska, ada waktu di mana ia membutuhkan waktu yang tenang di dalam kamar untuk menyendiri selama satu hari penuh. Bukan berarti dirinya membenci interaksi sosial, tapi ia hanya merasa sedikit lelah jika terlalu sering berinteraksi.

Berbeda dengan malam ini, rasanya ia sangat suntuk. Isi kepalanya terlalu bising karena banyak memikirkan alasan mengapa Gendra tidak membalas pesannya dan omelan Gya yang terus membela Gilsa masih terus menghantui pikirannya.

Setelah turun dari ojek yang ia tumpangi, Giska masih berdiri di tempat dan menatap bangunan yang ada di hadapannya lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, membayangkan berapa persentase energi yang harus ia keluarkan.

Giska tidak asing dengan tempat ini, tetapi tidak juga sering datang ke tempat ini. Ia melangkah memasuki tempat tersebut, berbeda dengan gelapnya cahaya di luar ruangan, justru di dalam penuh dengan lampu sorot yang terkadang mengganggu pandangan Giska. Matanya mejelajahi setiap table di sana, mencari keberadaan Raisha.

“Giska!” Terdengar suara samar-samar dari arah kanan.

Giska menoleh ke sumber suara, ia menemukan Raisha di sana dan beberapa orang di sekitarnya. Yang pasti dari pengelihatannya, ia melihat ada Ades duduk di samping Raisha sambil menghisap pod di tangan kanannya. Ia berjalan menghampiri dan mengambil duduk tepat di samping Raisha.

“In case ada yang belum kenal, ini temen gue namanya Giska.” Tidak lupa Raisha memperkenalkan Giska pada teman-teman kekasihnya.

Beberapa diantaranya menawarkan fist bump dan Giska dengan senang hati membalasnya sembari memperkenalkan diri. Sisanya hanya senyum dari tempat duduknya karna posisi mereka yang terhalang meja membuat mereka sedikit malas untuk bangkit.

“Apa kabar, Gis? Jarang keliatan lo,” tanya Ragil yang baru saja mengambil tempat duduk di samping Giska.

Giska menoleh untuk mendapati Ragil di sampingnya, lalu tertawa. “Mendem gue di rumah, masih kerasa vibes PPKM,” candanya, diikuti kekehan Ragil atas jawaban Giska.

Ini bukan pertama kalinya ia bertemu dengan Ragil, ada di beberapa waktu mereka bertemu. Tentu saja mereka berdua kenal melalui Ades dan Raisha. Tetapi tidak semua teman Ades, Giska mengenalnya.

“Betah juga lo sama kampanye di rumah aja nya pemerintah?” Ragil menanggapi candaan Giska. Sedangkan Giska menjawabnya dengan anggukan kepala disertai tawa.

“Lo mau pesen apa, Gis? Minum nggak?” tawar Ragil.

“Gue nggak minum. Iya gampang nanti aja, gue baru banget isi perut,” kata Giska.

Ragil mengangguk. “Yaudah, kalo mau pesen bilang gue aja ya.” Tentu saja Giska mengiyakan ucapan Ragil.

Giska paham perlakuan welcome Ragil semata-mata agar Giska tidak merasa canggung, sebab perempuan itu belum mengenal yang lainnya kecuali Ragil, Raisha, dan Ades. Sepertinya Giska harus banyak berterima kasih dengan Ragil. Buktinya, setelah waktu berjalan, Giska dan semua orang yang berada di satu table itu saling berbincang dan bercanda, layaknya teman yang sudah mengenal lama.

“Assalamualaikum,” salam seseorang yang baru saja datang.

Dengan reflek semua orang menoleh dan mendapati laki-laki dengan printed shirt motif garis-garis berdiri di sana. Giska merasakan siku Raisha yang dengan sengaja menyenggol lengan kirinya, ia menoleh ketika Raisha membisikan sesuatu.

“Abay tuh,” bisik Raisha membuat Giska mengerutkan keningnya seakan berbicara, ‘ya terus?’.

Laki-laki itu mengajak high five satu persatu orang yang ada di table tersebut, termasuk Giska.

“Giska?” tanya Akbar lalu tersenyum setelah sadar tidak asing dengan wajah perempuan yang baru saja high five dengannya, Giska membalasnya hanya dengan anggukan. Entahlah ia harus bereaksi seperti apa, menyapa seperti ‘hai Abay’? Sepertinya ia belum sedekat itu untuk menyebut nama Akbar dengan sebutan Abay, bahkan ini pertama kalinya mereka bertemu.

“Sikat, Bay,” celetuk Ades yang mendapatkan tatapan tajam dari Giska.

“WC lo, segala di sikat,” balas Akbar. Setelah menyapa seluruh temannya, lantas ia mengambil tempat duduk kosong persis sebrang Giska duduk.

Semakin malam tempat ini semakin ramai, suara musik dari DJ dan riuh suara pengunjung juga semakin memenuhi sudut ruangan. Area dance floor sudah semakin sesak, terlihat jelas dari tempat Giska duduk. Semua orang menikmati musik sembari meliuk-liukan tubuh layaknya seorang penari profesional, ada juga yang hanya sekadar menggoyangkan kepala sembari mengangkat tangan ke kanan dan ke kiri.

“Bangun dah yuk, joget!” ajak salah satu teman Ades. Mereka pun yang di sana turut setuju dan mulai bangkit satu persatu, termasuk Raisha.

Tentu tidak untuk Giska, ia memilih untuk memantau dari tempat duduknya.

“Ayo, Gis,” ajak Raisha sembari menarik lengan Giska.

“Nggak ah, lo aja sana,” tolak Giska.

“Ih, lo nggak papa sendiri di sini?” tanya Raisha memastikan, karena sesungguhnya ia ragu kalau harus meninggalkan Giska sendiri. Tidak menutup kemungkinan ada laki-laki iseng yang akan menghampiri Giska, walaupun Raisha paham Giska sangat tegas dalam hal penolakan, tapi tetap saja ia khawatir mengingat tempat seperti ini tidak sering perempuan itu kunjungi.

“Ada gue, Sha,” saut Akbar yang baru saja kembali dari kamar mandi.

Mereka berdua—Giska dan Raisha pun menoleh dan hanya diam tanpa reaksi, menatap beberapa detik kearah Akbar.

Akbar mengangkat kedua tangan layaknya seorang pelaku kejahatan yang diringkus polisi. “Sumpah gue bukan penjahat,” ungkap Akbar.

Raisha tertawa. “Yaudah gue titip ya, Bay, awas aja temen gue lecet, lecet sedikit lo harus ganti rugi pake nutella b-ready. Soalnya itu cewek kalo sakit, sembuhnya pake b-ready,” ancam Raisha, sedangkan Giska hanya menghela napas mendengar percakapan temannya dan Akbar.

“Aman.”

“Yaudah gue tinggal ya, Gis,” pamit Raisha. Tetapi baru dua langkah, Raisha kembali berhenti dan membisikan sesuatu pada Akbar, “Bisa, Bay, bisa. Gue percaya sama lo,” bisiknya sembari menepuk pundak Akbar.

Yang laki-laki hanya tertawa membuat Giska yang melihat adegan itu merasa curiga, ia yakin Raisha mengatakan sesuatu tentangnya. Pede memang sudah menjadi nama tengah seorang Giska.

“Lo minum kan? Duduk dua meter dari gue,” perintah Giska saat melihat Akbar yang baru saja ingin manjatuhkan bokongnya ke sofa.

Tanpa menggubris perintah Giska, bokong Akbar tetap mendarat dengan sempurna di sana—tepat samping Giska.

“Gue nggak minum. Lagian gimana ngobrolnya kalo jauh-jauhan, deket aja gue masih harus hah hoh hah hoh,” jelas Akbar.

“Jangan bohongin gue,” ucap Giska yang masih tidak percaya, walaupun memang ia juga sebenarnya tidak melihat Akbar minum.

“Bohong mah elo,” ejek Akbar yang dibalas dengan tatapan malas Giska. “Lo kenapa nggak ikut kesana?” lanjut Akbar sembari menunjuk ke arah dance floor.

“Nggak mau ah, rame,” jawab Giska.

Akbar terkekeh setelah mendengar jawaban perempuan di sampingnya. “Atuh kalo mau sepi mah di rumah neng,” canda Akbar.

“Gue aja bingung kenapa gue ada di sini, bentar lagi juga mau pulang,” balas Giska.

“Kenapa?” tanya Akbar dengan posisi kedua siku tangannya bertumpu di paha, dan kepala menoleh ke kiri untuk menatap Giska dengan view yang lebih rendah dari perempuan itu.

Giska yang ditatap seperti itu lantas kaget dan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah depan. “Ya pengen aja,” balas Giska seadanya.

Akbar mengangguk masih dengan posisi yang sama, “Mata gue ternyata emang bener ya,” ucap Akbar lalu menegakan kembali tubuhnya.

Dengan wajah bingung, Giska seperti meminta penjelasan maksud dari kalimat Akbar tadi. Akbar yang menangkap sinyal itu pun tertawa lalu menjelaskannya. “Lo cantik,” jelas Akbar.

Hanya dua kata tetapi bisa membuat Giska menelan ludahnya dengan susah payah. “Lo beneran harus menjauh dari gue minimal dua meter,” kesal Giska sembari mendorong tubuh Akbar. Tentu saja Akbar tertawa setelah berhasil menggoda lawan bicaranya, kalau tempat ini tidak sebising sekarang, mungkin tawa Akbar akan terdengar sangat kencang.

“Kan lo sendiri yang bilang minta dipuji terus, gimana sih?”

“Gue ngomong gitu bukan berarti beneran dong!” Giska menghela napas kembali, sepertinya energinya sudah benar-benar habis.

“Hahahaha, gue kira lo tipe cewek yang galak judes gitu. Tapi ternyata emang,” canda Akbar, “Nggak deng, lo galaknya lucu bukan judes. Ini gue serius ya bukan gombal. My first impression of you,” lanjut Akbar menoleh lagi untuk melihat Giska yang menatap lurus ke depan, lalu melirik ke arah Akbar sekilas ketika sadar Akbar melihat ke arahnya.

“Kalo first impression gue, lo beneran kayak buaya yang lepas dari penangkaran. Di mana penangkaran lo biar gue anter pulang.” Lagi-lagi penuturan Giska membuat Akbar tertawa.

“Astaga, gue beneran bukan gombal, Giska. Lagian reaksi lo kenapa sih, lo salting?” tanya Akbar secara terang-terangan membuat Giska berdecih.

“DIH.”

“Ya kalo nggak mah biasa aja, padahal kalo gue puji simplenya lo tinggal bilang makasih?” Sepertinya Akbar belum puas menggoda Giska.

“Makasih,” jawab Giska dengan singkat membuat Akbar tersenyum lebar, kalau diukur mungkin tiga jari bisa masuk ke dalam mulutnya.

“Bay.” Untuk pertama kalinya Giska menyebut nama Akbar dengan nama panggilan laki-laki itu.

Akbar menoleh dan berdeham sebagai jawaban.

“Mau ingetin aja gue nggak suka cowok,” ucap Giska, kalimat yang selalu menjadi tamengnya agar tidak ada laki-laki yang mendekati. Bukan tanpa alasan, alasannya jelas ia masih menunggu kepastian dari kata break kekasihnya, Gendra.

Akbar diam beberapa detik. “Iya, Giska. Gue juga nggak suka cewek,” balas Akbar lalu tertawa, membuat Giska semakin sebal karena ia sedang berbicara serius dan memberi peringatan untuk Akbar, tetapi laki-laki itu tetap menanggapi dengan candaan. Memang penuturannya terlihat bercanda?

Malam semakin larut, semula rencana Giska akan pulang lebih awal dari yang lainnya setelah energinya habis seketika hilang, lihat saat ini, ia masih duduk manis di sofa dan asik mengobrol berdua dengan Akbar walaupun topik yang dibahas semakin random. Mereka berdua seperti tidak kenal yang namanya waktu dan keramaian sekitar.

517 words

Dari balik jendela terlihat langit berwarna kelabu, seakan mengerti bahwa ada banyak kesedihan yang sedang terjadi di bumi. Pagi ini tidak ada suara ayam berkokok atau celotehan ibu-ibu yang sedang membeli sayur seperti biasanya, yang terdengar hanya suara decitan dari jendela kaca yang tertiup angin.

Bangun pagi dengan kepala yang pusing sebab menangis semalaman memang tidak enak rasanya, tapi tidak ada pilihan lain bagi perempuan yang kini sedang berdiri di depan cermin untuk mengompres kantung matanya yang membengkak.

Giska Adisti Saraswati. Tangannya seketika berhenti mengompres saat netranya fokus menatap cukup lama tampilan dirinya sendiri yang terlihat berantakan pada cermin. Lalu ia membatin dengan tatapan yang nelangsa, “perempuan mana yang masih bisa percaya setelah dibodohi 2 kali?”

Giska menjalani hubungan hampir tiga tahun lamanya dan dalam rentan waktu itu juga, ia sudah merasakan dibohongi dan diselingkuhi sebanyak dua kali. Bahkan disaat Giska menyetujui dan percaya pada keinginan Gendra untuk jeda sementara dari hubungan guna memperbaiki diri masing-masing, justru laki-laki itu memilih menjalin hubungan baru dengan orang lain. Bodoh? Memang, ia sudah kenyang mendengar kata itu keluar dari mulut teman-temannya di setiap pertemuan mereka. Sepertinya kata bodoh memang cukup pas untuknya dan sudah sangat melekat pada diri Giska.

Orang bilang, cinta itu buta. Benar, Giska korbannya. Sampai-sampai ketika sudah diselingkuhi berkali-kali tidak membuatnya merasa kapok. Bahkan, dulu Giska selalu memiliki pikiran, alasan Gendra melakukan perselingkuhan karena kekecewaannya terhadap sikap Giska. Di mata Giska, Gendra selalu tampil bak pangeran tanpa cela. Jadi menurutnya, bukan Gendra yang salah, tapi dirinya lah yang salah.

Dalam kebasnya perasaan yang ia rasa kini, Giska merebahkan tubuhnya. Ditatapnya langit-langit kamar dengan harapan sedihnya dapat menghilang hanya dalam satu kedipan. Tetapi kembali lagi bahwa itu hanya sebuah harapan, justru malah air mata yang keluar setelah dirinya mencoba untuk berkedip.

Diantara kesunyian rumah, Giska kembali menangis dengan kencang untuk mengeluarkan semua sesak di dalam dada yang masih tersisa. Saat ini tidak ada siapapun selain dirinya sendiri di rumah, tidak ada yang bisa memberikan pelukan atau sekadar elusan pada pundaknya. Giska membiarkan tangis pilunya memenuhi setiap sudut rumah tanpa ampun.

Dalam sela tangisannya, tiba-tiba ponselnya berdering, dari layar terlihat ada retetan pesan yang masuk. Diraihnya benda persegi panjang itu.

Gisss keluar Gua di depan Bawa gemblong yang lu cari cari dari kemaren

Namanya Akbarry, tapi teman-temannya memanggil Abay. Laki-laki yang dengan blak-blakan menunjukan bahwa ia memiliki ketertarikan dengan Giska. Sudah dengan cara apapun Giska membangun dinding tinggi tanpa cela, tapi Akbar tanpa henti mencari cela itu.

Akbar bukan laki-laki pertama yang mendekati Giska setelah kabar hubungannya dengan Gendra menyebar luas. Tetapi ialah yang mampu membuat Giska dengan perlahan mengikis dinding yang selama ini sudah ia bangun. Sesungguhnya, Akbar itu bukan pesulap, juga bukan badut. Dunianya tak terhubung sama sekali dengan sirkus. Namun, ucapan dan seluruh perlakuannya pada Giska bagai mantra seorang pesulap. Ajaib.

Seperti saat ini, Giska tidak tahu apa yang membawa Akbar tiba-tiba sudah berada di depan rumahnya. Bahkan langit yang semula kelabu, kini perlahan kembali cerah. Alih-alih terkejut atas kedatangan Akbar, justru Giska merasa sedikit lega, sebab Akbar datang di waktu yang tepat. Karena sesungguhnya, di balik awan yang hitam selalu ada matahari yang bersinar terang.

Perahu kertas dengan segala kerapuhannya yang mungkin akan terkoyak di tengah jalan hanya dengan hitungan meter, namun dengan sebuah keyakinan, semua batu, kerikil, atau apa pun tak akan pernah mengaramkannya. Perahu kertas akan terus melaju sampai ke MUARA.


Agistha sudah akrab dengan dunia malam sejak Sekolah Menengah Akhir. Pergaulan Kota Metropolitan membawanya pada dunia seperti ini, Agistha tidak masalah dengan musik-musik kencang yang bisa saja merusak indera pendengarannya, dan tidak jarang ia dikelilingi laki-laki hidung belang yang mencoba untuk menggoda.

Di tangan kanannya ia menggenggam satu gelas rum yang hanya tersisa sedikit, tenggorokannya sudah terbiasa menegak minuman-minuman dengan kadar alkohol yang tinggi.

Kesadarannya perlahan mulai menghilang, tetapi perempuan itu masih dapat mendengar samar-samar suara di sekelilingnya yang sangat bising, bahkan ia masih bisa mendengar suara temannya yang sedari tadi mencoba untuk menyadarkannya. Terlepas dari bisingnya tempat itu, bagi Agistha isi kepalanya jauh lebih bising.

Ia memiliki alasan untuk datang ke tempat ini dan menegak minuman ber-alkohol. Akhir-akhir ini pikirannya penuh diisi oleh seorang laki-laki misterius yang satu bulan terakhir berhasil membuka hati yang sudah bertahun-tahun tertutup rapat karena trauma yang dimiliki. Sebelumnya, belum ada satu pun yang berhasil menemukan kuncinya, tapi laki-laki itu berhasil.

Namanya Prada. Hanya itu yang ia tahu, bahkan untuk sebatas nama lengkapnya pun Agistha tidak tahu.

Mereka bertemu pada waktu yang salah, pertemuannya hanya sebatas seorang talent dan client yang memiliki kesepakatan bersama atas peraturan-peraturan yang berlaku. Kini kontrak mereka sudah berakhir. Tetapi, Agistha terlanjur jatuh terlalu dalam sehingga berharap lebih pada hubungan antara dirinya dengan laki-laki itu.

Agistha merasakan tubuhnya yang tiba-tiba terangkat, seperti ada seseorang yang menuntunnya untuk pergi menjauh dari tempat bising ini. Wangi parfum yang sangat familiar menusuk indera penciumannya.

“Prada?”

Agistha yakin bahwa orang yang menuntunnya adalah Prada. Laki-laki itu hanya diam, tidak berniat untuk menjawab dan malah kembali menuntun Agistha menuju mobil milik perempuan itu.

“Jangan pergi. Gue suka sama lo, Prada. Izinin gue untuk mengenal semua tentang lo.”

Seketika tubuh laki-laki itu membeku. Dadanya terasa sesak ketika mendengar kalimat tersebut, kalimat yang tidak ingin dan seharusnya tidak pernah ia dengar dari mulut perempuan yang kini tengah mendekapnya.